GURU YANG PROFESIONAL DAN EFEKTIF (Sebuah kajian teoritis-praktis tentang profesionalitas dan efektifitas guru)
Bookmark and Share

Monday, July 13, 2009

RUANG LINGKUP KAJIAN
Kajian ini akan mengulas secara teoritis konsepsi tentang profesionalitas guru dalam Islam dan secara praktis juga mengulas tentang guru yang efektif. Kajian tentang profesionalitas guru terkait dengan konsepsi bagaimana guru yang profesional itu, apa kreteria-kreterianya, tugas dan kewajiban guru, syarat-syarat guru, kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki, dan kode etik guru. Sementara kajian tentang guru yang efektif, terkait dengan bagaimana efektifitas guru dalam memberikan pembelajaran kepada siswa; bagaimana perencanaan pengajarannya, bagaimana tampilannya di depan kelas, dan bagaimana teknis evaluasinya. Semua itu berusaha dikaji secara komprehensif dalam tulisan ini.

I. KONSEPSI TENTANG PROFESIONALITAS GURU
A. Pengertian dan kriteria-kriteria Profesionalitas
Profesionalisme merupakan paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang profesional adalah orang yang memilii profesi. Cece wijaya mengatakan bahwa profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para anggotanya. Artinya bahwa pekerjaan itu tidak dapat dikerjakan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak dipersiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut ( Cwece Wijaya, 1994: 1). Sementara menurut Nana Sujana bahwa pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dikerjakan oleh mereka yang secara khusus dipersapkan untuk itu (Ibid, 23).
Adapun ciri-ciri keprofesionalan menurut G. Westby Gibson adalah sebagai berikut :
a) Pengakuan masyarakat atas layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh sekelompok pekerja yang dikategorikan sebagai profesi .
b) Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik.
c) Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematik sebelum orang itu melakukan pekerjaan profesional.
d) Dimilikinya organisasi yang disamping melindungi kepentingan angotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga, tapi sekaligus meningkatkan kualitas layanan pada masyarakat. Termasuk tindak etis profesional terhadap anggotanya.
Dari ciri-ciri tersebut yang menjadi masalah utama pekerjaan profesi adalah implikasi dan konsekwensi jabatan terhadap tugas dan tanggungjawabnya (M, Usair Usman, 1989: 4).
Muchtar lutfi (Mimbar, 3, 1994: 44) Menyebut kriteria-kriteria seseorang yang disebut memiliki profesi antara lain adalah :
1) Profesi harus mengandung keahlian artinya suatu profesi itu harus ditandai oleh adanya keahlian yang khusus untuk profesi itu. Keahlian itu diperoleh dengan mempelajarinya secara khusus, dan profesi itu bukan diwarisi.
2) Profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu. Profesi dipilih karena dirasakan sebagai kewajiban; sepenuh waktu maksudnya bukan part time.
3) Profesi memiliki teori-tori yang baku secara universal. Artinya profesi ini dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teori yang terbuka. Secara universal pegangan itu diakui.
4) Profesi adalah untuk masyarakat bukan untuk dirinya ssendiri. Maksudnya bahwa profesi itu merupakan alat dalam mengabdikan diri kepada masyarakat bukan untuk kepentingan diri sendiri seperti untuk mengumpulkan uang atau mengejar kedudukan. Ini berhubungan dengan profesi sebagai panggilan hidup seperti tersebut diatas.
5) Profesi harus dilengkapi kecakapan diagnotis dan kompetensi aplikatif. Kecakapan dan kompetensi ini diperlukan untuk meyakinkan peran profesi itu tehadap kliennya.
6) Pemegang profesi memiliki otonomi dalam menjalankan tugas profesinya. otonomi ini hanya dapat dan boleh diuji oleh rekan-rekan seprofesinya. Tidak boleh semua orang bicara dalam semua bidang.
7) Profesi hendaknya mempunyai kode etik; ini disebut kode etik profesi. Gunanya ialah untuk dijadikan pedoman dalam melakukan tugas profesi. Kode etik ini tidak akan bermanfaat bila tidak diakui oleh pemegang profesi dan juga masyarakat.
8) Profesi harus mempunyai klien yang jelas yaitu orang yang dilayani.
Selanjutnya Finn (1953) Menambahkan bahwa suatu profesi membutuhkan suatu organisasi profesi yang kuat; gunanya untuk memperkuat dan mempertajam profesi itu (lihat, Miarsu, 1986;28 ). Finn menambahkan pula bahwa dalam suatu profesi harus mengenali dengan jelas hubungannya dengan profesi yanng lain. pengenalan ini terutama diperlukan karena ada kalanya suatu garapan melibatkan lebih dari suatu profesi.
Sementara Houton menambahkan beberapa persyaratan khusus yang harus dipenuhi dalam tugas profesional sebagai berikut :
1. profesi harus dapat memenuhi kebutuhan sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterima oleh masyarakat dan prinsip-prisip itu telah benar-benar well-established.
2. Menguasai ilmu pengetahuan yang sistematis dan kekhususan ( Spesialisasi).
3. Harus diperoleh melalui latihan kultural dan keprofesioanlan yang cukup memadai.
4. Harus dapat membuktikan skill yang diperlukan masyarakat dimana kebanyakan orang tidak memiliki skill tersebut yaitu skill yang sebagian merupakan pembawaan dan sebagian merupakan hasil belajar.
5. Memenuhi syarat-syarat penilaian terhadap penampilan dalam menjalankan tugas dilihat dari segi waktu dan kerja.
6. Harus dapat mengembangkan teknik-teknik ilmiah dari hasil pengalaman yang teruji.
7. Merupakan tipe pekerjaan yang memberikan keuntungan yang hasil -hasilnya tidak dibakukan berdasarkan penampilan dan elemen waktu.
8. Merupakan kesadaran kelomopk yang terpolakan untuk memperluas pengetahuan yang ilmiah meurut bahasa teknisnya.
9. Harus mempunyai kemampuan sendiri untuk tetap berada dalam profesiya selama hidupnya , dan tidak menjadikan profesi sebagai batu loncatan ke profesi yang lainnya.
10. Harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa anggota-anggota profesionalnya menjunjung tinggi dan menjaga kode etik profesionalnya.
Uraian diatas menggambarkan bahwa profesionalitas adalah seperangkat fungsi dan tugas serta tanggung jawab seseorang yang harus diemban berdasarkan keahlian dibidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah disamping mampu menekuni bidang profesinya selama hidupnya.

Paradigma Islam tentang Profesionalisme
Apabila diperhatikan kriteria-kriteria profesionalisme yang disebutkan oleh Muchtar Lutfi dan Finn diatas, agaknya ada dua kriteria pokok yang ada dalam profesi, yaitu bahwa profesi: merupakan panggilan hidup dan di dalamnya terdapat keahlian. Adapun kriteria yang lainnya diperlukan untuk memperkuat kriteria ini . Kriteria “panggilan hidup” sebenarnya mengacu pada pengapdian; atau yang sekarang dikenal dengan ‘dedikasi’. Sementara kriteria ‘kehlian’ mengacu pada mutu layanan, yakni mutu dedikasi tersebut. Kriteria ‘memiliki teori’, ‘kecakapan diagnotik dan aplikatif’, ‘otonomi’, ‘kode etik’, ‘organisasi profesi’ dan ‘pengenalan keahlian’ , semuanya dapat dikatakan kriteria untuk memperkuat keahlian.; sedangkan kriteria ‘untuk masyarakat dan klien’ merupakan kriteria untuk memperkuat dan memperjelas dedikasi.
Jika demikian, dedikasi dan keahlian itulah ciri utama suatu bidang disebut suatu profesi; dan jika demikian maka jelas Islam mementingkan suatu profesi.
Pekerjaan (dalam hal ini profesi) menurut Islam harus dilakukan karena Allah. ‘Karena Allah’ maksudnya karena diperintahkan oleh Allah. Jadi profesi dalam Islam harus dijalani karena merasa bahwa itu meupakan perintah Allah. Dalam kenyataannya pekerjaan dilakukan untuk orang lain tetapi niat yang mendasarinya adalah untuk Allah. Dari sini kita mengetahui bahwa pekerjan profesi didalam Islam dilakukan untuk atau sebagai pengabdian kepada dua obyek: pertama pengabdian kepada Allah dan kedua sebagai pengabdian atau dedikasi kepada manusia atau yang lain sebagai obyek pekerjaan itu. Jelas pula bahwa kriteria ‘pengabdian’ dalam Islam lebih kuat dan lebih mendalam dibandingkan dengan pengabdian yang telah diajarkan diatas tadi. Pengabdian dalam Islam, selain demi kemanusiaan juga dikerjakan demi Tuhan, jadi ada unsur transenden dalam melakukan profesi dalam Islam. unsur transenden ini dapat menjadikan pengalaman profesi dalam Islam lebih tinggi nilai pengabdiannya dibandingkan dengan dengan pengamalan profesi yang tidak didasari oleh keyakinan terhadap Tuhan
Dalam Islam setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti harus dilakukkan secara benar. Itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang ahli. Rasulullah SAW mengatakan dalam sabdanya sebagai berikut;

Artinya: “ Bila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak ahli maka tunggulah kehancurannya”
Kehancuran dalam konteks pendidikan, misalnya seorang guru. Bila seorang guru mengajar tidak dengan keahlian, maka yang hancur adalah muridnya. sementara murid-muruid itu kelak mempunyai murid lagi. Murid-murid itu kelak berkarya; kedua-duanya dilakukan dengan tidak benar ( karena telah dididik dengan tidak benar), maka akan timbulah ‘kehancuran’ yang lebih luas. yaitu kehancuran murid-murid itu dan kehancuran sistem kebenaran karena mereka mengajarkan pengetahuan yang dapat saja tidak benar.
Demikian juga dalam Al-Quran Allah mengisyarakan kita semua untuk bekerja menurut posisi kita masing-masing. seperti di tunjukkan dalam surat Al An’am 135 sebagai berikut:

“ Dan katakanlah, wahai kaumku; bekerjalah menurut profesimu masing-masing, Sesunguhnya aku adalah orang yang bekerja.........”
Dengan uraian itu jelaslah pandangan Islam tentang profesi bahkan pandangan Islam tentang profesionalisme. Islam mementingkn profesionalisme, akan tetapi bagaimanakah penerapan profesionalisme itu dalam masyrakat Islam sekarang khususnya dalam bidang pengelolaan sekolah ?

Profesionalisme di Sekolah-sekolah Islam (Sebuah Contoh Kasuistik)
Uraian di atas tentang hakekat dan kreteria-kreteria profesionalisme, pada dasarnya adalah merupakan teori atau cita-cita ideal yang ingin di terapkan dalam semua bentuk kegiatan atau profesi. Dalam konteks pendidikan agaknya masih banyak perbedaan antara teori dengan kenyataan, hal ini terbukti dengan penelitian Ahmad Tafsir ( 1994: 113). profesionalisme pendidikan dalam Muhammadiyah.
Dinyatakan dalam penelitian itu bahwa secara teoritis pendidik atau guru dituntut untuk bekerja secara profesional. Ini ditunjukkan dalam buku pedoman guru Muhammadiyah. Dikatakan dalam buku antara lain bahwa seorang guru Muhammadiyah pada hakekatnya tidak dapat melepaskan diri dari fungsinya;
1) Sebagai makhluk Allah dan sebagai manusia Muslim yang memiliki tanggung jawab penuh menunaikan amanat Allah.
2) Sebagai warga negara yang memiliki tanggung jawab untuk menunaikan prinsip-prinsip Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam menjalankan tugas profesinya.
3) Sebagai pegawai instansi dan persyarikatan yang bertanggung jawab atas prinsip sumpah dan janji jabatannya.
4) Sebagai guru mata pelajaran yang dipercayakan kepadanya yang memiliki fungsi sebagai penanggung jawab kurikuler. (lihat Pedoman guru:16)
Berdasarkan kutipan itu dapatlah diketahui bahwa guru (pndidik pada umumnya) dalam pandangan Muhammadiyah mempunyai tanggung jawab menunaikan amanat vertikal (Allah) dan amanat horizontal (kemanusiaan). Untuk menunaikan kedua amanat tersebut, maka jalan yang terbuka hanya satu, yakni bekerja secara profesional.
Dianutnya profesionalisme dalam Muhammadiyah, khususnya dalam pengelolaan sekolah, kelihatannya lebih jelas dalam syarat-syarat guru yang ditetapkan oleh Muhammadiyah. Di dalam buku Petunjuk pelaksanaan Qaidah Perguruan Dasar dan Menengah Muhammadiyah , misalnya, disebutkan bahwa guru Muhammadiyah harus memenuhi syarat-syarat berikut;
1. Muslim
2. Mempunyai kemampuan dan kecakapan yang diperlukan
3. Anggota/calon anggota/ simpatisan Muhammadiyah atau Aisyiyah
4. Loyal terhadap persyarikatan dan perguruan
5. Berjanji untuk memenuhi persyaratan khusus yang dimufakati bersama antara yang bersangkutan dengan Majlis bagian pendidikan dan pengajaran.
Diantara kelima syarat tersebut, syarat kemampuan-lah yang memperoleh perhatian yang istimewa dalam Muhammadiyah. Di dalam buku Kurikulum Sekolah Dasar Muhammadiyah bidang studi agama Islam dan kemuhammadiyahan, syarat “kemampuan”itu dirinci sebagai berikut;
1. Menguasai bahan; a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah, b) menguasai bahan pendalaman / aplikasi bidang studi.
2. Menguasai program belajar; a) merumuskan tujuan instuksional, b) mengenal dan dapat menggunakan metode mengajar, c) memilih dan menyusun prosedur instruksional yang tepat, d) melaksanakan program mengajar dan belajar, e) mengenal kemampuan anak didik, f) merencanakan dan melaksanakan pengajaran remedial.
3. Mengelola kelas; a) mengatur tata ruang kelas untuk pengajaran, b) menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi
4. Menggunakan media dan sumber; a) Mengenal dan memilih serta menggunakan sumber, b) menggunakan alat-alat bantu pelajaran yang sederhana, c) menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar mengajar, d) mengembangkan laboratorium, e) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar.
5. Menguasai landasan-landasan kependidikan
6. Mengelola interaksi belajar mengajar
7. Menilai prestasi siswa untuk kependidikan dan pengajaran
8. Menguasai fungsi dan program pelayanan dan bimbingan di sekolah; a) menguasai fungsi dan layanan dan bimbingan di sekolah, b) Menyelenggarakan program layanan dan bimbingan di sekolah
9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah; a) mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah, b) menyelenggarakan administrasi sekolah
10. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Dengan kelima syarat guru Muhammadiyah, ditambah dengan rincian syarat kemampuan, jelaslah bahwa Muhammadiyah telah menganut profesionalisme dalam pengajaran, terutama untuk guru. Hal ini dapat dipahami karena Muhammadiyah adalah organisasi sosial ke-islaman; tentu saja ia banyak menggunakan sumber-sumber Islam dalam gerakannya dan dalam perumusan pandangannya. Islam mengajarkan profesionalisme, maka wajib bila Muhammadiyah juga mengajarkan profesionalisme.
Uraian tentang sifat-sifat guru yang dikehendaki Muhammadiyah sebagaimana di bawah ini memperjelas bahwa Muhammadiyah memang menghendaki diterapkannya profesionalisme dalam pendidikan.
Pertama-tama ditekankan bahwa guru sekolah Muhammadiyah haruslah memiliki akhlaq terpuji yang dapat dijadikan teladan oleh murid-muridnya, baik tatkala ia berada dalam kelas maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dalam buku Pedoman Guru Muhammadiyah dijelaskan bahwa guru Muhammadiyah tidaklah sekedar harus memiliki ilmu, memiliki kemampuan dan ketrampilan serasi dengan penguasaan didaktik metodik, memiliki kemampuan dalam ilmu jiwa. Disamping itu, guru Muhammadiyah harus pula memiliki akhlak teladan di dalam kelasnya, bahkan dalam kehidupannya sehari-hari. Penilaian positif oleh para murid terhadp akhlak gurunya merupakan faktor penting dalam keberhasilan mendidik anak-anak tersebut
Akhlak Teladan tersebut diatas haruslah dilandasi oleh sikap mental; a) siap menjalankan perintah Allah, b) jiwa pengabdian, c) ikhlas beramal, d) memusatkan segala sesuatunya hanya kepada Allah, e) bersembahyang secara aktif, f) keyakinan dan kelurusan/kebenaran agama Islam. Sifat-sifat Akhlak itu erat kaitannya dengan sikap keimanan dan peribadatan ritual. Dengan demikian, akhlak tersebut harus dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai nilai transenden. Syarat inilah yang dirasa berat dalam menjalankan profesi, dan hal itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah sesungguhnya memiliki kreteria yang bernilai kelangitan.
Selain itu, Muhammadiyah mensyaratkan juga agar guru memiliki sifat “senantiasa meningkatkan diri”, agar memiliki “hati yang bening, suci dan indah”. Sifat ini menurut Muhammadiyah akan melahirkan sifat “cinta pada profesi” dan “kasih sayang kepada anak didik”. Ini merupakan penajaman ciri profesi yang umum dikenal. Menurut Muhammadiyah sifat itulah yang kelak akan menumbuhkan sifat mawaddah dan rahmah, dan hubungan itu juga akan memunculkan sifat adil pada anak didik.
Uraian tentang profesionalisme dalam Muhammadiyah membuat kita kagum pada Muhammadiyah. Konsep itu diturunkan dari fungsi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi (pemoman guru; 16). Inilah suatu model tatkala penulis Muslim menulis tentang manusia ideal.
Akan tetapi sayangnya konsep profesionalisme belum diterapkan dengan sungguh-sungguh dalam pengelolaan sekolah Muhammadiyah . Kenyataannya masih banyak sekolah Muhammadiyah yang rendah mutunya dibandingkan dengan sekolah Negeri dan sekolah katolik. Jadi, kesimpulannya, ialah Muhammadiyah menganut profesionalisme, tetapi profesionalisme itu belum diterapkan dengan sungguh-sungguh; akibatnya ialah sekolah Muhammadiyah masih rendah mutunya. Belum diterapkannya konsep-konsep tersebut oleh Muhammadiyah tentu juga disebabkan oleh berbagai hal yang sangat komplek sekali.
Demikianlah, uraian tentang kondisi sekolah-sekolah Islam yang diambil secara kasuistik dengan mengambil contoh sekolah Muhammadiyah, sebenarnya tidak hanya berlaku dalam sekolah Muhammadiyah tapi juga pada sekolah-sekolah Islam pada umumnya, sehingga yang menjadi persoalan disini ialah mengapa profesionalisme itu sulit untuk diterapkan di sekolah-sekolah Islam, dan bagaimana kiat-kiat untuk menumbuhkan dan menjadikan pengelolaan sekolah-sekolah itu lebih profesional.
Ahmad Tafsir (1994: 116) menyebutkan, bahwa untuk menerapkan profesionalitas dalam pengelolaan pendidikan harus diupayakan secara maksimal dan serempak pada semua unsur yang meliputi; profesionalitas pada tingkat yayasan, profesionalitas pada tingkat kepala sekolah, profesionalitas pada tingkat tenaga pengajar atau guru, dan profesionalitas pada tenaga ketatausahaan (administrasi).

