Pancasila sebagai Dasar Negara
Bookmark and Share

Wednesday, October 28, 2009

by TUR WAHYUDIN
Sebagai dasar negara, Pancasila memang tidak memiliki parameter dan ukuran yang jelas sehingga memberi peluang bagi siapa saja untuk menafsirkan sesuai dengan latar belakang pemikiran dan penafsirannya.
Sebagai dasar negara, Pancasila harus merupakan dasar kebijakan (policy) dan tolok ukur penyelenggaraan kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara.
Ketika presiden pertama RI Soekarno yang mempopulerkan Pancasila sebagai dasar Negara berkuasa, maka Pancasilais sejati adalah pendukung Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Zaman Soeharto Pancasilais sejati mengacu kepada doktrin Eka Prasetya Pancakarsa (P-4 alias Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan mendapat justifikasi dengan pola penataran P-4 hingga berpuluh-puluh jam lamanya.
Padahal dasar Negara adalah fondamen sebuah pemerintahan negara. Dalam UUD ’45 dasar negara secara formal diletakkan pada BAB Agama yaitu Pasal 29 ayat 1: “Negara Berdasarkan Atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bagaimana penjelasan masalah ini?
Bukan itu saja yang membuat resah, saat menghadapi situasi krisis seperti sekarang. Undang-undang Dasar 1945 yang telah diubah (diamandemen) sebanyak empat kali dinilai tidak sah.

Pancasila Sebagai Falsafah Negara
Bookmark and Share

by TUR WAHYUDIN

Sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila telah menjadi obyek aneka kajian filsafat. Antara lain terkenallah temuan Notonagoro dalam kajian filsafat hukum, bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sekalipun nyata bobot dan latar belakang yang bersifat politis, Pancasila telah dinyatakan dalam GBHN 1983 sebagai “satu-satunya azas” dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tercatat ada pula sejumlah naskah tentang Pancasila dalam perspektif suatu agama karena selain unsur-unsur lokal (“milik dan ciri khas bangsa Indonesia”) diakui adanya unsur universal yang biasanya diklim ada dalam setiap agama. Namun rasanya lebih tepat untuk melihat Pancasila sebagai obyek kajian filsafat politik, yang berbicara mengenai kehidupan bersama manusia menurut pertimbangan epistemologis yang bertolak dari urut-urutan pemahaman (“ordo cognoscendi”), dan bukan bertolak dari urut-urutan logis (“ordo essendi”) yang menempatkan Allah sebagai prioritas utama.

Pancasila sebagai falsafah kategori pertama adalah perwujudan bentuk bangunan yang diangan-angankan dalam penggambaran diatas kertas, dan Pancasila sebagai falsafah kategori yang kedua adalah adanya lokasi serta tingkat ketersediaan bahan-bahan untuk merealisasikan bangunan yang dicita-citakan. Pancasila sebagai falsafah yang dimaksudkan adalah tiap sila didalamnya yang (oleh karena perkembangan sejarah) selain masih tetap berfungsi sebagai landasan ideologis, iapun telah memperoleh nilai-nilai falsafi didalam dirinya, yang dapat kita masukkan kedalamnya adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Persatuan Indonesia.

Menurut Hardono Hadi, jika Pancasila menjadi obyek kajian filsafat, maka harus ditegaskan lebih dahulu apakah dalam filsafat Pancasila itu dibicarakan filsafat tentang Pancasila (yaitu hakekat Pancasila) atau filsafat yang terdapat dalam Pancasila (yaitu muatan filsafatnya). Mengenai hal ini evidensi atau isyarat yang tak dapat diragukan mengenai Pancasila terdapat naskah Pembukaan UUD 1945 dan dalam kata “Bhinneka Tunggal Ika” dalam lambang negara Republik Indonesia. Dalam naskah Pembukaan UUD 1945 itu, Pancasila menjadi “defining characteristics” = pernyataan jatidiri bangsa = cita-cita atau tantangan yang ingin diwujudkan = hakekat berdalam dari bangsa Indonesia. Dalam jatidiri ada unsur kepribadian, unsur keunikan dan unsur identitas diri. Namun dengan menjadikan Pancasila jatidiri bangsa tidak dengan sendirinya jelas apakah nilai-nilai yang termuat di dalamnya sudah terumus jelas dan terpilah-pilah.

Sesungguhnya dalam kata “Bhinneka Tunggal Ika” terdapat isyarat utama untuk mendapatkan informasi tentang arti Pancasila, dan kunci bagi kegiatan merumuskan muatan filsafat yang terdapat dalam Pancasila. Dalam konteks itu dapatlah diidentifikasikan mana yang bernilai universifal dan mana yang bersifat lokal = ciri khas bangsa Indonesia.