1) Profesionalitas pada tingkat Yayasan.
Sekolah biasanya berada di bawah pengelolaan dan tanggungjawab yayasan, disamping sekolah, yayasan juga biasanya mengurus kegiatan-kegiatan lain seperti koperasi, rumah sakit atau sekolah-sekolah lain. Dalam hal seperti ini, pengurus yayasan tidak harus profesional dalam segala bidang garapan itu, pengurus yayasan cukup memenuhi syarat satu saja, yaitu rasa pengabdian yang besar kepada masyarakat. Dalam hal seperti ini maka yayasan harus menugaskan seorang yang profesional untuk setiap bidang garapan tersebut. Pengurus sekolah sebaiknya tidak menjadi kepala sekolah, karena ia harus memikirkan perkembangan sekolah dan yayasan-yayasan lain yang ada di bawah naungannya. Hubungan kerjanya lebih banyak degan pengurus yayasan dan dengan masyarakat. Sekolah hanya salah satu titik saja dalam pemikirannya. disamping itu pemikiran pengurus akan lebih luas jika tidak terlibat dengan persoalan-persoalan rutin yang biasanya ada dalam setiap sekolah.
2) Profesionalitas pada tingkat pimpinan sekolah
Dalam hal ini yang harus benar-benar diperhatikan oleh pengurus yayasan adalah memilih kepada sekolahyang benar-benar profesional, dengan keahliannya itu ia dapat meningkatkan mutu tenaga guru. Akan tetapi bila sebaliknya guru-guru yang lebih profesional yang terjadi adalah bentrokan kebijakan. Apa yang akan dilakukan oleh guru kadang diveto oleh kepala sekolah. Veto diberikan oleh kepala sekoah karena ia kurang ahli dan kurang profesional. Bila ini terjadi maka sekolah itu akan kacau. Guru akan bekerja dengan kebimbangan, bahkan akan bekerja dalam keadaan bentrok kejiwaan. Ini akan berbahaya terhadap peningkatan mutu sekolah. Berbahaya sekali karena keadaan itu bisa mempengaruhi guru. Guru yang profesional itu lama-lama akan menurun kualitas profesionalnya, bahkan lama-lama ia tidak akan profesional.
3) Profesionalitas pada tingkat tenaga pengajar
Penerapan profesionalisme pada tingkat ini harus dimulai dari cara penerimaan tenaga guru. Kadang-kadang ada yayasan atau kepala sekolah yang berpendapat bahwa untuk sementara terima saja asal ada yang melamar, apabila sekolah sudah stabil maka akan diganti dengan guru yang profesional. Kebijakan ini adalah keliru. Kenyataannya ialah bahwa memecat guru itu tidaklah mudah, karena pemecatan itu akan mengakibatkan hal-hal yang berbahaya bagi lembaga, antara lain ialah guru yang sudah dipecat itu mempengaruhi guru yang belum atau tidak dipecat. Ia menyebarkan pendapat-pendapat yang biasanya merugikan fihak sekolah. Oleh sebab itu harus berhati-hati dalam pengangkatan guru.
Kebijakan tersebut di atas dapat saja dilakukan dengan catatan harus ada ketetapan yang tegas, bila tidak meningkat profesinya atau bila sekolah perlu mengurangi atau mengganti guru, maka guru harus berjanji bersedia diberhentikan tanpa syarat apa-apa.
Dalam peningkatan profesionalitas guru, maka hal-hal yang harus dilakukan antara lain adalah dengan memberi kesepatan untuk melanjutkan belajar di sekolah formal, atau mengambil kursus, dan yang paling sederhana ialah kewajiban membaca buku. Semua itu dikerjakan dengan bantuan biaya dari yayasan. Bentuk kegiatan peningkatan profesi yang paling sederhana dan paling muda, juga paling murah dan efektif ialah pelatihan yang diselenggarakan oleh sekolah sendiri. Misalnya dengan memberikan kursus tambahan pada bidang-bidangstudi tertentu dengan mendatangkan guru ahli dari luar, atau salah seorang guru yang ada yang dianggap paling ahli untuk memberikan pelajaran.
Bentuk-bentuk program peningkatan mutu guru itu banyak sekali, dan semakin lama akan semakin berkembang. Disinilah akan kelihatan mutu kepala sekolah, apakah ia profesional atau tidak. Bila ia kepala sekolah yang profesional, ia amat mengerti program mana yang paling penting dilaksasnakan sesuai dengan kondisi sekolah yang lebih mempertanggungjawabkannya.
4) Profesionalitas Tenaga Tata Usaha Sekolah.
Pada dasarnya kebutuhan akan ketatausahaan untuk suatu sekolah tidaklah terlalu banyak. Banyaknya pegawai tata usaha tidak menjamin beresnya tata usaha sekolah. Yang menjamin ialah tingkat profesionalisme yang tinggi. Apalagi pada zaman sekarang dikala peralatan bantu (komputer misalnya) sudah semakin canggih.
Perencanaan ketatausahaan sekolah seluruhnya adalah tugas kepala sekolah mencakup jumlahnya dan bidang tugasnya. Tidak dapat dibuat teori baku tentang jumlah dan tugas tata usaha sekolah. Ini disebabkan oleh kondisi dan program sekolah tidaklah sama. yang dapat diteorikan ialah bahwa tata usaha sekolah harus mampu memberikan pelayanan selengkap-lengkapnya terhadap kepala sekolah, guru dan orang tua murid. Jika disingkat maka tugas tata usaha sekolah ialah melakukan semua tugas yang diperintahkan oleh kepala sekolah,maka dalam hal ini kepala sekolah juga dituntut untuk profesional.

B. Konsepsi Profesionalitas Guru
Dilihat dari kreteria-kreteria profesionalisme seperti yang dijelaskan diatas, maka guru adalah pekerjaan yang didalamnya terdapat tugas-tugas dan tanggung jawab seperti yang tersebut dalam suatu pekerjaan profesional. Ini berarti guru adalah profesi, yaitu suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Menurut Peter (1976: 71) tugas guru sebagai profesi meliputi; guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing, dan guru sebagai administrator kelas. Sedang kan Amstrong (1977: 32) membagi tugas dan tangung jawab guru menjadi lima, yaitu tanggung jawab pengajaran, tanggung jawab bimbingan, pengembangan kurikulum, pengembangan profesi dan membina hubungan dengan masyarakat.
Jadi profesionalisme guru adalah seperangkat fungsi dan tugas dalam pendidikan berdasarkan keahlian yang diperolah melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah disamping mampu menekuni bidang profesinya itu selama hidupnya (H.M. Arifin,1991: 106)
Apabila kembali pada konsep pendidik dalam Islam, dengan menggunakan rujukan hasil konferensi internasional tentang pendidikan Islam I, di Makkah tahun 1977, pengertian pendidikan mencakup tiga pengertian sekaligus, yakni, tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib (Hery Noer, 1999: 10). Maka pengertian pendidik dalam islam adalah sebagai murabbi, mu’allim, dan mu’addib sekaligus. Pengertian murabbi menhisyaratkan bahwa guru agama harus orang yang memiliki sifat-sifat rabbani, yaitu nama yang diberikan bagi arang yang bijaksana, terpelajar dalam bidang pengetahuan tentang ar-Rabb (al-Attas, 1980). Disamping itu juga memiliki sikap bertanggung jawab, penuh kasih sayang terhadap peserta didik. Sementara pengertian mu’alllim mengandung konsekwensi bahwa mereka harus mu’allim (ilmuwan) yakni menguasai ilmu teoritik, memiliki kreatifitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang selalu menunjang tinggi nilai-nilai ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan konsep ta’dib mencakup pengertian integrasi antara ilmu dengan amal sekaligus (al-Attas), 1980). Hilangnya dimensi amal dalam kehidupan guru agama akan menghapuskan citra dan esensi dari pendidikan Islam.
Secara Internasionmal profesionalisme dibidang pendidikan atau keguruan itu telah diakui keberadaannya, hal ini disebabkan antara lain;
a) Bidang tugas keguruan atau kependidikan bukan tugas rutin yang dapat dikerjakan karena pengulang-ulangan atau pembiasaan, atau secara amatir, atau secara trial dan error bidang ini memerlukan proses perencanaan yang mantap, merupakan manajemen yang memperhitungkan komponen-komponen dalam suatu sistem proses; mulai dari input kemudian diproses dan outputnya harus sesuai dengan pemakai (Consimers)
b) Bidang pekerjaan ini memerlukan dukungan ilmu teoritis pendidikan yang melandasi pelaksanaan operasional pendidikan.
c) Bidang pekerjaan ini memerlukan waktu lama dalam pendidikan dan latihan sejak pendidikan dasar sampai kepada pendirikan profesional keguruan. (H.M. Arifin, 1991: 114)
Ada sejumlah asumsi yang melandasi pekerjaan mendidik (guru) sebagai profesi sehingga perlu ada peningkatan profesionalitas dalam tugas mendidik, yaitu;
1. Subyek pendidikan adalah manusia dengan segala potensinya untuk berkembang, karena itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan, pendidikan menghargai martabat manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan emosi dan perasaan.
2. Dalam melakukan aktifitasnya pendidikan dilakukan secara sadar dan bertujuan, jadi intensional. Ia tidak dilakukan secara random. Dan oleh karena ada unsur tujuan, maka pendidikan menjadi normatif, diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik bersifat universal maupun nasional atau lokal yang menjadi acuan bagi pelaku pendidikan, yaitu guru dan peserta didik.
3. Dalam memandang manusia, pendidikan bertolak dari asumsi yang positif tentang potensi manusia. Potensi yang baik itulah yang harus dikembangkan, yaitu suatu potensi yang unggul pada diri manusia. Pendidikan jadinya merupakan usaha mengembangkan potensi manusia yang baik.
4. Tujuan pendidikan terletak pada dimensi instrinsiknya, yakni menjadikan manusia menjadi manusia yang baik yang dalam tujuan pendidikan nasional digambarkan sebagai manusia yang beriman, bertaqwa, berbudi luhur dan seterusnya. (Ikatan Sarjana Pendidikan, 0215-9643.
Karena asumsi-asumsi dan karakteristik pekerjaan guru yang demikian itu, maka tidak mungkin jika pendidikan dilakukan secara random, hanya menurut Common Sense. Pendidikan harus dilakukan oleh guru yang profesional dan konsekwensinya diperlukan upaya-upaya yang intensif dan intensional dalam rangka peningkatan profesionalitas.
Berdasarkan uraian tersebut, maka berikut ini akan diuraikan lebih dalam tentang profesionalitas guru, dengan melihat; tugas dan tanggung jawabnya; syarat-syarat yang harus dimiliki oleh guru yang profesional; dan kompetensi-kompetensi serta kode etik yang harus dimilikinya.

1. Tugas dan tanggung jawab Guru
Pada dasarnya guru (pendidik) adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam konteks Islam, orang yang paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal; Pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu pula ia ditaqdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, oleh sebab itu sukses anaknya adalah sukses orang tuanya juga.
Pendidik, dalam hal ini adalah orang tua, mempunyai tugas untuk mendidik, yakni mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotor, kognitif, maupun potensi afektif (A. Tafsir,1994; 74). Potensi tersebut harus dikembangkan secra seimbang sampai ketingkat setinggi mungkin. Karena itu orang tua adalah pendidik pertama dan utama, maka inilah tugas orang tua tersebut.
Pada asalnya tugas itu adalah murni tugas kedua orang tua; jadi, tidak perlu orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah. Akan tetapi karena perkembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap, serta kebutuhan hidup sudah sedemikian luas, dalam, dan rumit, maka orang tua tidak mampu lagi melaksanakan sendiri tugas-tugas mendidik anaknya. Selain tidak mampu karena luasnya perkembangan pengetahuan dan ketrampilan, mendidik anak dirumah juga dirasa tidak ekonomis, tidak efesien dan efektif. Oleh sebab itu tugas-tugas tersebut akhirnya diserahkan kepada sekolah, yang lebih murah, efisien dan lebih efektif.
Sekalipun demikian, kedua fihak, antara keluarga dan sekolah seharusnya mengerti dan menyadari sejarah pendidikan tersebut. Kesadaran itu akan mengingatkan orang tua dan sekolah tentang perlunya dijalin kerja sama sebaik-baiknya antara sekolah dan rumah tangga. Kerja sama itu dimulai sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi pendidikan.
Pengaruh pendidikan dalam rumah tangga terhadap perkembangan anak memang amat besar, mendasar dan mendalam. Akan tetapi, pada zaman moderen ini pengaruh itu boleh dikatakan terbatas pada perkembangan aspek afektif, yaitu perkembangan sikap. Pengaruh pendidikan di sekolah juga besar, luas dan mendalam, tetapi hampir-hampir hanya pada segiperkembangan kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (ketrampilan). Pengaruh yang diperoleh anak didik di sekolah hampir seluruhnya berasal dari guru yang mengajar di kelas. Jadi guru yang dimaksud di sisni ialah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid di sekolah.
Mengingat pengaruh guru yang amat besar terhadap perkembangan anak didik tersebut maka guru dituntut untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal. Menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama ialah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawakan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah SWT. Hal tersebut karena pendidikan adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam paradigma ‘jawa’, pendidik diidentikkan dengan “guru” yang artinya “di gugu dan ditiru”. Namun dalam paradigma baru, pendidik tidak hanya bertugas sebagai pengajar, tetapi juga bertugas sebagai motivator dan fasilitator proses belajar mengajar, yaitu relasi dan aktualisasi sifat-sifat ilahi manusia dengan cara aktualisasi potensi-potensi manusia untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimiliki. (Hasan Langgulung, 1988; 86)
Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindarkan adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik dapat menempatkan kepentingan sebagai individu, anggota masyarakat, warga negara, dan pendidik sendiri. Antara tugas keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsinya.
Kadangkala seseorang terjebak dengan sebutan pendidik, misalnya ada sebagian orang yang mampu mampu memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan (transfer orf knowledge) kepada seseorang. Sesungguhnya seorang pendidik bukan lah bertugas itu saja, tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas pengelolaan (manager of learning), pengarah (director of learning), fasilitator, dan perencana (The planner of future society) (lihat Depag., 1984; 149). Oleh karena itu tugas dan fungsi pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu ;
1) Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
2) Sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan anak didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil seiring dengan tujuan Allah menciptakannya.
3) Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri sendiri, anak didik, dan masyarakat terkait, yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program yang dilakukan.(Roestoyah NK, 1982; 86)
Tugas guru pada dasarnya adalah mendidik, tetapi mendidik mempunyai pengertian yang sangat luas, mendidik dapat dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain lain. Ag Soejono (1982; 62) memerinci tugas pendidik sebagai berikut ;
a) Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak-anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket dan sebagainya.
b) Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.
c) Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, ketrampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat.
d) Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik.
e) Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.
Dalam literatur yang ditulis ahli pendidikan Islam, tugas guru ternyata bercampur dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernyataan tentang tugas guru yang dapat disebutkan disini, yang diambil dari uraian penulis muslim tentang syarat dan sifat guru, misalnya sebgai berikut;
a) Guru harus mengetahui karakter murid (al-Abrasi, 1974; 133)
b) Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkannya maupun dalam cara mengajarkannya (al-Abrasi, 1974; 134)
c) Guru harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya (al-Abrasi, 1974; 144)
Apa yang disebutkan di atas tentang tugas-tugas guru pada dasarnya mempunyai relevansi, kesamaan dan pada pokoknya dapat dikategorikan kepada tiga tugas pokok seperti disebutkan di atas, yakni, sebagai pengajar (instruksional), sebagai Pendidik (educator), dan sebagai Pemimpin (managerial) anak didik. Tugas-tugas tersebut dimaksudkan untuk menciptakan tercapainya perkembangan maksimal anak didik sesuai dengan maksud dan tujuan itu sendiri. Untuk memperoleh kemampuan melaksanakan tugas itu secara maksimal, sekurang-kurangnya harus dipenuhi beberapa syarat sebagi seorang guru.

2. Syarat-syarat guru profesional
Soejono (1982; 63-65) menyatakan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang guru antara lain yaitu;
a) Tentang umur, harus sudah dewasa. Karena tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang atau menyangkut nasib seseorang. Oleh karena itu tugas tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab, dan itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa. Dalam dunia pendidikan orang sudah dianggap dewasa dalam hal umurnya ketika berumur 21 bagi laki-laki dan 18 bagi perempuan.
b) Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani, Sebab jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang gila misalnya, akan sangat berbahaya bila ia mendidik. Orang idiot tidak mungkin mendidik karena ia tidak akan mampu bertanggung jawab.
c) Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli. Seorang pengajar harus mempelajari dan mengetahui teori-teori ilmu pendidikan, teknik dan metode pengajaran, dan sebgainya.
d) Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi, syarat ini penting untuk dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik, karena bagaimana guru akan memberikan contoh misalnya, jika ia sendiri tidak baik perangainya. Dedikasi juga diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu mengajar.
Sementara itu Munir Mursi (1977:97) menambahkan syarat-syarat bagi guru dalam konteks pendidikan Islam yaitu syarat keagamaan, seorang guru harus berkepribadian Muslim
Selanjutnya Cece Wijaya (1994: 24) menyebutkan bahwa untuk mendukung terlaksanakannya tugas dan tanggung jawab sebagai guru, maka dituntut untuk memiliki beberapa kemampuan dasar yaitu ;
1. Kemampuan dalam bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual, seperti penguasaan pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai cara belajar siswa, dan pengetahuan tentang kemasyarakatan dan pengetahuan umum.
2. Kemampuan dalam bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan profesinya.
3. Kemampuan Prilaku (performance), artinya kemampuan guru dalam berbagai ketrampilan dan berprilaku, yaitu ketrampilan mengajar, membina, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran berkomunikasi dengan siswa, ketrampilan menyusun rencana pengajaran, dan ketrampilan melaksanakan administrasi kelas
Disamping kemampuan di atas, Menurut Zakiyah Darajat (1980 : 22-23) seorang pendidik juga dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip-prinsip keguruan. Prinsip-prinsip keguruan itu berupa antara lain;
1. Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti kesediaan memperhatikan; kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan anak didik.
2. Membangkitkan gairah anak didik.
3. Menumbuhkan sikap dan bakat anak didik yang baik.
4. Mengatur proses belajar mengajar yang baik
5. Memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses mengajar.
6. Adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.

3. Kompetensi-kompetensi Yang Harus Dimiliki Seorang Guru
Apabila dipahami secara mendalam konsepsi tentang profesionalisme di atas, maka pada hakikatnya profesionalisme adalah orientasi kerja yang bertumpu pada kompetensi. Dalam suatu konggres sedunia tahun 1978 menyepakati bahwa pendidikan harus dikelola oleh guru yang profesional, karena masyarakat makin moderen yang menuntut profesionalisasi dalam bidang-bidang tugas kekaryaan kependidikan pada khususnya, dan bidang-bidang lain pada umumnya. (H.M. Arifin, 1991: 112)
Dalam pengembangan profesionalisme kependidikan tersebut diperlukan pemantapan kompetensi keguruan. Menurut beberapa ahli pendidikan, misalnya Robert Houton, mengartikan kompetensi sebagai berikut; “Competence is eduquency for a task or as possesion of required knowledge, skill and abilities” (kompetensi adalah kemampuan yang memadai untuk melaksanakan tugas atau memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan yang dipersyaratkan untuk itu. (ibid)
Kompetensi itu tergambar di dalam pelaksanaan tugas guru sehari-hari yang bercirikan pada tiga kemampuan profesional atau yang disebut dengan The Teaching Triad, yaitu :
1. Kepribadian guru yang unik dapat mempengaruhi murid yang dikembangkan terus menerus sehngga ia benar-benar terampil dengan tugasnya; yaitu a) Memahami dan menghargai tiap potensi dari tiap murid, b) Membina situasi sosial yang meliputi interaksi belajar mengajar yang mendorong murid dalam peningkatan kemampuan memahami pentingnya kebersamaan dan kesepahaman arah pemikiran dan perbuatan di kalangan murid, c) Membina perasaan saling mengerti. saling menghormati dan saling bertanggung jawab dan percaya mempercayai antara guru dan murid.
2. Penguasaan ilmu pengetahuan yang mengarah kepada spesialisasi ilmu yang diajarkan kepada murid.
3. Ketrampilan dalam mengajarkan bahan pelajaran, terutama menyangkut perencanaan program satuan pelajaran dan menyusun keseluruhan kegiatan untuk satuan pelajaran menurut waktu. disamping itu terampil menggunakan alat-alat bantu bagi murid dalam proses belajar mengajar.
Dalam konteks Islam, seorang pendidik yang profesional harus memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut;
1. Penguasaan materi al-Islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang yang menjadi tugasnya.
2. Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode dan teknik pendidikan Islam, terutama kemampuan evaluasinya).
3. Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan.
4. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan pada umumnya guna keperluan pengembangan pendidikan Islam.
5. Memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya. (Muhaimin, 1993; 172)
Selanjutnya dapat diasumsikan tentang keberhasilan pendidik, “ Pendidik akan berhasil menjalankan tugasnya apabila memiliki kompetensi - kompetensi; personal religious; sosial religious, dan profesional religious” (ibid; 172) Kata-kata religious selalu dikaitkan dengan tiap-tiap kompetensi, karena menunjukkan adanya komitmen pendidik dengan ajaran Islam sebagai kriteria utama, sehingga segala masalah pendidikan dihadapi, dipertimbangkan, dan dipecahkan, serta ditempatkan dalam perspektif Islam. Ketiga kompetensi tersebut selanjutnya akan diuraikan berikut ;
1. Kompetensi personal religious.
Kemampuan dasar (kompetensi) yang pertama bagi pendidik adalah menyangkut kepribadian agamis, artinya, pada dirinya melekat nilai-nilai lebih yang hendak ditransinterasikan kepada peserta didiknya. Kebersihan, keindahan, kedisiplinan, ketertiban, dan sebagainya. Nilai tersebut perlu dimiliki pendidik sehingga akan terjadi transinterasi (pemindahan penghayatan nilai-nilai) antara pendidi dan anak didik, baik langsung ataupun tidak langsung, atau setidak-tidaknya terjadi transaksi (alih tindakan ) antara keduanya.
2. Kompetensi sosial religious.
Kemampuan dasar kedua bagi pendidik adalah menyangkut kepedulian terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran Islam. Sikap gotong-royong, tolong menolong, egalitarian (perasaan sederajat antara sesama manusia), sikap toleransi, dan sebagainya juga perlu dimiliki oleh pendidik untuk selanjutnya diciptakan dalam suasana pendidikan Islam dalam rangka transisternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan anak didik.
3. Kompetensi Profesional religious
Kemampuan dasar yang ketiga ini menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional, dalam arti mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.
Kompoetensi di atas dapat dijabarkan sebagai berikut;
1. Mengetahui hal-hal yang perlu diajarkan, sehingga ia harus belajar dan mencari informasi tentang materi yang diajarkan.
2. Menguasai keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada anak didiknya.
3. Mempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengan konteks komponen-komponen secara keseluruhan melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara berpikir (way of thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu dikembangkan melalui proses edukasi.
4. Mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah di dapat sebelum di sajikan pada anak didiknya.
5. Mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan.
6. Memberi hadiah dan hukuman sesuai dengan usaha dan upaya yang dicapai anak didik dalam rangka memberikan persuasi dan motivasi dalam proses belajar.
7. Memberikan uswatun hasanah dan meningkatkan kualitas dan keprofesionalan-nya yang mengacu pada futuristik tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan, misalnya gaji, pangkat, kesehatan, perumahan, sehingga pendidik benar-benar berkemampuan tinggi dalam mendidik anak didinya.

4. Kode Etik yang harus dimiliki oleh Guru
Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationships) antara pendidik dan anak didik, orang tua anak didik, koleganya, serta dengan atasannya.
Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik, demikian juga jabatan pendidik mempunyai kode etik tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik. Bentuk kode etik setiap lembaga pendidik tidak harus sama tetapi secara instrinsik mempunyai kesamaan isi yang berlaku umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik. ( Westy Soemanto; 1982: 147)
Al Ghazali (Muh Nawawy, al-Ma’arif: 88) merumuskan kode etik seorang pendidik dengan 17 bagian yaitu ;
1. Menerima segala probel anak didik dengan sikap yang terbuka dan tabah.
2. Bersikap penyantun dan penyayang.
3. Menjaga kewibawaan dan kehormatan dalam bertintad.
4. mMenghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama.
5. Bersifat merendah ketika menyatu dengan masyarakat.
6. Menghilangkan sikap dan aktifitas yang tidak berguna dan sia-sia.
7. Bersifat lemah lembut dalam mengahadapi anak didik yang rendah tingkat.
8. Meninggal kan sifat marah.
9. Memperbaikai sikap anak didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap anak didik yang belum mengerti atau mengetahui
10. meninggalkan sikap yang menakutkan kepada anak didik yang belum mengerti atau mengetahui.
11. Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan anak didik walaupun pertanyaannya itu tidak bermutu.
12. Menerima kebenaran dari anak didik yang membantahnya.
13. Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan walaupun kebenaran itu datangnya dari anak didik.
14. mencegah anak didik mempelajari ilmu yang membahayakan.
15. Menanamkan sifat ikhlas pada anak didik serta terus-menerus mencari informasi gua disampaikan kepada anak didiknya yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah.
16. Mencegah anak didik mempelajari ilmu fardhu kifayah sebelum mempelajari ilmu fardhu ‘ain.
17. Mengaktualisasikan informasi yang akan diajarkan pada anak didik.

II. GURU YANG EFEKTIF (Tinjauan Praktik Tampilan Guru di Depan Kelas)
Dalam pendidikan islam, peranan guru—terutama untuk pendidikan dasar dan menengah—masih cukup besar. Walaupun masih banyak variabel lain yang mempengaruhi prestasi dan kualitas hasil pendidikan, namun guru masih mendominasi, bahkan di beberapa lembaga pendidikan tidak jarang guru masih berperan sebagai satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik. Karena itu cukup beralasan adanya upaya peningkatan kualtas efektifitas guru dalam proses pembelajaran terhadap kualtas pendidikan.
Untuk pembenahan ini ada tiga aspek yang harus diperbaiki, yakni; (1) aspek wawasan akademik, meliputi; wawasan medan keilmuan dan wawasan objektif masa depan, (2) aspek metodik, meliputi; strategi belajar mengajar, desain instruksional, evaluasi hhasil belajar, (3) aspek religik, meliputi; pendidikan wawasan niilai, meliputi; pendidikan wawasan nilai, satunya ilmu, iman dan amal.

1. Peningkatan Wawasan Akademik
Yang dimaksud dengaan wawasan akademik aadalah kemampuan guru untuk menguasai bidang-bidang yang terkait dengan tugas profesi keguruan di mana bidang-bidang tersebut secara langsung menunjang tugas utamanya. Bidang tersebbut jika disebutkan secara ringkas dapat dikelompokkan dalam tiga aspek, yakini penguasaan wawasan medan keilmuan; wawasan medan objektif peserta didik dan wawasan objektif masa depan.
Wawasn wawasan tersebut sebenarnya memiliki konstribusi cukup besar terhadap keberhasilan pengajar. Berdasarkan penilaian, aspek ini memiliki urutan kedua setelah penguasaan bahan.
a) Wawasan Medan Keilmuan.
Di antara ciri masyarakat moderen adalah segala sesuatu menjadi terspesialisasi, bahkan ilmu berkembang dan terbagi ke adalm cabang-cabang yang sangat luas, tidak jarang banyak ilmu yang sudah lupa dengan induknya. Sebagai akibatnya banyak cabang ilmu yang lepas dari filsafat, dan filsafat semakin jauh dari agama, tidak jarang justru dianggap sebagai indikasi dari kemajuan. Namun tidak disadari merupakan awal dari malapetaka, sebab ilmu menjadi semakin sempit dan sekuler.
Akibat lain dari hal ini banyak guru yang hanya memiliki satu keahlian dalam bidang tertentu, tetapi tidak memiliki gambaran tentang bidang-bidang yang terkait. Hal ini mengakibatkan sempitnya wawasan guru dalam mendidik muridnya. Bagi seorang pendidik, perlu memiliki wawasan yang luas tentang medan keilmuan yang terkait dengan tugas utamanya. Sehingga ia mampu mengetahui sejauh mana peranan yang diharapkan darinya untuk mencapai tujuan pendidikan masih tinggi. Hal ini menjadi sangat penting kaitannya dengan cara guru mengambil kebijakan dalam menyajikan bahan pengajaran maupun menilai hasil-hasil belajar peserta didik.
Bentuk dari wawasan medan keilmuan sosial di sini adalah mengetahui ilmu-ilmu sejenis dan ilmu-ilmu bantu serta yang terkait dengan bidang studi yang diajarkan. Mengetahui alur ilmu yang diajarkan tersebut dengan segala fadhilahnya serta keterbatasannya. Sebab tidak semua ilmu itu memiliki fadhilah yang sama, serta masing-masing ilmu memiliki jangkauan yang terbatas sifatnya.
Seperti keterbatansan ilmu bahasa adalah sebagai alat untuk memahami ilmu intinya; keterbatasan ilmu kalam untuk mengetahui kebenaran dan kebesaran Allah dengan rasio; ilmu fiqh adalah untuk mengetahui kewajiban dan larangan bagi manusia dan kifayahnya. Ilmu-ilmu tersebut tidak mampu menenemkan kecintaan terhadap Allah Swt sebagaimana kelebihan ilmu tasawuf.
Bahaya dari sempitnya pandangan pendidik terhadap wawasan keilmuan adalah munculnya pandangan yang sempit bahwa kebenaran hanyalah apa yang terdapat dalam ilmunya, serta menolak bahwa di luar ilmunya masih terdapat dunia yang luas.
b) Wawasan Medan Objektif Peserta Didik
Tidak sedikit pendidik yang masih asing terhadap sasaran garapannya, sehingga pendidik tersebut tidak memiliki pandangan yang reallistis terhadap peserta didiknya. Ia memandang peserta didiknya sebagai anak dewasa sama dengan banyagan dirinya, dan mereka memperlakukan peserta didik seperti memperlakukan terhadap dirinya sendiri.
Padahal dalam kenyataannya, peserta didik itu memiliki karakteristik khusus, yakni memiliki keragaman kemampuan intelektual, minat dan perhatian, latar belakang sosial ekonomi, dan keadaan fisik biologis. Hal ini tentu menuntut perlakuan yang berbeda pada masing-masing anak, sebab anak tumbuh dalam jiwanya sendiri-sendiri dan dalam alam yang berada satu dengan yang lain.
Untuk lebih mengenali medan peserta didik secara mendalam, setiap pendidik perlu mengetahui psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan yang merupakan cabang dari psikologi anak.
c) Wawasan objektif masa depan
hakekat pendidikan adalh menyiapkan generasi muda untuk dapat menghadapi persoalan-persoalan hidup dan kehidupan di masa yang akan datang. Masa depan adalah milik peserta didik, tetapi kemampuan mereka untuk melihat masa depan itu terbatas. Untuk itu pendidik perlu memberikan wawasan terhadap peserta didik untuk mengantisipasi keadaan masa depan yang masih gelap.
Wawasan terhadap maasa depan meliputi masa depan ekonomik, sosial, politik maupun masa depan yang menyangkut kehidupan jangka panjang yakni masa depan di akhirat, yang berkaitan dengan kehidupan agama. Sehingga peserta didik mampu melihat masa depan jangka pendek, menengah, dan panjang. Jangka pendek adalah kehidupan tahunan mendatang, jangka menengah adalah kehidupan dunia sedangkan jangka panjang adalah kehidupan akhirat.
Gambaran hidup masa depan perlu disampaikan secara dini melalui wawasan histori, dengan demikian wawasan historik itu tidak hanya mengungkap tentang keadaan masa lalu, tetapi juga yang sekarang dan yang akan datang. Kemampuan untuk memahami tentang keadaan masa depan dan upaya untuk melakukan antisipasinya terutama harus dimiliki oleh perancang kurikulum. Namun tidak kalah pentingnya bagi para pendidik untuk melihat relevansi mata kuliah yang diberikannya dengan aktualitas keadaan masa kini dan masa yang akan datang.
2. Peningkatan Aspek Metodik
dalam aspek ini seharusnya bagi pendidik lebih memiliki kreasi untuk mengembangkan dan mencari alternatif yang paling baik, sebab metode mengajar dan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan ini lebih merupakan seni mengajar dari pada pengetahuan yang bersifat permanen. Karena merupakan seni maka beberapa hal cocok untuk orang tertentu tetapi ketika diterapkan untuk orang lain menjadi tidak cocok lagi.
Sungguhpun demikian, tetap dapat dicari pola dasar yang bersifat umum dengan sasaran memaksimalkan tampilan guru agar mereka lebih siap di depan kelas. Adapun hal-hal yang bersifat umum meliputi; strategi belajar mengajar, desain intruksional dan evaluasi hasil belajar.
a) Masalah strategi belajr mengajar
Yang dimaksud dengan strategi belajar mengajar adalah pola umum kegiatan guru dan murid di dalam perwujudan belajar mengajar. (T.Raka Joni, 1985:4), yang meliputi pendekatan belajar mengajar, metode belajar mengajar, dan teknik belajar mengajar.
Pendekatan belajar mengajar adalah cara pemrosesan guru terhadap peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan metode belajar mengajar adalah cara kerja guru untuk memproses peserta didik sehingga mencapai tujuan pendidikan. Adapun tehnik belajar mengajar adalah prosedur belajar mengajar atau urutan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan metode dan pendekatan yang diambil.
Guru sebagai pembina dan pelatih peserta didik, ibarat sebagai menejer sepak bola yang bertugas mengatur anggota kesebelasan untuk dapat mencetak gol sebanyak mungkin ke gawang lawan. Untuk itu manajer harus dapat menyusun strategi untuk memenangkan pertandingan, diperlukan rumusan tentang pola permainan, metode dan tehnik menggiring bola agar masuk ke gawang lawan. Seghingga setiap ada kekeliruan langkah yang dilakukan oleh anak buahnya yang keluar dari skenario, akan mudah diketahui ke arah mana nantinya bola akan lari. Karena itu tentunya sudah pula disiapkan rencana dan antisipasi dan mencoba mengembalikan bola ke skenario sebelumnya.
Dalam hal yang demikian penguasaan medan objektif peserta didik menjadi penting. Adapun beberapa strategi belajar mengajar antara lain adalah;
1) berdasarkan jumlah guru dapat dibedakan antara strategi pengajaran dengan seorang guru dan team teaching,. Sedangkan hubungan antara guru dan mutid dapat dibedakan antara guru-murid; guru-media-murid; atau media-murid saja. Berdasarkan pengorganisasian murid, dapat dibedakan antara pengajaran model klasikal small group atau model individual.
2) Berdasarkan peristiwa belajar mengajar dapat dibedakan antara strategi belajar tertutup dengan strategi belajar terbuka. Belajar tertutup artinya guru dan murid sudah terikat dengan materi yang sudah dibakukan secara ketat, dan tidak ada peluang untuk mengembangkan materi baik oleh guru maupun murid, bahkan tidak jarang murid sendiri disuruh memilih materi apa yang dikehendaki.
3) Berdasarkan peran guru-murid dalam mengolah bahan pengajaran, dapat dibedakan antara bahan yang sudah diolah secara matang oleh guru sehingga murid tinggal menerima apa adanya, atau strategi dimana guru hanya memberikan cara-cara pengolahannya, sedangkan keseluruhan materi diolah sendiri oleh murid. Strategi kedua inilah yang memberikan kadar CBSA yang tinggi.
4) Berdasarkan proses pengolahan bahan pengajaran, dapat dibedakan antara strategi yang bertolak dari bahan yang bersifat umum baru mengarah kepada bahan yang khusus mengarah kepada pemahaman yang bersifat umum. Proses pengajaran yang bersifat dari hal-hal yang khusus ini memberikan kadar yang tinggi kepada murid.
5) Dilihat dari tujuan dan bentuk pengajaran dapat dibedakan antara belajar ketrampilan intelektual; strategi belajar kognitif; belajar informasi verbal; belajar ketrampilan motorik dan belajar sikap dan pembentukan nilai.
Dari beberapa strategi tersebut, khususnya yang terkait ciri khusus pendidikan pondok pesantren dan madrasah adalah pendidikan mengenai nilai, disamping ketrampilan intelektual dan strategi kognitifnya. Kelemahan beberapa guru yang sering kita temui di lapangan adalah hanya terpaku kepada metode mengajar, apakah ia metode caramah, tanya jawab, diskusi, penugasan, dan sebagainya, sering mengabaikan strategi yang lebih luas untuk mencapai sasaran tujuan pendidikan sesuai dengan karakteristik siswanya.
b) Disain instruksional
yang dimaksud dengan disain intruksional adalah suatu perencanaan pengajaran dengan menggunakan pendekatan sistem. Membuat disain intruksional merupakan proses analisis dari kebutuhan dan tujuan siswa, pengembangan sistem penyampaian untuk mencapai tujuan termasuk pengembangan materi, kegiatan belajar-mengajar dan kegiatan penilaian atas hasil belajar siswa. (Noerhida, ADR, 1980:3).
Sebenarnya disain intruksional ada beberapa macam, yang secara umum dikenal empat model, yaitu; (1) model Glaser, (2) model J.E.Kemp, (3) model Van Golder, (4) model satuan pelajaran (satpel). Model yang terakhir ini yang digunakan oleh sekolah dan madrasah berdasar kurikulum 1976.
Pada dasarnya hampir seluruh model itu sama dalam hal-hal yang esensial; namun yang bersifat komplementer terdapat variasi. Dalam model Satpel, komponen utamanya adalah sebagai berikut; (1) bidang studi, (2) sub bidang studi, (3) pokok bahasan, (4) kelas, (5) semester, (6) waktu, (7) Tujuan instruksional khusus, (8) tujuan intruksional umum, (9) materi pelajaran, (10) kegiatan belajar mengajar, (11) metode mengajar, (12) alat/sumber belajar, (14) evaluasi(14) feedback (dari nomor 13-7).
Ada hal esensiap yang belum dimasukkan dalam Satpel adalah entering behavior, yakni uraian tentang situasi permulaan yang menyangkut keadaan siswa yang akan menerima pelajaran; keadaan yang akan mengajarkan; keadaan situasi kelas dan kondisi sekolah dimana proses belajar mengajar akan berlangsung. Situasi itu harus digambarkan dan dikemukakan apa adanya, yakni situasi kongkrit yang relevan dengan tujuan pengajaran. Situasi siswa yang perlu diperhatiakan adalah tingkat kematangan , kecerdasan, keadaan sosial ekonomi, lingkungan sosial keluarga, kemampuan membaca, kebiasaan belajar, perhatian dan motivasinya, serta pengalaman pendidikan sebelumnya, sementara situasi guru yang perlu diperhatiakn adalah pengetahuan gur tentang bahan pengajaran dan siswa, kemampuan menggunakan strategi belajar mengajar, serta pandangan guru terhadap sidswa. Sedangkan situasi dan kondisi sekolah situasi belajar yang tepat, ketersediaan sarana dan prasarana media belajar.