Tugas. “Bhinneka Tunggal Ika” secara harafiah identik dengan “E Pluribus Unum” pada lambang negara Amerika Serikat. Demikian pula dokumen Pembukaan UUD 1945 memiliki bobot sama dengan “Declaration of Independence” negara tersebut. Buatlah suatu analisis mengenai perbedaan muatan dalam kedua teks itu.
Suatu kajian atas Pancasila dalam kacamata filsafat tentang manusia menurut aliran eksistensialisme disumbangkan oleh N Driyarkara. Menurut Driyarkara, keberadaan manusia senantiasa bersifat ada-bersama manusia lain. Oleh karena itu rumusan filsafat dari Pancasila adalah sebagai berikut:

Aku manusia mengakui bahwa adaku itu merupakan ada-bersama-dalam-ikatan-cintakasih (“liebendes Miteinadersein”) dengan sesamaku. Perwudjudan sikap cintakasih dengan sesama manusia itu disebut “Perikemanusiaan yang adil dan beradab”.

Perikemanusiaan itu harus kujalankan dalam bersama-sama menciptakan, memiliki dan menggunakan barang-barang yang berguna sebagai syarat-syarat, alat-alat dan perlengkapan hidup. Penjelmaan dari perikemanusiaan ini disebut “keadilan sosial”.

Perikemanusiaan itu harus kulakukan juga dalam memasyarakat. Memasyarakat berarti mengadakan kesatuan karya dan agar kesatuan karya itu betul-betul merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan, setiap anggauta harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya. Itulah demokrasi = “kerakyatan yang dipimpin …”.

Perikemanusiaan itu harus juga kulakukan dalam hubunganku dengan sesamaku yang oleh perjalanan sejarah, keadaan tempat, keturunan, kebudayaan dan adat istiadat, telah menjadikan aku manusia konkrit dalam perasaan, semangat dan cara berfikir. Itulah sila kebangsaan atau “persatuan Indonesia”.

Selanjutnya aku meyakini bahwa adaku itu ada-bersama, ada-terhubung, serba-tersokong, serba tergantung. Adaku tidak sempurna, tidak atas kekuatanku sendiri. Adaku bukan sumber dari adaku. Yang menjadi sumber adaku hanyalah Ada-Yang-Mutlak, Sang Maha Ada, Pribadi (Dhat) yang mahasempurna, Tuhan yang Maha Esa. Itulah dasar bagi sila pertama: “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Pengertian Demokrasi
Bookmark and Share

by TUR WAHYUDIN

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaanwarga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif,yudikatif danlegislatif ) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (andependent) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsipchecks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses PEMILU llegislatif, selain sesuai hukum dan peraturan Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).

Identitas Nasional
Bookmark and Share

by TUR WAHYUDIN

(Artikel ini saya dapatkan dari berbagai sumber internet dan buku untuk melengkapi media belajar saya. Sebelumnya saya meminta maaf telah mencuri karya Anda dengan Jalan Copy Paste. Karena jika harus kembali ke halaman Anda sangat susah dan kadang problem loading page. Makanya, saya kliping di sini biar mudah membacanya)

Inilah sumber-sumber untuk artikel ini:

http://kewarganegaraan.wordpress.com/2007/11/30/ memerangi-pengikisan-identitas-nasional/

http://fisip.untirta.ac.id/teguh/?p=45

dan lainnya yang saya lupa dimana link-nya.

Pengertian Identitas Nasional

Identity : ciri-ciri, tanda atau jati diri

Term antropologi : identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi, golongan sendiri, kelompok sendiri, atau negara sendiri.

Nasional merupakan identitas yang melekat pada kelompok- kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, dan bahasa maupun non fisik, seperti keinginan,cita-cita dan tujuan. Jadi adapun pengertian identitas sendiri adalah ciri-ciri, tanda-tanda, jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang bisa membedakannya.

Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya.

Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka Identitas Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh dan berkembang sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini dalam berbagai aspek kehidupan bdari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

kewarganegaraan.jpg

Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional.

Perlu dikemukaikan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai Identitas Nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan implikasinyaadalahidentitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat.

Krisis multidimensi yang kini sedang melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam Pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu :

“Pemerintah memajukan Kebudayan Nasional Indonesia “

yang dibei penjelasan :

” Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.