c) Evaluasi Hasil Belajar
evaluasi hasil belajar atau lebih luasnya disebut dengan evaluasi pendidikan, sebenarnya bukan sekedar satu kegiatan yang mengakhiri proses pendidikan dan pengajaran, melainkan kegiatan yang mengawali dan menyertai proses pendidikan. Dalam sistem manajemen, evaluasi memiliki fungsi kontroling dan dilakukan untuk mengadakan feedback terhadap setiap langkah dalam proses manajemen.
Evaluasi berbeda dengan pengukuran (measurement), sebab dalam pengukuran guru sekedar mengetahui apa adanya dari objek yang diukur. Sedangkan dalam evaluasi hasil pengukuran itu dibandingkan dengan tolok ukur tertentu yang dipilih oleh guru. Dengan demikian dalam merencanakan evaluasi hasil belajar, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan; tujuan evaluasi, alat ukur yang digunakan, acuan yang dijadikan standar, pelaksanaan pengukuran.
1) tujuan evaluasi
tujuan tidak semata-mata untuk mengetahui keberhasilan belajar peserta didik saja, melainkan termasuk untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan guru dalam mendidik dan mengetahui seberapa jauh target pencapaian kurikulum yang mampu diserap oleh peserta didik, apakah proses pendidikan itu berlangsung sesuai dengan rencana atau tidak. Lebih jauh dari itu tujuan evaluasi dapat digunakan untuk melihat seberapa tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik dan mampu memberikan sumbangan kepada masyarakat sesuai dengan apa yang diharapkan.
Untuk mencapai tujuan tersebut evaluasi pendidikan dapat dibedakan menjadi; evaluasi input, evaluasi proses, evaluasi output, dan evaluasi konteks. Sedang jika dilihat dari kepentingan proses belajar mengajar dapat dibedakan antara; evaluasi awal/input, evaluasi formatif, dan sumatif.
Evaluasi input bertujuan untuk mengetahui keadaan peserta didik sebelum menerima pelajaran, dalam hal ini perencanaan pengajaran menjadi sangat penting untuk menganalisis situasi awal ini. Evaluasi formatif bertujuan untuk mengetahui apakah proses belajar mengajar sudah mencapai hasil yang diharapkan, baik oleh murid maupun oleh guru. Sehingga dengan demikian evaluasi ini perlu dilakukan secara periodik yang hasilnya digunakan untuk melakukan perbaikan terhadap proses belajar mengajar pada tahap berikutnya. Evaluasi sumatif bertujuan untuk mengukur kemampuan akhir peserta didik sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan dan dilaksanakan pada akhir program.
Hal yang sering dilakukan dalam proses belajar mengajar adalah guru mengevaluasi kepada peserta didik, namun jarang sekali melakukan evaluasi terhadap cara mengajarnya. Sehingga setiap kegagalan dalam belajar mengajar masih saja selalu dilimpahkan kesalahan tersebut kepada peserta didik.
2) Alat ukur yang digunakan.
Alat ukur yang digunakan dalam evaluasi belajar adalah; tes tulis, tes lisan, pedoman observasi/tes tindakan. Masing-masing alat tersebut memiliki kelebihan dan kekuarangan, sehingga dalam penyusunan diperlukan pertimbangan-pertimbangan khusus. Tes tulis dapat meliputi tes kepribadian dan tes hasil belajar. Sedangkan bentuknya dapat berupa tes uraian (essay) dan tes terstruktur (objektif).
Yang perlu diperhatikan dalam menyususn tes terstruktur (objektif) adalah jangan hanya mengejar validitas bentuk, tetapi yang penting adalah validitas isi. Menyadari keterbatasan tes objektif, pilihan bentuk yang sesuai dengan tujuan pengajaran, materi pengajaran dan pertimbangan kepraktisan, termasuk mempertimbangkan reliabilitas tes tersebut.
Sementara itu tes lisan memerlukan pemerataan dalam hal banyak atau sedikit pertanyaan yang diberikan kepada masing-masing peserta didik, termasuk tingkat kesukarannya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah stabilitas dan objektivitas dalam pemberian skor kepada masing-masing peserta didik.
Tes tindakan yang seringkali digunakan untuk mengukur kemampuan psikomotor peserta didik yang tidak mungkin dilakukan dengan cara tanya jawab secara tertulis maupun lisan seringkali menghadapi kendala-kendala keterbatasan waktu dan tempat. Hal lain yang sering mengganggu adalah observasi terhadap program dapat mempengaruhi peserta didik untuk mengubah prilakunya sesaat sesuai dengan kepentingan program tersebut. Konsekwensinya prilaku yang muncul saat observasi dilakukan adalah prilaku yang tidak sebenarnya. Untuk menghindari hal tersebut observasi dilakukan secara periodik sehingga perilaku yang muncul itu dapat bersifat alami. Demikian pula hasil observasi hendak dapat di-administrasikan dengan baik sehingga guru dapat mengikuti perkembangan prilaku peserta didik dan kualitasnya dari hari ke hari.

3) Acuan yang digunakan sebagi tolok ukur.
Problem evaluasi kadang-kadang tidak hanya terdapat pada cara melakukan pengukuran dan alat ukurnya, tetapi justru terpulang pada ketidakpastian penggunaan kreteria yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Alat ukur yang sama, dilakukan dengan cara yang sama terhadap objek yang relatif homogen, tetapi jika menggunakan kreteria yang tidak sama akan menghasilkan penilaian yang berbeda.
Dalam evaluasi pendidikan, khususnya pendidikan agama dapat dikembangkan adanya tiga acuan, yakni; acuan kelompok, acuan patokan, dan acuan nilai/etik. Acuan kelompok digunakan atas dasar asumsi psikologik dimana terdapat kemampuan siswa yang beragam yang menggambarkan distribusi frekwensi formal. Sehingga untuk menentukan tinggi rendahnya nilai masing-masing peserta didik ditarik dari seberapa jauh penyimpangan tersebut dari rata-rata kelompoknya. Tentu kedudukan ini menjadi relatif, sebab kemampuan rata-rata kelompok tersebut bersifat relatif. Ada kemungkinan peserta didik jika dibandingkan dengan kelompok A, akan memperoleh nilai baik, karena ia berada dalam posisi 1,5 sd, tetapi jika ia dibandingkan dengan kelompok B yang mempunyai rata-rata lebih tinggi, bisa jadi ia hanya menempati posisi 0,5 sdd, sehingga paling tinggi ia memperoleh nilai C. Acuan kelompok ini sulit dijadikan tolok ukur untuk nilai-nilai agama yang sifatnya pasti (normatif) dan tidak mungkin hanya didasarkan atas norma kelompok.
Acuan patokan, digunakan untuk menentukan nilai peserta didik setelah membandingkan hasil pengukuran dengan target pencapaian kurikulum (luas sempitnya penguasaan materi); atau target pencapaian tujuan tertentu misalnya dalam bentuk ketrampilan. Acuan ini digunakan atas dasar asumsi paedagogik di mana semua siswa diasumsikan mampu melakukan apa yang diminta oleh guru. Sehingga pendidikan yang berhasil jika sebagian besar peserta didik memperoleh nilai baik.
Acuan nilai/etik, digunakan atas dasar asumsi satunya antara ilmu, iman dan amal. Sehingga pendidikan agama yang berintikan pada niilai, ilmu, iman, dan amal tersebut seluruhnya dapat dinilai. Dasr penilaiannya adalah tata nilai baik dan benar menurut agama yang bersifat normatif dan absolut, sehingga tidak mungkin hanya didasarkan atas tolok ukur kurikulum, ataupun rata-rata kelas.
4) Pelaksanaan pengukuran
dalam pelaksanaan pengukuran perlu diusahakan agar keadaan benar-benar alami, artinya apa yang keluar dari peserta didik dalam keadaan yang sebenarnya, tidak ada manipulasi. Hal yang perlu dilakukan adalah semakin sering dilakukan pengukuran, hasilnya semakin baik, sebab selain hal ini Akan menggambarkan keadaan yang sebenarnya, juga sekaligus menghindari cara belajar peserta didik yang sekedar untung-untungan.

4. Peningkatan Aspek Religik
Aspek ini menjadi penting dan menonjol dalam pendidikan di Indonesia , khususnya pendidikan Islam. Sebab bangsa Indonesia yang mendasarkan diri pada falsafah pancasila ternyata dalam perkembangannya semakin meninggalkan sifat sekuler dan sekarang cenderung bersifat teistik. Langkah ini perlu diimbangi dengan praktek pendidikan yang lebih Islami. Diantara upaya untuk mengarah pada upaya ini adalah, pertama, pendidikan harus memiliki wawasan nilai, dan kedua pendidikan harus mampu memadukan antara kebenaran ilmu, iman dan amal.

1) pendidikan berwawasan nilai
Yang dimaksud dengan pendidikan berwawasan nilai adalah bahwa tujuan pendidikan, materi pendidikan dan praktek pendidikan haruslah selalu dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan yang universal. Dengan demikian sifat pendidikan tidak lagi hanya rasional objektif yang materialis. Sebab jika keadaan pendidikan nasional masih demikian, maka tujuan pendidikan nasional untuk membentuk kepribadian bangsa yang sosialis religious tidak akan tercapai.
Wawasan nilai ini mencakup semua aspek bidang studi, terutama yang bersifat duniawi sedapat mungkin dapat dikaitkan dengan nilai Islam. Atau setidak-tidaknya pada objektivitas yang bersifat netral, tidak sebaliknya, dikembangkan untuk merongrong nilai spiritual peserta didik yang masih tumbuh secara rawan.
2) singkronisasi antara ilmu, iman dan amal.
Sebagai konsekuensi pendidikan yang berwawasan nilai tersebut, pendidikan Islam harus mampu menyatukan antara iman, ilmu dan amal. Singkronisasi ini tidak hanya dalam teori melainkan harus dapat diwujudkan dalam kenyataan. Konsekuensi dari perwujudan ini memang sulit dan berat untuk diterapkan tetapi mustahil untuk dilaksanakan. Sebab contoh ini banyak berkembang di Indonesia pada lembaga pendidikan pondok pesantren yang menekankan satunya ilmu, dan amal, sehingga hasil pendidikannya selain membentuk menusia trampil, cerdas, berilmu, juga beriman. Tingkat ketaqwaan dan keimanan siswa pesantren secara umum tidak dapat diragukan dibandingkan dengan siswa sekolah pada umumnya. Namun dalam kenyataan sehari-hari, kita banyak menjumpai lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan banyak teori tentang nilai-nilai Islam, tetapi dalam prakteknya seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Wa Allah A’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibuha, (terj.) CV.Diponegoro, Banding, 1992
Amstrong, The Process Education, New TýYork, Vintage Boo, Chaehan, 1977
Cece Wijaya, Kemampuan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, bandung, PT. Remaja Roesdakarya, 1994
Finn, dalam Ahmad tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung, PT. Remaja Roedakarya, 1994
Gary A.David, Margaret A. Thomas, Effective Schools and Effektive Teacher, Printed USAý, 1989
Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Logos, Ciputat, 1999
Ikatan sarjana Pendidikan Indonesia, Profesionalitas Tenaga Pendidikan, no. I. ISSN, 02115/9643
Malik fadjar, Pengembangan pendidikan Islam yang menjanjikan masa depan, Majalah al-Harakah, no.47, edisi Juli-September 1997
Muhammad Usai Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung, PT. Remaja Roesdakarya, 1989.
Nurhida, ADR, Disain Intruksional, PSG, Depdikbud, Jakarta, 1980.
NY.Roestiyah,NK. Masalah-masalah ilmu keguruan, Jakarta, Bina Aksara, 1984.
T. Raka Joni, Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar, P2LPTK, Dirjen Dikti Depdikbud, jakarta, 1985

sumber :

RUANG LINGKUP KAJIAN
Kajian ini akan mengulas secara teoritis konsepsi tentang profesionalitas guru dalam Islam dan secara praktis juga mengulas tentang guru yang efektif. Kajian tentang profesionalitas guru terkait dengan konsepsi bagaimana guru yang profesional itu, apa kreteria-kreterianya, tugas dan kewajiban guru, syarat-syarat guru, kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki, dan kode etik guru. Sementara kajian tentang guru yang efektif, terkait dengan bagaimana efektifitas guru dalam memberikan pembelajaran kepada siswa; bagaimana perencanaan pengajarannya, bagaimana tampilannya di depan kelas, dan bagaimana teknis evaluasinya. Semua itu berusaha dikaji secara komprehensif dalam tulisan ini.

I. KONSEPSI TENTANG PROFESIONALITAS GURU
A. Pengertian dan kriteria-kriteria Profesionalitas
Profesionalisme merupakan paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang profesional adalah orang yang memilii profesi. Cece wijaya mengatakan bahwa profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para anggotanya. Artinya bahwa pekerjaan itu tidak dapat dikerjakan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak dipersiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut ( Cwece Wijaya, 1994: 1). Sementara menurut Nana Sujana bahwa pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dikerjakan oleh mereka yang secara khusus dipersapkan untuk itu (Ibid, 23).
Adapun ciri-ciri keprofesionalan menurut G. Westby Gibson adalah sebagai berikut :
a) Pengakuan masyarakat atas layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh sekelompok pekerja yang dikategorikan sebagai profesi .
b) Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik.
c) Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematik sebelum orang itu melakukan pekerjaan profesional.
d) Dimilikinya organisasi yang disamping melindungi kepentingan angotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga, tapi sekaligus meningkatkan kualitas layanan pada masyarakat. Termasuk tindak etis profesional terhadap anggotanya.
Dari ciri-ciri tersebut yang menjadi masalah utama pekerjaan profesi adalah implikasi dan konsekwensi jabatan terhadap tugas dan tanggungjawabnya (M, Usair Usman, 1989: 4).
Muchtar lutfi (Mimbar, 3, 1994: 44) Menyebut kriteria-kriteria seseorang yang disebut memiliki profesi antara lain adalah :
1) Profesi harus mengandung keahlian artinya suatu profesi itu harus ditandai oleh adanya keahlian yang khusus untuk profesi itu. Keahlian itu diperoleh dengan mempelajarinya secara khusus, dan profesi itu bukan diwarisi.
2) Profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu. Profesi dipilih karena dirasakan sebagai kewajiban; sepenuh waktu maksudnya bukan part time.
3) Profesi memiliki teori-tori yang baku secara universal. Artinya profesi ini dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teori yang terbuka. Secara universal pegangan itu diakui.
4) Profesi adalah untuk masyarakat bukan untuk dirinya ssendiri. Maksudnya bahwa profesi itu merupakan alat dalam mengabdikan diri kepada masyarakat bukan untuk kepentingan diri sendiri seperti untuk mengumpulkan uang atau mengejar kedudukan. Ini berhubungan dengan profesi sebagai panggilan hidup seperti tersebut diatas.
5) Profesi harus dilengkapi kecakapan diagnotis dan kompetensi aplikatif. Kecakapan dan kompetensi ini diperlukan untuk meyakinkan peran profesi itu tehadap kliennya.
6) Pemegang profesi memiliki otonomi dalam menjalankan tugas profesinya. otonomi ini hanya dapat dan boleh diuji oleh rekan-rekan seprofesinya. Tidak boleh semua orang bicara dalam semua bidang.
7) Profesi hendaknya mempunyai kode etik; ini disebut kode etik profesi. Gunanya ialah untuk dijadikan pedoman dalam melakukan tugas profesi. Kode etik ini tidak akan bermanfaat bila tidak diakui oleh pemegang profesi dan juga masyarakat.
8) Profesi harus mempunyai klien yang jelas yaitu orang yang dilayani.
Selanjutnya Finn (1953) Menambahkan bahwa suatu profesi membutuhkan suatu organisasi profesi yang kuat; gunanya untuk memperkuat dan mempertajam profesi itu (lihat, Miarsu, 1986;28 ). Finn menambahkan pula bahwa dalam suatu profesi harus mengenali dengan jelas hubungannya dengan profesi yanng lain. pengenalan ini terutama diperlukan karena ada kalanya suatu garapan melibatkan lebih dari suatu profesi.
Sementara Houton menambahkan beberapa persyaratan khusus yang harus dipenuhi dalam tugas profesional sebagai berikut :
1. profesi harus dapat memenuhi kebutuhan sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterima oleh masyarakat dan prinsip-prisip itu telah benar-benar well-established.
2. Menguasai ilmu pengetahuan yang sistematis dan kekhususan ( Spesialisasi).
3. Harus diperoleh melalui latihan kultural dan keprofesioanlan yang cukup memadai.
4. Harus dapat membuktikan skill yang diperlukan masyarakat dimana kebanyakan orang tidak memiliki skill tersebut yaitu skill yang sebagian merupakan pembawaan dan sebagian merupakan hasil belajar.
5. Memenuhi syarat-syarat penilaian terhadap penampilan dalam menjalankan tugas dilihat dari segi waktu dan kerja.
6. Harus dapat mengembangkan teknik-teknik ilmiah dari hasil pengalaman yang teruji.
7. Merupakan tipe pekerjaan yang memberikan keuntungan yang hasil -hasilnya tidak dibakukan berdasarkan penampilan dan elemen waktu.
8. Merupakan kesadaran kelomopk yang terpolakan untuk memperluas pengetahuan yang ilmiah meurut bahasa teknisnya.
9. Harus mempunyai kemampuan sendiri untuk tetap berada dalam profesiya selama hidupnya , dan tidak menjadikan profesi sebagai batu loncatan ke profesi yang lainnya.
10. Harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa anggota-anggota profesionalnya menjunjung tinggi dan menjaga kode etik profesionalnya.
Uraian diatas menggambarkan bahwa profesionalitas adalah seperangkat fungsi dan tugas serta tanggung jawab seseorang yang harus diemban berdasarkan keahlian dibidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah disamping mampu menekuni bidang profesinya selama hidupnya.

Paradigma Islam tentang Profesionalisme
Apabila diperhatikan kriteria-kriteria profesionalisme yang disebutkan oleh Muchtar Lutfi dan Finn diatas, agaknya ada dua kriteria pokok yang ada dalam profesi, yaitu bahwa profesi: merupakan panggilan hidup dan di dalamnya terdapat keahlian. Adapun kriteria yang lainnya diperlukan untuk memperkuat kriteria ini . Kriteria “panggilan hidup” sebenarnya mengacu pada pengapdian; atau yang sekarang dikenal dengan ‘dedikasi’. Sementara kriteria ‘kehlian’ mengacu pada mutu layanan, yakni mutu dedikasi tersebut. Kriteria ‘memiliki teori’, ‘kecakapan diagnotik dan aplikatif’, ‘otonomi’, ‘kode etik’, ‘organisasi profesi’ dan ‘pengenalan keahlian’ , semuanya dapat dikatakan kriteria untuk memperkuat keahlian.; sedangkan kriteria ‘untuk masyarakat dan klien’ merupakan kriteria untuk memperkuat dan memperjelas dedikasi.
Jika demikian, dedikasi dan keahlian itulah ciri utama suatu bidang disebut suatu profesi; dan jika demikian maka jelas Islam mementingkan suatu profesi.
Pekerjaan (dalam hal ini profesi) menurut Islam harus dilakukan karena Allah. ‘Karena Allah’ maksudnya karena diperintahkan oleh Allah. Jadi profesi dalam Islam harus dijalani karena merasa bahwa itu meupakan perintah Allah. Dalam kenyataannya pekerjaan dilakukan untuk orang lain tetapi niat yang mendasarinya adalah untuk Allah. Dari sini kita mengetahui bahwa pekerjan profesi didalam Islam dilakukan untuk atau sebagai pengabdian kepada dua obyek: pertama pengabdian kepada Allah dan kedua sebagai pengabdian atau dedikasi kepada manusia atau yang lain sebagai obyek pekerjaan itu. Jelas pula bahwa kriteria ‘pengabdian’ dalam Islam lebih kuat dan lebih mendalam dibandingkan dengan pengabdian yang telah diajarkan diatas tadi. Pengabdian dalam Islam, selain demi kemanusiaan juga dikerjakan demi Tuhan, jadi ada unsur transenden dalam melakukan profesi dalam Islam. unsur transenden ini dapat menjadikan pengalaman profesi dalam Islam lebih tinggi nilai pengabdiannya dibandingkan dengan dengan pengamalan profesi yang tidak didasari oleh keyakinan terhadap Tuhan
Dalam Islam setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti harus dilakukkan secara benar. Itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang ahli. Rasulullah SAW mengatakan dalam sabdanya sebagai berikut;

Artinya: “ Bila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak ahli maka tunggulah kehancurannya”
Kehancuran dalam konteks pendidikan, misalnya seorang guru. Bila seorang guru mengajar tidak dengan keahlian, maka yang hancur adalah muridnya. sementara murid-muruid itu kelak mempunyai murid lagi. Murid-murid itu kelak berkarya; kedua-duanya dilakukan dengan tidak benar ( karena telah dididik dengan tidak benar), maka akan timbulah ‘kehancuran’ yang lebih luas. yaitu kehancuran murid-murid itu dan kehancuran sistem kebenaran karena mereka mengajarkan pengetahuan yang dapat saja tidak benar.
Demikian juga dalam Al-Quran Allah mengisyarakan kita semua untuk bekerja menurut posisi kita masing-masing. seperti di tunjukkan dalam surat Al An’am 135 sebagai berikut:

“ Dan katakanlah, wahai kaumku; bekerjalah menurut profesimu masing-masing, Sesunguhnya aku adalah orang yang bekerja.........”
Dengan uraian itu jelaslah pandangan Islam tentang profesi bahkan pandangan Islam tentang profesionalisme. Islam mementingkn profesionalisme, akan tetapi bagaimanakah penerapan profesionalisme itu dalam masyrakat Islam sekarang khususnya dalam bidang pengelolaan sekolah ?

Profesionalisme di Sekolah-sekolah Islam (Sebuah Contoh Kasuistik)
Uraian di atas tentang hakekat dan kreteria-kreteria profesionalisme, pada dasarnya adalah merupakan teori atau cita-cita ideal yang ingin di terapkan dalam semua bentuk kegiatan atau profesi. Dalam konteks pendidikan agaknya masih banyak perbedaan antara teori dengan kenyataan, hal ini terbukti dengan penelitian Ahmad Tafsir ( 1994: 113). profesionalisme pendidikan dalam Muhammadiyah.
Dinyatakan dalam penelitian itu bahwa secara teoritis pendidik atau guru dituntut untuk bekerja secara profesional. Ini ditunjukkan dalam buku pedoman guru Muhammadiyah. Dikatakan dalam buku antara lain bahwa seorang guru Muhammadiyah pada hakekatnya tidak dapat melepaskan diri dari fungsinya;
1) Sebagai makhluk Allah dan sebagai manusia Muslim yang memiliki tanggung jawab penuh menunaikan amanat Allah.
2) Sebagai warga negara yang memiliki tanggung jawab untuk menunaikan prinsip-prinsip Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam menjalankan tugas profesinya.
3) Sebagai pegawai instansi dan persyarikatan yang bertanggung jawab atas prinsip sumpah dan janji jabatannya.
4) Sebagai guru mata pelajaran yang dipercayakan kepadanya yang memiliki fungsi sebagai penanggung jawab kurikuler. (lihat Pedoman guru:16)
Berdasarkan kutipan itu dapatlah diketahui bahwa guru (pndidik pada umumnya) dalam pandangan Muhammadiyah mempunyai tanggung jawab menunaikan amanat vertikal (Allah) dan amanat horizontal (kemanusiaan). Untuk menunaikan kedua amanat tersebut, maka jalan yang terbuka hanya satu, yakni bekerja secara profesional.
Dianutnya profesionalisme dalam Muhammadiyah, khususnya dalam pengelolaan sekolah, kelihatannya lebih jelas dalam syarat-syarat guru yang ditetapkan oleh Muhammadiyah. Di dalam buku Petunjuk pelaksanaan Qaidah Perguruan Dasar dan Menengah Muhammadiyah , misalnya, disebutkan bahwa guru Muhammadiyah harus memenuhi syarat-syarat berikut;
1. Muslim
2. Mempunyai kemampuan dan kecakapan yang diperlukan
3. Anggota/calon anggota/ simpatisan Muhammadiyah atau Aisyiyah
4. Loyal terhadap persyarikatan dan perguruan
5. Berjanji untuk memenuhi persyaratan khusus yang dimufakati bersama antara yang bersangkutan dengan Majlis bagian pendidikan dan pengajaran.
Diantara kelima syarat tersebut, syarat kemampuan-lah yang memperoleh perhatian yang istimewa dalam Muhammadiyah. Di dalam buku Kurikulum Sekolah Dasar Muhammadiyah bidang studi agama Islam dan kemuhammadiyahan, syarat “kemampuan”itu dirinci sebagai berikut;
1. Menguasai bahan; a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah, b) menguasai bahan pendalaman / aplikasi bidang studi.
2. Menguasai program belajar; a) merumuskan tujuan instuksional, b) mengenal dan dapat menggunakan metode mengajar, c) memilih dan menyusun prosedur instruksional yang tepat, d) melaksanakan program mengajar dan belajar, e) mengenal kemampuan anak didik, f) merencanakan dan melaksanakan pengajaran remedial.
3. Mengelola kelas; a) mengatur tata ruang kelas untuk pengajaran, b) menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi
4. Menggunakan media dan sumber; a) Mengenal dan memilih serta menggunakan sumber, b) menggunakan alat-alat bantu pelajaran yang sederhana, c) menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar mengajar, d) mengembangkan laboratorium, e) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar.
5. Menguasai landasan-landasan kependidikan
6. Mengelola interaksi belajar mengajar
7. Menilai prestasi siswa untuk kependidikan dan pengajaran
8. Menguasai fungsi dan program pelayanan dan bimbingan di sekolah; a) menguasai fungsi dan layanan dan bimbingan di sekolah, b) Menyelenggarakan program layanan dan bimbingan di sekolah
9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah; a) mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah, b) menyelenggarakan administrasi sekolah
10. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Dengan kelima syarat guru Muhammadiyah, ditambah dengan rincian syarat kemampuan, jelaslah bahwa Muhammadiyah telah menganut profesionalisme dalam pengajaran, terutama untuk guru. Hal ini dapat dipahami karena Muhammadiyah adalah organisasi sosial ke-islaman; tentu saja ia banyak menggunakan sumber-sumber Islam dalam gerakannya dan dalam perumusan pandangannya. Islam mengajarkan profesionalisme, maka wajib bila Muhammadiyah juga mengajarkan profesionalisme.
Uraian tentang sifat-sifat guru yang dikehendaki Muhammadiyah sebagaimana di bawah ini memperjelas bahwa Muhammadiyah memang menghendaki diterapkannya profesionalisme dalam pendidikan.
Pertama-tama ditekankan bahwa guru sekolah Muhammadiyah haruslah memiliki akhlaq terpuji yang dapat dijadikan teladan oleh murid-muridnya, baik tatkala ia berada dalam kelas maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dalam buku Pedoman Guru Muhammadiyah dijelaskan bahwa guru Muhammadiyah tidaklah sekedar harus memiliki ilmu, memiliki kemampuan dan ketrampilan serasi dengan penguasaan didaktik metodik, memiliki kemampuan dalam ilmu jiwa. Disamping itu, guru Muhammadiyah harus pula memiliki akhlak teladan di dalam kelasnya, bahkan dalam kehidupannya sehari-hari. Penilaian positif oleh para murid terhadp akhlak gurunya merupakan faktor penting dalam keberhasilan mendidik anak-anak tersebut
Akhlak Teladan tersebut diatas haruslah dilandasi oleh sikap mental; a) siap menjalankan perintah Allah, b) jiwa pengabdian, c) ikhlas beramal, d) memusatkan segala sesuatunya hanya kepada Allah, e) bersembahyang secara aktif, f) keyakinan dan kelurusan/kebenaran agama Islam. Sifat-sifat Akhlak itu erat kaitannya dengan sikap keimanan dan peribadatan ritual. Dengan demikian, akhlak tersebut harus dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai nilai transenden. Syarat inilah yang dirasa berat dalam menjalankan profesi, dan hal itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah sesungguhnya memiliki kreteria yang bernilai kelangitan.
Selain itu, Muhammadiyah mensyaratkan juga agar guru memiliki sifat “senantiasa meningkatkan diri”, agar memiliki “hati yang bening, suci dan indah”. Sifat ini menurut Muhammadiyah akan melahirkan sifat “cinta pada profesi” dan “kasih sayang kepada anak didik”. Ini merupakan penajaman ciri profesi yang umum dikenal. Menurut Muhammadiyah sifat itulah yang kelak akan menumbuhkan sifat mawaddah dan rahmah, dan hubungan itu juga akan memunculkan sifat adil pada anak didik.
Uraian tentang profesionalisme dalam Muhammadiyah membuat kita kagum pada Muhammadiyah. Konsep itu diturunkan dari fungsi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi (pemoman guru; 16). Inilah suatu model tatkala penulis Muslim menulis tentang manusia ideal.
Akan tetapi sayangnya konsep profesionalisme belum diterapkan dengan sungguh-sungguh dalam pengelolaan sekolah Muhammadiyah . Kenyataannya masih banyak sekolah Muhammadiyah yang rendah mutunya dibandingkan dengan sekolah Negeri dan sekolah katolik. Jadi, kesimpulannya, ialah Muhammadiyah menganut profesionalisme, tetapi profesionalisme itu belum diterapkan dengan sungguh-sungguh; akibatnya ialah sekolah Muhammadiyah masih rendah mutunya. Belum diterapkannya konsep-konsep tersebut oleh Muhammadiyah tentu juga disebabkan oleh berbagai hal yang sangat komplek sekali.
Demikianlah, uraian tentang kondisi sekolah-sekolah Islam yang diambil secara kasuistik dengan mengambil contoh sekolah Muhammadiyah, sebenarnya tidak hanya berlaku dalam sekolah Muhammadiyah tapi juga pada sekolah-sekolah Islam pada umumnya, sehingga yang menjadi persoalan disini ialah mengapa profesionalisme itu sulit untuk diterapkan di sekolah-sekolah Islam, dan bagaimana kiat-kiat untuk menumbuhkan dan menjadikan pengelolaan sekolah-sekolah itu lebih profesional.
Ahmad Tafsir (1994: 116) menyebutkan, bahwa untuk menerapkan profesionalitas dalam pengelolaan pendidikan harus diupayakan secara maksimal dan serempak pada semua unsur yang meliputi; profesionalitas pada tingkat yayasan, profesionalitas pada tingkat kepala sekolah, profesionalitas pada tingkat tenaga pengajar atau guru, dan profesionalitas pada tenaga ketatausahaan (administrasi).

1) Profesionalitas pada tingkat Yayasan.
Sekolah biasanya berada di bawah pengelolaan dan tanggungjawab yayasan, disamping sekolah, yayasan juga biasanya mengurus kegiatan-kegiatan lain seperti koperasi, rumah sakit atau sekolah-sekolah lain. Dalam hal seperti ini, pengurus yayasan tidak harus profesional dalam segala bidang garapan itu, pengurus yayasan cukup memenuhi syarat satu saja, yaitu rasa pengabdian yang besar kepada masyarakat. Dalam hal seperti ini maka yayasan harus menugaskan seorang yang profesional untuk setiap bidang garapan tersebut. Pengurus sekolah sebaiknya tidak menjadi kepala sekolah, karena ia harus memikirkan perkembangan sekolah dan yayasan-yayasan lain yang ada di bawah naungannya. Hubungan kerjanya lebih banyak degan pengurus yayasan dan dengan masyarakat. Sekolah hanya salah satu titik saja dalam pemikirannya. disamping itu pemikiran pengurus akan lebih luas jika tidak terlibat dengan persoalan-persoalan rutin yang biasanya ada dalam setiap sekolah.
2) Profesionalitas pada tingkat pimpinan sekolah
Dalam hal ini yang harus benar-benar diperhatikan oleh pengurus yayasan adalah memilih kepada sekolahyang benar-benar profesional, dengan keahliannya itu ia dapat meningkatkan mutu tenaga guru. Akan tetapi bila sebaliknya guru-guru yang lebih profesional yang terjadi adalah bentrokan kebijakan. Apa yang akan dilakukan oleh guru kadang diveto oleh kepala sekolah. Veto diberikan oleh kepala sekoah karena ia kurang ahli dan kurang profesional. Bila ini terjadi maka sekolah itu akan kacau. Guru akan bekerja dengan kebimbangan, bahkan akan bekerja dalam keadaan bentrok kejiwaan. Ini akan berbahaya terhadap peningkatan mutu sekolah. Berbahaya sekali karena keadaan itu bisa mempengaruhi guru. Guru yang profesional itu lama-lama akan menurun kualitas profesionalnya, bahkan lama-lama ia tidak akan profesional.
3) Profesionalitas pada tingkat tenaga pengajar
Penerapan profesionalisme pada tingkat ini harus dimulai dari cara penerimaan tenaga guru. Kadang-kadang ada yayasan atau kepala sekolah yang berpendapat bahwa untuk sementara terima saja asal ada yang melamar, apabila sekolah sudah stabil maka akan diganti dengan guru yang profesional. Kebijakan ini adalah keliru. Kenyataannya ialah bahwa memecat guru itu tidaklah mudah, karena pemecatan itu akan mengakibatkan hal-hal yang berbahaya bagi lembaga, antara lain ialah guru yang sudah dipecat itu mempengaruhi guru yang belum atau tidak dipecat. Ia menyebarkan pendapat-pendapat yang biasanya merugikan fihak sekolah. Oleh sebab itu harus berhati-hati dalam pengangkatan guru.
Kebijakan tersebut di atas dapat saja dilakukan dengan catatan harus ada ketetapan yang tegas, bila tidak meningkat profesinya atau bila sekolah perlu mengurangi atau mengganti guru, maka guru harus berjanji bersedia diberhentikan tanpa syarat apa-apa.
Dalam peningkatan profesionalitas guru, maka hal-hal yang harus dilakukan antara lain adalah dengan memberi kesepatan untuk melanjutkan belajar di sekolah formal, atau mengambil kursus, dan yang paling sederhana ialah kewajiban membaca buku. Semua itu dikerjakan dengan bantuan biaya dari yayasan. Bentuk kegiatan peningkatan profesi yang paling sederhana dan paling muda, juga paling murah dan efektif ialah pelatihan yang diselenggarakan oleh sekolah sendiri. Misalnya dengan memberikan kursus tambahan pada bidang-bidangstudi tertentu dengan mendatangkan guru ahli dari luar, atau salah seorang guru yang ada yang dianggap paling ahli untuk memberikan pelajaran.
Bentuk-bentuk program peningkatan mutu guru itu banyak sekali, dan semakin lama akan semakin berkembang. Disinilah akan kelihatan mutu kepala sekolah, apakah ia profesional atau tidak. Bila ia kepala sekolah yang profesional, ia amat mengerti program mana yang paling penting dilaksasnakan sesuai dengan kondisi sekolah yang lebih mempertanggungjawabkannya.
4) Profesionalitas Tenaga Tata Usaha Sekolah.
Pada dasarnya kebutuhan akan ketatausahaan untuk suatu sekolah tidaklah terlalu banyak. Banyaknya pegawai tata usaha tidak menjamin beresnya tata usaha sekolah. Yang menjamin ialah tingkat profesionalisme yang tinggi. Apalagi pada zaman sekarang dikala peralatan bantu (komputer misalnya) sudah semakin canggih.
Perencanaan ketatausahaan sekolah seluruhnya adalah tugas kepala sekolah mencakup jumlahnya dan bidang tugasnya. Tidak dapat dibuat teori baku tentang jumlah dan tugas tata usaha sekolah. Ini disebabkan oleh kondisi dan program sekolah tidaklah sama. yang dapat diteorikan ialah bahwa tata usaha sekolah harus mampu memberikan pelayanan selengkap-lengkapnya terhadap kepala sekolah, guru dan orang tua murid. Jika disingkat maka tugas tata usaha sekolah ialah melakukan semua tugas yang diperintahkan oleh kepala sekolah,maka dalam hal ini kepala sekolah juga dituntut untuk profesional.

B. Konsepsi Profesionalitas Guru
Dilihat dari kreteria-kreteria profesionalisme seperti yang dijelaskan diatas, maka guru adalah pekerjaan yang didalamnya terdapat tugas-tugas dan tanggung jawab seperti yang tersebut dalam suatu pekerjaan profesional. Ini berarti guru adalah profesi, yaitu suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Menurut Peter (1976: 71) tugas guru sebagai profesi meliputi; guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing, dan guru sebagai administrator kelas. Sedang kan Amstrong (1977: 32) membagi tugas dan tangung jawab guru menjadi lima, yaitu tanggung jawab pengajaran, tanggung jawab bimbingan, pengembangan kurikulum, pengembangan profesi dan membina hubungan dengan masyarakat.
Jadi profesionalisme guru adalah seperangkat fungsi dan tugas dalam pendidikan berdasarkan keahlian yang diperolah melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah disamping mampu menekuni bidang profesinya itu selama hidupnya (H.M. Arifin,1991: 106)
Apabila kembali pada konsep pendidik dalam Islam, dengan menggunakan rujukan hasil konferensi internasional tentang pendidikan Islam I, di Makkah tahun 1977, pengertian pendidikan mencakup tiga pengertian sekaligus, yakni, tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib (Hery Noer, 1999: 10). Maka pengertian pendidik dalam islam adalah sebagai murabbi, mu’allim, dan mu’addib sekaligus. Pengertian murabbi menhisyaratkan bahwa guru agama harus orang yang memiliki sifat-sifat rabbani, yaitu nama yang diberikan bagi arang yang bijaksana, terpelajar dalam bidang pengetahuan tentang ar-Rabb (al-Attas, 1980). Disamping itu juga memiliki sikap bertanggung jawab, penuh kasih sayang terhadap peserta didik. Sementara pengertian mu’alllim mengandung konsekwensi bahwa mereka harus mu’allim (ilmuwan) yakni menguasai ilmu teoritik, memiliki kreatifitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang selalu menunjang tinggi nilai-nilai ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan konsep ta’dib mencakup pengertian integrasi antara ilmu dengan amal sekaligus (al-Attas), 1980). Hilangnya dimensi amal dalam kehidupan guru agama akan menghapuskan citra dan esensi dari pendidikan Islam.
Secara Internasionmal profesionalisme dibidang pendidikan atau keguruan itu telah diakui keberadaannya, hal ini disebabkan antara lain;
a) Bidang tugas keguruan atau kependidikan bukan tugas rutin yang dapat dikerjakan karena pengulang-ulangan atau pembiasaan, atau secara amatir, atau secara trial dan error bidang ini memerlukan proses perencanaan yang mantap, merupakan manajemen yang memperhitungkan komponen-komponen dalam suatu sistem proses; mulai dari input kemudian diproses dan outputnya harus sesuai dengan pemakai (Consimers)
b) Bidang pekerjaan ini memerlukan dukungan ilmu teoritis pendidikan yang melandasi pelaksanaan operasional pendidikan.
c) Bidang pekerjaan ini memerlukan waktu lama dalam pendidikan dan latihan sejak pendidikan dasar sampai kepada pendirikan profesional keguruan. (H.M. Arifin, 1991: 114)
Ada sejumlah asumsi yang melandasi pekerjaan mendidik (guru) sebagai profesi sehingga perlu ada peningkatan profesionalitas dalam tugas mendidik, yaitu;
1. Subyek pendidikan adalah manusia dengan segala potensinya untuk berkembang, karena itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan, pendidikan menghargai martabat manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan emosi dan perasaan.
2. Dalam melakukan aktifitasnya pendidikan dilakukan secara sadar dan bertujuan, jadi intensional. Ia tidak dilakukan secara random. Dan oleh karena ada unsur tujuan, maka pendidikan menjadi normatif, diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik bersifat universal maupun nasional atau lokal yang menjadi acuan bagi pelaku pendidikan, yaitu guru dan peserta didik.
3. Dalam memandang manusia, pendidikan bertolak dari asumsi yang positif tentang potensi manusia. Potensi yang baik itulah yang harus dikembangkan, yaitu suatu potensi yang unggul pada diri manusia. Pendidikan jadinya merupakan usaha mengembangkan potensi manusia yang baik.
4. Tujuan pendidikan terletak pada dimensi instrinsiknya, yakni menjadikan manusia menjadi manusia yang baik yang dalam tujuan pendidikan nasional digambarkan sebagai manusia yang beriman, bertaqwa, berbudi luhur dan seterusnya. (Ikatan Sarjana Pendidikan, 0215-9643.
Karena asumsi-asumsi dan karakteristik pekerjaan guru yang demikian itu, maka tidak mungkin jika pendidikan dilakukan secara random, hanya menurut Common Sense. Pendidikan harus dilakukan oleh guru yang profesional dan konsekwensinya diperlukan upaya-upaya yang intensif dan intensional dalam rangka peningkatan profesionalitas.
Berdasarkan uraian tersebut, maka berikut ini akan diuraikan lebih dalam tentang profesionalitas guru, dengan melihat; tugas dan tanggung jawabnya; syarat-syarat yang harus dimiliki oleh guru yang profesional; dan kompetensi-kompetensi serta kode etik yang harus dimilikinya.

1. Tugas dan tanggung jawab Guru
Pada dasarnya guru (pendidik) adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam konteks Islam, orang yang paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal; Pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu pula ia ditaqdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, oleh sebab itu sukses anaknya adalah sukses orang tuanya juga.
Pendidik, dalam hal ini adalah orang tua, mempunyai tugas untuk mendidik, yakni mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotor, kognitif, maupun potensi afektif (A. Tafsir,1994; 74). Potensi tersebut harus dikembangkan secra seimbang sampai ketingkat setinggi mungkin. Karena itu orang tua adalah pendidik pertama dan utama, maka inilah tugas orang tua tersebut.
Pada asalnya tugas itu adalah murni tugas kedua orang tua; jadi, tidak perlu orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah. Akan tetapi karena perkembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap, serta kebutuhan hidup sudah sedemikian luas, dalam, dan rumit, maka orang tua tidak mampu lagi melaksanakan sendiri tugas-tugas mendidik anaknya. Selain tidak mampu karena luasnya perkembangan pengetahuan dan ketrampilan, mendidik anak dirumah juga dirasa tidak ekonomis, tidak efesien dan efektif. Oleh sebab itu tugas-tugas tersebut akhirnya diserahkan kepada sekolah, yang lebih murah, efisien dan lebih efektif.
Sekalipun demikian, kedua fihak, antara keluarga dan sekolah seharusnya mengerti dan menyadari sejarah pendidikan tersebut. Kesadaran itu akan mengingatkan orang tua dan sekolah tentang perlunya dijalin kerja sama sebaik-baiknya antara sekolah dan rumah tangga. Kerja sama itu dimulai sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi pendidikan.
Pengaruh pendidikan dalam rumah tangga terhadap perkembangan anak memang amat besar, mendasar dan mendalam. Akan tetapi, pada zaman moderen ini pengaruh itu boleh dikatakan terbatas pada perkembangan aspek afektif, yaitu perkembangan sikap. Pengaruh pendidikan di sekolah juga besar, luas dan mendalam, tetapi hampir-hampir hanya pada segiperkembangan kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (ketrampilan). Pengaruh yang diperoleh anak didik di sekolah hampir seluruhnya berasal dari guru yang mengajar di kelas. Jadi guru yang dimaksud di sisni ialah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid di sekolah.
Mengingat pengaruh guru yang amat besar terhadap perkembangan anak didik tersebut maka guru dituntut untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal. Menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama ialah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawakan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah SWT. Hal tersebut karena pendidikan adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam paradigma ‘jawa’, pendidik diidentikkan dengan “guru” yang artinya “di gugu dan ditiru”. Namun dalam paradigma baru, pendidik tidak hanya bertugas sebagai pengajar, tetapi juga bertugas sebagai motivator dan fasilitator proses belajar mengajar, yaitu relasi dan aktualisasi sifat-sifat ilahi manusia dengan cara aktualisasi potensi-potensi manusia untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimiliki. (Hasan Langgulung, 1988; 86)
Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindarkan adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik dapat menempatkan kepentingan sebagai individu, anggota masyarakat, warga negara, dan pendidik sendiri. Antara tugas keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsinya.
Kadangkala seseorang terjebak dengan sebutan pendidik, misalnya ada sebagian orang yang mampu mampu memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan (transfer orf knowledge) kepada seseorang. Sesungguhnya seorang pendidik bukan lah bertugas itu saja, tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas pengelolaan (manager of learning), pengarah (director of learning), fasilitator, dan perencana (The planner of future society) (lihat Depag., 1984; 149). Oleh karena itu tugas dan fungsi pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu ;
1) Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
2) Sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan anak didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil seiring dengan tujuan Allah menciptakannya.
3) Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri sendiri, anak didik, dan masyarakat terkait, yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program yang dilakukan.(Roestoyah NK, 1982; 86)
Tugas guru pada dasarnya adalah mendidik, tetapi mendidik mempunyai pengertian yang sangat luas, mendidik dapat dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain lain. Ag Soejono (1982; 62) memerinci tugas pendidik sebagai berikut ;
a) Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak-anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket dan sebagainya.
b) Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.
c) Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, ketrampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat.
d) Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik.
e) Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.
Dalam literatur yang ditulis ahli pendidikan Islam, tugas guru ternyata bercampur dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernyataan tentang tugas guru yang dapat disebutkan disini, yang diambil dari uraian penulis muslim tentang syarat dan sifat guru, misalnya sebgai berikut;
a) Guru harus mengetahui karakter murid (al-Abrasi, 1974; 133)
b) Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkannya maupun dalam cara mengajarkannya (al-Abrasi, 1974; 134)
c) Guru harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya (al-Abrasi, 1974; 144)
Apa yang disebutkan di atas tentang tugas-tugas guru pada dasarnya mempunyai relevansi, kesamaan dan pada pokoknya dapat dikategorikan kepada tiga tugas pokok seperti disebutkan di atas, yakni, sebagai pengajar (instruksional), sebagai Pendidik (educator), dan sebagai Pemimpin (managerial) anak didik. Tugas-tugas tersebut dimaksudkan untuk menciptakan tercapainya perkembangan maksimal anak didik sesuai dengan maksud dan tujuan itu sendiri. Untuk memperoleh kemampuan melaksanakan tugas itu secara maksimal, sekurang-kurangnya harus dipenuhi beberapa syarat sebagi seorang guru.

2. Syarat-syarat guru profesional
Soejono (1982; 63-65) menyatakan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang guru antara lain yaitu;
a) Tentang umur, harus sudah dewasa. Karena tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang atau menyangkut nasib seseorang. Oleh karena itu tugas tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab, dan itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa. Dalam dunia pendidikan orang sudah dianggap dewasa dalam hal umurnya ketika berumur 21 bagi laki-laki dan 18 bagi perempuan.
b) Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani, Sebab jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang gila misalnya, akan sangat berbahaya bila ia mendidik. Orang idiot tidak mungkin mendidik karena ia tidak akan mampu bertanggung jawab.
c) Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli. Seorang pengajar harus mempelajari dan mengetahui teori-teori ilmu pendidikan, teknik dan metode pengajaran, dan sebgainya.
d) Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi, syarat ini penting untuk dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik, karena bagaimana guru akan memberikan contoh misalnya, jika ia sendiri tidak baik perangainya. Dedikasi juga diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu mengajar.
Sementara itu Munir Mursi (1977:97) menambahkan syarat-syarat bagi guru dalam konteks pendidikan Islam yaitu syarat keagamaan, seorang guru harus berkepribadian Muslim
Selanjutnya Cece Wijaya (1994: 24) menyebutkan bahwa untuk mendukung terlaksanakannya tugas dan tanggung jawab sebagai guru, maka dituntut untuk memiliki beberapa kemampuan dasar yaitu ;
1. Kemampuan dalam bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual, seperti penguasaan pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai cara belajar siswa, dan pengetahuan tentang kemasyarakatan dan pengetahuan umum.
2. Kemampuan dalam bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan profesinya.
3. Kemampuan Prilaku (performance), artinya kemampuan guru dalam berbagai ketrampilan dan berprilaku, yaitu ketrampilan mengajar, membina, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran berkomunikasi dengan siswa, ketrampilan menyusun rencana pengajaran, dan ketrampilan melaksanakan administrasi kelas
Disamping kemampuan di atas, Menurut Zakiyah Darajat (1980 : 22-23) seorang pendidik juga dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip-prinsip keguruan. Prinsip-prinsip keguruan itu berupa antara lain;
1. Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti kesediaan memperhatikan; kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan anak didik.
2. Membangkitkan gairah anak didik.
3. Menumbuhkan sikap dan bakat anak didik yang baik.
4. Mengatur proses belajar mengajar yang baik
5. Memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses mengajar.
6. Adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.

3. Kompetensi-kompetensi Yang Harus Dimiliki Seorang Guru
Apabila dipahami secara mendalam konsepsi tentang profesionalisme di atas, maka pada hakikatnya profesionalisme adalah orientasi kerja yang bertumpu pada kompetensi. Dalam suatu konggres sedunia tahun 1978 menyepakati bahwa pendidikan harus dikelola oleh guru yang profesional, karena masyarakat makin moderen yang menuntut profesionalisasi dalam bidang-bidang tugas kekaryaan kependidikan pada khususnya, dan bidang-bidang lain pada umumnya. (H.M. Arifin, 1991: 112)
Dalam pengembangan profesionalisme kependidikan tersebut diperlukan pemantapan kompetensi keguruan. Menurut beberapa ahli pendidikan, misalnya Robert Houton, mengartikan kompetensi sebagai berikut; “Competence is eduquency for a task or as possesion of required knowledge, skill and abilities” (kompetensi adalah kemampuan yang memadai untuk melaksanakan tugas atau memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan yang dipersyaratkan untuk itu. (ibid)
Kompetensi itu tergambar di dalam pelaksanaan tugas guru sehari-hari yang bercirikan pada tiga kemampuan profesional atau yang disebut dengan The Teaching Triad, yaitu :
1. Kepribadian guru yang unik dapat mempengaruhi murid yang dikembangkan terus menerus sehngga ia benar-benar terampil dengan tugasnya; yaitu a) Memahami dan menghargai tiap potensi dari tiap murid, b) Membina situasi sosial yang meliputi interaksi belajar mengajar yang mendorong murid dalam peningkatan kemampuan memahami pentingnya kebersamaan dan kesepahaman arah pemikiran dan perbuatan di kalangan murid, c) Membina perasaan saling mengerti. saling menghormati dan saling bertanggung jawab dan percaya mempercayai antara guru dan murid.
2. Penguasaan ilmu pengetahuan yang mengarah kepada spesialisasi ilmu yang diajarkan kepada murid.
3. Ketrampilan dalam mengajarkan bahan pelajaran, terutama menyangkut perencanaan program satuan pelajaran dan menyusun keseluruhan kegiatan untuk satuan pelajaran menurut waktu. disamping itu terampil menggunakan alat-alat bantu bagi murid dalam proses belajar mengajar.
Dalam konteks Islam, seorang pendidik yang profesional harus memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut;
1. Penguasaan materi al-Islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang yang menjadi tugasnya.
2. Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode dan teknik pendidikan Islam, terutama kemampuan evaluasinya).
3. Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan.
4. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan pada umumnya guna keperluan pengembangan pendidikan Islam.
5. Memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya. (Muhaimin, 1993; 172)
Selanjutnya dapat diasumsikan tentang keberhasilan pendidik, “ Pendidik akan berhasil menjalankan tugasnya apabila memiliki kompetensi - kompetensi; personal religious; sosial religious, dan profesional religious” (ibid; 172) Kata-kata religious selalu dikaitkan dengan tiap-tiap kompetensi, karena menunjukkan adanya komitmen pendidik dengan ajaran Islam sebagai kriteria utama, sehingga segala masalah pendidikan dihadapi, dipertimbangkan, dan dipecahkan, serta ditempatkan dalam perspektif Islam. Ketiga kompetensi tersebut selanjutnya akan diuraikan berikut ;
1. Kompetensi personal religious.
Kemampuan dasar (kompetensi) yang pertama bagi pendidik adalah menyangkut kepribadian agamis, artinya, pada dirinya melekat nilai-nilai lebih yang hendak ditransinterasikan kepada peserta didiknya. Kebersihan, keindahan, kedisiplinan, ketertiban, dan sebagainya. Nilai tersebut perlu dimiliki pendidik sehingga akan terjadi transinterasi (pemindahan penghayatan nilai-nilai) antara pendidi dan anak didik, baik langsung ataupun tidak langsung, atau setidak-tidaknya terjadi transaksi (alih tindakan ) antara keduanya.
2. Kompetensi sosial religious.
Kemampuan dasar kedua bagi pendidik adalah menyangkut kepedulian terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran Islam. Sikap gotong-royong, tolong menolong, egalitarian (perasaan sederajat antara sesama manusia), sikap toleransi, dan sebagainya juga perlu dimiliki oleh pendidik untuk selanjutnya diciptakan dalam suasana pendidikan Islam dalam rangka transisternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan anak didik.
3. Kompetensi Profesional religious
Kemampuan dasar yang ketiga ini menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional, dalam arti mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.
Kompoetensi di atas dapat dijabarkan sebagai berikut;
1. Mengetahui hal-hal yang perlu diajarkan, sehingga ia harus belajar dan mencari informasi tentang materi yang diajarkan.
2. Menguasai keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada anak didiknya.
3. Mempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengan konteks komponen-komponen secara keseluruhan melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara berpikir (way of thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu dikembangkan melalui proses edukasi.
4. Mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah di dapat sebelum di sajikan pada anak didiknya.
5. Mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan.
6. Memberi hadiah dan hukuman sesuai dengan usaha dan upaya yang dicapai anak didik dalam rangka memberikan persuasi dan motivasi dalam proses belajar.
7. Memberikan uswatun hasanah dan meningkatkan kualitas dan keprofesionalan-nya yang mengacu pada futuristik tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan, misalnya gaji, pangkat, kesehatan, perumahan, sehingga pendidik benar-benar berkemampuan tinggi dalam mendidik anak didinya.

4. Kode Etik yang harus dimiliki oleh Guru
Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationships) antara pendidik dan anak didik, orang tua anak didik, koleganya, serta dengan atasannya.
Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik, demikian juga jabatan pendidik mempunyai kode etik tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik. Bentuk kode etik setiap lembaga pendidik tidak harus sama tetapi secara instrinsik mempunyai kesamaan isi yang berlaku umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik. ( Westy Soemanto; 1982: 147)
Al Ghazali (Muh Nawawy, al-Ma’arif: 88) merumuskan kode etik seorang pendidik dengan 17 bagian yaitu ;
1. Menerima segala probel anak didik dengan sikap yang terbuka dan tabah.
2. Bersikap penyantun dan penyayang.
3. Menjaga kewibawaan dan kehormatan dalam bertintad.
4. mMenghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama.
5. Bersifat merendah ketika menyatu dengan masyarakat.
6. Menghilangkan sikap dan aktifitas yang tidak berguna dan sia-sia.
7. Bersifat lemah lembut dalam mengahadapi anak didik yang rendah tingkat.
8. Meninggal kan sifat marah.
9. Memperbaikai sikap anak didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap anak didik yang belum mengerti atau mengetahui
10. meninggalkan sikap yang menakutkan kepada anak didik yang belum mengerti atau mengetahui.
11. Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan anak didik walaupun pertanyaannya itu tidak bermutu.
12. Menerima kebenaran dari anak didik yang membantahnya.
13. Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan walaupun kebenaran itu datangnya dari anak didik.
14. mencegah anak didik mempelajari ilmu yang membahayakan.
15. Menanamkan sifat ikhlas pada anak didik serta terus-menerus mencari informasi gua disampaikan kepada anak didiknya yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah.
16. Mencegah anak didik mempelajari ilmu fardhu kifayah sebelum mempelajari ilmu fardhu ‘ain.
17. Mengaktualisasikan informasi yang akan diajarkan pada anak didik.

II. GURU YANG EFEKTIF (Tinjauan Praktik Tampilan Guru di Depan Kelas)
Dalam pendidikan islam, peranan guru—terutama untuk pendidikan dasar dan menengah—masih cukup besar. Walaupun masih banyak variabel lain yang mempengaruhi prestasi dan kualitas hasil pendidikan, namun guru masih mendominasi, bahkan di beberapa lembaga pendidikan tidak jarang guru masih berperan sebagai satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik. Karena itu cukup beralasan adanya upaya peningkatan kualtas efektifitas guru dalam proses pembelajaran terhadap kualtas pendidikan.
Untuk pembenahan ini ada tiga aspek yang harus diperbaiki, yakni; (1) aspek wawasan akademik, meliputi; wawasan medan keilmuan dan wawasan objektif masa depan, (2) aspek metodik, meliputi; strategi belajar mengajar, desain instruksional, evaluasi hhasil belajar, (3) aspek religik, meliputi; pendidikan wawasan niilai, meliputi; pendidikan wawasan nilai, satunya ilmu, iman dan amal.

1. Peningkatan Wawasan Akademik
Yang dimaksud dengaan wawasan akademik aadalah kemampuan guru untuk menguasai bidang-bidang yang terkait dengan tugas profesi keguruan di mana bidang-bidang tersebut secara langsung menunjang tugas utamanya. Bidang tersebbut jika disebutkan secara ringkas dapat dikelompokkan dalam tiga aspek, yakini penguasaan wawasan medan keilmuan; wawasan medan objektif peserta didik dan wawasan objektif masa depan.
Wawasn wawasan tersebut sebenarnya memiliki konstribusi cukup besar terhadap keberhasilan pengajar. Berdasarkan penilaian, aspek ini memiliki urutan kedua setelah penguasaan bahan.
a) Wawasan Medan Keilmuan.
Di antara ciri masyarakat moderen adalah segala sesuatu menjadi terspesialisasi, bahkan ilmu berkembang dan terbagi ke adalm cabang-cabang yang sangat luas, tidak jarang banyak ilmu yang sudah lupa dengan induknya. Sebagai akibatnya banyak cabang ilmu yang lepas dari filsafat, dan filsafat semakin jauh dari agama, tidak jarang justru dianggap sebagai indikasi dari kemajuan. Namun tidak disadari merupakan awal dari malapetaka, sebab ilmu menjadi semakin sempit dan sekuler.
Akibat lain dari hal ini banyak guru yang hanya memiliki satu keahlian dalam bidang tertentu, tetapi tidak memiliki gambaran tentang bidang-bidang yang terkait. Hal ini mengakibatkan sempitnya wawasan guru dalam mendidik muridnya. Bagi seorang pendidik, perlu memiliki wawasan yang luas tentang medan keilmuan yang terkait dengan tugas utamanya. Sehingga ia mampu mengetahui sejauh mana peranan yang diharapkan darinya untuk mencapai tujuan pendidikan masih tinggi. Hal ini menjadi sangat penting kaitannya dengan cara guru mengambil kebijakan dalam menyajikan bahan pengajaran maupun menilai hasil-hasil belajar peserta didik.
Bentuk dari wawasan medan keilmuan sosial di sini adalah mengetahui ilmu-ilmu sejenis dan ilmu-ilmu bantu serta yang terkait dengan bidang studi yang diajarkan. Mengetahui alur ilmu yang diajarkan tersebut dengan segala fadhilahnya serta keterbatasannya. Sebab tidak semua ilmu itu memiliki fadhilah yang sama, serta masing-masing ilmu memiliki jangkauan yang terbatas sifatnya.
Seperti keterbatansan ilmu bahasa adalah sebagai alat untuk memahami ilmu intinya; keterbatasan ilmu kalam untuk mengetahui kebenaran dan kebesaran Allah dengan rasio; ilmu fiqh adalah untuk mengetahui kewajiban dan larangan bagi manusia dan kifayahnya. Ilmu-ilmu tersebut tidak mampu menenemkan kecintaan terhadap Allah Swt sebagaimana kelebihan ilmu tasawuf.
Bahaya dari sempitnya pandangan pendidik terhadap wawasan keilmuan adalah munculnya pandangan yang sempit bahwa kebenaran hanyalah apa yang terdapat dalam ilmunya, serta menolak bahwa di luar ilmunya masih terdapat dunia yang luas.
b) Wawasan Medan Objektif Peserta Didik
Tidak sedikit pendidik yang masih asing terhadap sasaran garapannya, sehingga pendidik tersebut tidak memiliki pandangan yang reallistis terhadap peserta didiknya. Ia memandang peserta didiknya sebagai anak dewasa sama dengan banyagan dirinya, dan mereka memperlakukan peserta didik seperti memperlakukan terhadap dirinya sendiri.
Padahal dalam kenyataannya, peserta didik itu memiliki karakteristik khusus, yakni memiliki keragaman kemampuan intelektual, minat dan perhatian, latar belakang sosial ekonomi, dan keadaan fisik biologis. Hal ini tentu menuntut perlakuan yang berbeda pada masing-masing anak, sebab anak tumbuh dalam jiwanya sendiri-sendiri dan dalam alam yang berada satu dengan yang lain.
Untuk lebih mengenali medan peserta didik secara mendalam, setiap pendidik perlu mengetahui psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan yang merupakan cabang dari psikologi anak.
c) Wawasan objektif masa depan
hakekat pendidikan adalh menyiapkan generasi muda untuk dapat menghadapi persoalan-persoalan hidup dan kehidupan di masa yang akan datang. Masa depan adalah milik peserta didik, tetapi kemampuan mereka untuk melihat masa depan itu terbatas. Untuk itu pendidik perlu memberikan wawasan terhadap peserta didik untuk mengantisipasi keadaan masa depan yang masih gelap.
Wawasan terhadap maasa depan meliputi masa depan ekonomik, sosial, politik maupun masa depan yang menyangkut kehidupan jangka panjang yakni masa depan di akhirat, yang berkaitan dengan kehidupan agama. Sehingga peserta didik mampu melihat masa depan jangka pendek, menengah, dan panjang. Jangka pendek adalah kehidupan tahunan mendatang, jangka menengah adalah kehidupan dunia sedangkan jangka panjang adalah kehidupan akhirat.
Gambaran hidup masa depan perlu disampaikan secara dini melalui wawasan histori, dengan demikian wawasan historik itu tidak hanya mengungkap tentang keadaan masa lalu, tetapi juga yang sekarang dan yang akan datang. Kemampuan untuk memahami tentang keadaan masa depan dan upaya untuk melakukan antisipasinya terutama harus dimiliki oleh perancang kurikulum. Namun tidak kalah pentingnya bagi para pendidik untuk melihat relevansi mata kuliah yang diberikannya dengan aktualitas keadaan masa kini dan masa yang akan datang.
2. Peningkatan Aspek Metodik
dalam aspek ini seharusnya bagi pendidik lebih memiliki kreasi untuk mengembangkan dan mencari alternatif yang paling baik, sebab metode mengajar dan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan ini lebih merupakan seni mengajar dari pada pengetahuan yang bersifat permanen. Karena merupakan seni maka beberapa hal cocok untuk orang tertentu tetapi ketika diterapkan untuk orang lain menjadi tidak cocok lagi.
Sungguhpun demikian, tetap dapat dicari pola dasar yang bersifat umum dengan sasaran memaksimalkan tampilan guru agar mereka lebih siap di depan kelas. Adapun hal-hal yang bersifat umum meliputi; strategi belajar mengajar, desain intruksional dan evaluasi hasil belajar.
a) Masalah strategi belajr mengajar
Yang dimaksud dengan strategi belajar mengajar adalah pola umum kegiatan guru dan murid di dalam perwujudan belajar mengajar. (T.Raka Joni, 1985:4), yang meliputi pendekatan belajar mengajar, metode belajar mengajar, dan teknik belajar mengajar.
Pendekatan belajar mengajar adalah cara pemrosesan guru terhadap peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan metode belajar mengajar adalah cara kerja guru untuk memproses peserta didik sehingga mencapai tujuan pendidikan. Adapun tehnik belajar mengajar adalah prosedur belajar mengajar atau urutan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan metode dan pendekatan yang diambil.
Guru sebagai pembina dan pelatih peserta didik, ibarat sebagai menejer sepak bola yang bertugas mengatur anggota kesebelasan untuk dapat mencetak gol sebanyak mungkin ke gawang lawan. Untuk itu manajer harus dapat menyusun strategi untuk memenangkan pertandingan, diperlukan rumusan tentang pola permainan, metode dan tehnik menggiring bola agar masuk ke gawang lawan. Seghingga setiap ada kekeliruan langkah yang dilakukan oleh anak buahnya yang keluar dari skenario, akan mudah diketahui ke arah mana nantinya bola akan lari. Karena itu tentunya sudah pula disiapkan rencana dan antisipasi dan mencoba mengembalikan bola ke skenario sebelumnya.
Dalam hal yang demikian penguasaan medan objektif peserta didik menjadi penting. Adapun beberapa strategi belajar mengajar antara lain adalah;
1) berdasarkan jumlah guru dapat dibedakan antara strategi pengajaran dengan seorang guru dan team teaching,. Sedangkan hubungan antara guru dan mutid dapat dibedakan antara guru-murid; guru-media-murid; atau media-murid saja. Berdasarkan pengorganisasian murid, dapat dibedakan antara pengajaran model klasikal small group atau model individual.
2) Berdasarkan peristiwa belajar mengajar dapat dibedakan antara strategi belajar tertutup dengan strategi belajar terbuka. Belajar tertutup artinya guru dan murid sudah terikat dengan materi yang sudah dibakukan secara ketat, dan tidak ada peluang untuk mengembangkan materi baik oleh guru maupun murid, bahkan tidak jarang murid sendiri disuruh memilih materi apa yang dikehendaki.
3) Berdasarkan peran guru-murid dalam mengolah bahan pengajaran, dapat dibedakan antara bahan yang sudah diolah secara matang oleh guru sehingga murid tinggal menerima apa adanya, atau strategi dimana guru hanya memberikan cara-cara pengolahannya, sedangkan keseluruhan materi diolah sendiri oleh murid. Strategi kedua inilah yang memberikan kadar CBSA yang tinggi.
4) Berdasarkan proses pengolahan bahan pengajaran, dapat dibedakan antara strategi yang bertolak dari bahan yang bersifat umum baru mengarah kepada bahan yang khusus mengarah kepada pemahaman yang bersifat umum. Proses pengajaran yang bersifat dari hal-hal yang khusus ini memberikan kadar yang tinggi kepada murid.
5) Dilihat dari tujuan dan bentuk pengajaran dapat dibedakan antara belajar ketrampilan intelektual; strategi belajar kognitif; belajar informasi verbal; belajar ketrampilan motorik dan belajar sikap dan pembentukan nilai.
Dari beberapa strategi tersebut, khususnya yang terkait ciri khusus pendidikan pondok pesantren dan madrasah adalah pendidikan mengenai nilai, disamping ketrampilan intelektual dan strategi kognitifnya. Kelemahan beberapa guru yang sering kita temui di lapangan adalah hanya terpaku kepada metode mengajar, apakah ia metode caramah, tanya jawab, diskusi, penugasan, dan sebagainya, sering mengabaikan strategi yang lebih luas untuk mencapai sasaran tujuan pendidikan sesuai dengan karakteristik siswanya.
b) Disain instruksional
yang dimaksud dengan disain intruksional adalah suatu perencanaan pengajaran dengan menggunakan pendekatan sistem. Membuat disain intruksional merupakan proses analisis dari kebutuhan dan tujuan siswa, pengembangan sistem penyampaian untuk mencapai tujuan termasuk pengembangan materi, kegiatan belajar-mengajar dan kegiatan penilaian atas hasil belajar siswa. (Noerhida, ADR, 1980:3).
Sebenarnya disain intruksional ada beberapa macam, yang secara umum dikenal empat model, yaitu; (1) model Glaser, (2) model J.E.Kemp, (3) model Van Golder, (4) model satuan pelajaran (satpel). Model yang terakhir ini yang digunakan oleh sekolah dan madrasah berdasar kurikulum 1976.
Pada dasarnya hampir seluruh model itu sama dalam hal-hal yang esensial; namun yang bersifat komplementer terdapat variasi. Dalam model Satpel, komponen utamanya adalah sebagai berikut; (1) bidang studi, (2) sub bidang studi, (3) pokok bahasan, (4) kelas, (5) semester, (6) waktu, (7) Tujuan instruksional khusus, (8) tujuan intruksional umum, (9) materi pelajaran, (10) kegiatan belajar mengajar, (11) metode mengajar, (12) alat/sumber belajar, (14) evaluasi(14) feedback (dari nomor 13-7).
Ada hal esensiap yang belum dimasukkan dalam Satpel adalah entering behavior, yakni uraian tentang situasi permulaan yang menyangkut keadaan siswa yang akan menerima pelajaran; keadaan yang akan mengajarkan; keadaan situasi kelas dan kondisi sekolah dimana proses belajar mengajar akan berlangsung. Situasi itu harus digambarkan dan dikemukakan apa adanya, yakni situasi kongkrit yang relevan dengan tujuan pengajaran. Situasi siswa yang perlu diperhatiakan adalah tingkat kematangan , kecerdasan, keadaan sosial ekonomi, lingkungan sosial keluarga, kemampuan membaca, kebiasaan belajar, perhatian dan motivasinya, serta pengalaman pendidikan sebelumnya, sementara situasi guru yang perlu diperhatiakn adalah pengetahuan gur tentang bahan pengajaran dan siswa, kemampuan menggunakan strategi belajar mengajar, serta pandangan guru terhadap sidswa. Sedangkan situasi dan kondisi sekolah situasi belajar yang tepat, ketersediaan sarana dan prasarana media belajar.

c) Evaluasi Hasil Belajar
evaluasi hasil belajar atau lebih luasnya disebut dengan evaluasi pendidikan, sebenarnya bukan sekedar satu kegiatan yang mengakhiri proses pendidikan dan pengajaran, melainkan kegiatan yang mengawali dan menyertai proses pendidikan. Dalam sistem manajemen, evaluasi memiliki fungsi kontroling dan dilakukan untuk mengadakan feedback terhadap setiap langkah dalam proses manajemen.
Evaluasi berbeda dengan pengukuran (measurement), sebab dalam pengukuran guru sekedar mengetahui apa adanya dari objek yang diukur. Sedangkan dalam evaluasi hasil pengukuran itu dibandingkan dengan tolok ukur tertentu yang dipilih oleh guru. Dengan demikian dalam merencanakan evaluasi hasil belajar, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan; tujuan evaluasi, alat ukur yang digunakan, acuan yang dijadikan standar, pelaksanaan pengukuran.
1) tujuan evaluasi
tujuan tidak semata-mata untuk mengetahui keberhasilan belajar peserta didik saja, melainkan termasuk untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan guru dalam mendidik dan mengetahui seberapa jauh target pencapaian kurikulum yang mampu diserap oleh peserta didik, apakah proses pendidikan itu berlangsung sesuai dengan rencana atau tidak. Lebih jauh dari itu tujuan evaluasi dapat digunakan untuk melihat seberapa tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik dan mampu memberikan sumbangan kepada masyarakat sesuai dengan apa yang diharapkan.
Untuk mencapai tujuan tersebut evaluasi pendidikan dapat dibedakan menjadi; evaluasi input, evaluasi proses, evaluasi output, dan evaluasi konteks. Sedang jika dilihat dari kepentingan proses belajar mengajar dapat dibedakan antara; evaluasi awal/input, evaluasi formatif, dan sumatif.
Evaluasi input bertujuan untuk mengetahui keadaan peserta didik sebelum menerima pelajaran, dalam hal ini perencanaan pengajaran menjadi sangat penting untuk menganalisis situasi awal ini. Evaluasi formatif bertujuan untuk mengetahui apakah proses belajar mengajar sudah mencapai hasil yang diharapkan, baik oleh murid maupun oleh guru. Sehingga dengan demikian evaluasi ini perlu dilakukan secara periodik yang hasilnya digunakan untuk melakukan perbaikan terhadap proses belajar mengajar pada tahap berikutnya. Evaluasi sumatif bertujuan untuk mengukur kemampuan akhir peserta didik sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan dan dilaksanakan pada akhir program.
Hal yang sering dilakukan dalam proses belajar mengajar adalah guru mengevaluasi kepada peserta didik, namun jarang sekali melakukan evaluasi terhadap cara mengajarnya. Sehingga setiap kegagalan dalam belajar mengajar masih saja selalu dilimpahkan kesalahan tersebut kepada peserta didik.
2) Alat ukur yang digunakan.
Alat ukur yang digunakan dalam evaluasi belajar adalah; tes tulis, tes lisan, pedoman observasi/tes tindakan. Masing-masing alat tersebut memiliki kelebihan dan kekuarangan, sehingga dalam penyusunan diperlukan pertimbangan-pertimbangan khusus. Tes tulis dapat meliputi tes kepribadian dan tes hasil belajar. Sedangkan bentuknya dapat berupa tes uraian (essay) dan tes terstruktur (objektif).
Yang perlu diperhatikan dalam menyususn tes terstruktur (objektif) adalah jangan hanya mengejar validitas bentuk, tetapi yang penting adalah validitas isi. Menyadari keterbatasan tes objektif, pilihan bentuk yang sesuai dengan tujuan pengajaran, materi pengajaran dan pertimbangan kepraktisan, termasuk mempertimbangkan reliabilitas tes tersebut.
Sementara itu tes lisan memerlukan pemerataan dalam hal banyak atau sedikit pertanyaan yang diberikan kepada masing-masing peserta didik, termasuk tingkat kesukarannya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah stabilitas dan objektivitas dalam pemberian skor kepada masing-masing peserta didik.
Tes tindakan yang seringkali digunakan untuk mengukur kemampuan psikomotor peserta didik yang tidak mungkin dilakukan dengan cara tanya jawab secara tertulis maupun lisan seringkali menghadapi kendala-kendala keterbatasan waktu dan tempat. Hal lain yang sering mengganggu adalah observasi terhadap program dapat mempengaruhi peserta didik untuk mengubah prilakunya sesaat sesuai dengan kepentingan program tersebut. Konsekwensinya prilaku yang muncul saat observasi dilakukan adalah prilaku yang tidak sebenarnya. Untuk menghindari hal tersebut observasi dilakukan secara periodik sehingga perilaku yang muncul itu dapat bersifat alami. Demikian pula hasil observasi hendak dapat di-administrasikan dengan baik sehingga guru dapat mengikuti perkembangan prilaku peserta didik dan kualitasnya dari hari ke hari.

3) Acuan yang digunakan sebagi tolok ukur.
Problem evaluasi kadang-kadang tidak hanya terdapat pada cara melakukan pengukuran dan alat ukurnya, tetapi justru terpulang pada ketidakpastian penggunaan kreteria yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Alat ukur yang sama, dilakukan dengan cara yang sama terhadap objek yang relatif homogen, tetapi jika menggunakan kreteria yang tidak sama akan menghasilkan penilaian yang berbeda.
Dalam evaluasi pendidikan, khususnya pendidikan agama dapat dikembangkan adanya tiga acuan, yakni; acuan kelompok, acuan patokan, dan acuan nilai/etik. Acuan kelompok digunakan atas dasar asumsi psikologik dimana terdapat kemampuan siswa yang beragam yang menggambarkan distribusi frekwensi formal. Sehingga untuk menentukan tinggi rendahnya nilai masing-masing peserta didik ditarik dari seberapa jauh penyimpangan tersebut dari rata-rata kelompoknya. Tentu kedudukan ini menjadi relatif, sebab kemampuan rata-rata kelompok tersebut bersifat relatif. Ada kemungkinan peserta didik jika dibandingkan dengan kelompok A, akan memperoleh nilai baik, karena ia berada dalam posisi 1,5 sd, tetapi jika ia dibandingkan dengan kelompok B yang mempunyai rata-rata lebih tinggi, bisa jadi ia hanya menempati posisi 0,5 sdd, sehingga paling tinggi ia memperoleh nilai C. Acuan kelompok ini sulit dijadikan tolok ukur untuk nilai-nilai agama yang sifatnya pasti (normatif) dan tidak mungkin hanya didasarkan atas norma kelompok.
Acuan patokan, digunakan untuk menentukan nilai peserta didik setelah membandingkan hasil pengukuran dengan target pencapaian kurikulum (luas sempitnya penguasaan materi); atau target pencapaian tujuan tertentu misalnya dalam bentuk ketrampilan. Acuan ini digunakan atas dasar asumsi paedagogik di mana semua siswa diasumsikan mampu melakukan apa yang diminta oleh guru. Sehingga pendidikan yang berhasil jika sebagian besar peserta didik memperoleh nilai baik.
Acuan nilai/etik, digunakan atas dasar asumsi satunya antara ilmu, iman dan amal. Sehingga pendidikan agama yang berintikan pada niilai, ilmu, iman, dan amal tersebut seluruhnya dapat dinilai. Dasr penilaiannya adalah tata nilai baik dan benar menurut agama yang bersifat normatif dan absolut, sehingga tidak mungkin hanya didasarkan atas tolok ukur kurikulum, ataupun rata-rata kelas.
4) Pelaksanaan pengukuran
dalam pelaksanaan pengukuran perlu diusahakan agar keadaan benar-benar alami, artinya apa yang keluar dari peserta didik dalam keadaan yang sebenarnya, tidak ada manipulasi. Hal yang perlu dilakukan adalah semakin sering dilakukan pengukuran, hasilnya semakin baik, sebab selain hal ini Akan menggambarkan keadaan yang sebenarnya, juga sekaligus menghindari cara belajar peserta didik yang sekedar untung-untungan.

4. Peningkatan Aspek Religik
Aspek ini menjadi penting dan menonjol dalam pendidikan di Indonesia , khususnya pendidikan Islam. Sebab bangsa Indonesia yang mendasarkan diri pada falsafah pancasila ternyata dalam perkembangannya semakin meninggalkan sifat sekuler dan sekarang cenderung bersifat teistik. Langkah ini perlu diimbangi dengan praktek pendidikan yang lebih Islami. Diantara upaya untuk mengarah pada upaya ini adalah, pertama, pendidikan harus memiliki wawasan nilai, dan kedua pendidikan harus mampu memadukan antara kebenaran ilmu, iman dan amal.

1) pendidikan berwawasan nilai
Yang dimaksud dengan pendidikan berwawasan nilai adalah bahwa tujuan pendidikan, materi pendidikan dan praktek pendidikan haruslah selalu dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan yang universal. Dengan demikian sifat pendidikan tidak lagi hanya rasional objektif yang materialis. Sebab jika keadaan pendidikan nasional masih demikian, maka tujuan pendidikan nasional untuk membentuk kepribadian bangsa yang sosialis religious tidak akan tercapai.
Wawasan nilai ini mencakup semua aspek bidang studi, terutama yang bersifat duniawi sedapat mungkin dapat dikaitkan dengan nilai Islam. Atau setidak-tidaknya pada objektivitas yang bersifat netral, tidak sebaliknya, dikembangkan untuk merongrong nilai spiritual peserta didik yang masih tumbuh secara rawan.
2) singkronisasi antara ilmu, iman dan amal.
Sebagai konsekuensi pendidikan yang berwawasan nilai tersebut, pendidikan Islam harus mampu menyatukan antara iman, ilmu dan amal. Singkronisasi ini tidak hanya dalam teori melainkan harus dapat diwujudkan dalam kenyataan. Konsekuensi dari perwujudan ini memang sulit dan berat untuk diterapkan tetapi mustahil untuk dilaksanakan. Sebab contoh ini banyak berkembang di Indonesia pada lembaga pendidikan pondok pesantren yang menekankan satunya ilmu, dan amal, sehingga hasil pendidikannya selain membentuk menusia trampil, cerdas, berilmu, juga beriman. Tingkat ketaqwaan dan keimanan siswa pesantren secara umum tidak dapat diragukan dibandingkan dengan siswa sekolah pada umumnya. Namun dalam kenyataan sehari-hari, kita banyak menjumpai lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan banyak teori tentang nilai-nilai Islam, tetapi dalam prakteknya seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Wa Allah A’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibuha, (terj.) CV.Diponegoro, Banding, 1992
Amstrong, The Process Education, New TýYork, Vintage Boo, Chaehan, 1977
Cece Wijaya, Kemampuan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, bandung, PT. Remaja Roesdakarya, 1994
Finn, dalam Ahmad tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung, PT. Remaja Roedakarya, 1994
Gary A.David, Margaret A. Thomas, Effective Schools and Effektive Teacher, Printed USAý, 1989
Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Logos, Ciputat, 1999
Ikatan sarjana Pendidikan Indonesia, Profesionalitas Tenaga Pendidikan, no. I. ISSN, 02115/9643
Malik fadjar, Pengembangan pendidikan Islam yang menjanjikan masa depan, Majalah al-Harakah, no.47, edisi Juli-September 1997
Muhammad Usai Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung, PT. Remaja Roesdakarya, 1989.
Nurhida, ADR, Disain Intruksional, PSG, Depdikbud, Jakarta, 1980.
NY.Roestiyah,NK. Masalah-masalah ilmu keguruan, Jakarta, Bina Aksara, 1984.
T. Raka Joni, Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar, P2LPTK, Dirjen Dikti Depdikbud, jakarta, 1985

sumber :



Artikel Terkait:

0 comments:

Poskan Komentar

Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa berikan komentar, dan jangan sisipkan spam. Terima Kasih!!!