Kemudian dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah disebutkan dalam Pasal 32

1. Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
2. Negara menghormatio dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952

NASIONALISME

Dasar pembenaran Kemerdekaan yaitu :

Negara(State) Bangsa (Nation) melahirkan paham nasionalisme/kebangsaan
Bangsa : wadah kesamaan keyakinan dan cita-cita
Bangsa : terdiri banyak etnis / suku
Nation : rasa kebangsaan suatu negara senasib sepenanggungan
Negara : Insitusi yang sah berd. hukum internasional

* Ernest Renan (Negara Bangsa/ Nation State: sekelompok orang yg merasa bersatu karena kesamaan sejarah, nasib dan penderitaan juga cita-cita yang sama seperti halnya Indonesia .

* Ernest Renan menegaskan unsur dasar (contituting element) : bukan SARA tetapi hasrat untuk bersatu (the desire to be together). Misalnya, Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar pemersatu.

NEGARA BANGSA

1. Identitas politik atau kep. bersama dlm sebuah wadah.(keyakinan, ras,etnis, agama, bahasa, budaya)
2. Dean A. Minix & Sandra M Hawley :Bangsa yang memiliki bangunan politik (political building) : teritorial, pemerinthan sah, pengakuan Luar Negri, dsb.

NASIONALISME DI INDONESIA

Ditandai Lahirnya

* Hasil Politik Etis (abad 19-20)
* Tumbuhnya Paham Nasionalism
* Budi Utomo 1908
* Indische Partij 1912, Volksraad 1917
* Sumpah Pemuda 1928
* Proklamasi 1945


UNSUR – UNSUR PEMBENTUK IDENTITAS NASIONAL

* Suku Bangsa: gol sosial (askriptif : asal lahir), golongan, umur.
* Agama : sistem keyakinan dan kepercayaan
* Kebudayaan: pengetahuan manusia sebagai pedoman nilai,moral, das sein das sollen,dalam kehidupan aktual.
* Bahasa : Bhs Melayu-penghubung (linguafranca)

TURUNAN KONSEP NASIONALISME

A.Negara Bangsa

B. Warga Negara

C. Dasar Negara Pancasila


INTEGRASI

* Integrasi Sosial : penyatu paduan kelmpok- kelompok masy. yg asalnya brbda mnjdi kelompok bsr. Cth. asimilasi, koordinasi, kerjasama, akomodasi.
* Pluralisme Kebudayaan: Pend. Heterogenitas atau ke Bhinekhaan kebudayaan yg berbeda, dengan kebudayaan suku – suku bangsa dan kelompok minoritas.

* Integrasi Nasional : Penyatupaduan bagian-bagian yg berbeda dari suatu masyarkat mnjdi suatu keseluruhan yg lbh utuh atau memadukan masyarakat kecil mnjdi bangsa.
* Inregrasi Bangsa : kemampuan pemerintah yang semakin meningkat untuk menerapkan kekuasaannya (Mahfud MD 1993 : 71)
* Integrasi Nasional Saat ini
* Integrasi à Societal Struktur
* Ekonomi : terpadu baik produksi, distribusi, konsumsi
* Sosial : Berbeda tetapi harmonis 1. daerah pemukiman. 2 lembaga pendidikan 3. tempat pekerjaan 4. perkawinan
* Budaya : 1.pada takut bahasa: Indonesia 2. tkt nilai dan norma terintegrasi (akulturasi)
* Politik : kegiatan politik terintegrasi

Disintegrasi
menunjukan ketegangan dan konflik ke empat point diatas

Akankah Kita Junjung Tinggi Identitas Nasional?


Atau Justru kita Merusak dan Meniadakannya?

Sekilas kata-kata diatas memang membuat tanda tanya besar dalam memaknainya. Beribu-ribu kemungkinan yang terus melintas dibenak pikiran, untuk menjawab sebuah pertanyaan yang membahas tentang identitas nasional.
Kendatipun, dalam hidup keseharian yang mencakup suatu negara berdaulat, Indonesia sendiri sudah menganggap bahwa dirinya memiliki identitas nasional. Akan tetapi pada kenyataannya negara kita ini masih merasakan kekritisan yang mengancam disintegrasi.
Adapun pengertian identitas sendiri adalah ciri-ciri, tanda-tanda, jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang bisa membedakannya.

Oleh karena ciri-ciri atau tanda-tanda yang terdapat dalam identitas nasional itu, suatu negara mampu menampilkan watak, karakteristik kebudayaan dan memperkuat rasa kebangsaan. Dan identitas nasional juga bisa dikatakan sebagai jati diri yang menjadi selogan-selogan kibaran bendera kehidupan.
Karena kedudukannya yang amat penting itu, identitas nasional harus dimiliki oleh setiap bangsa. Karena tanpa identitas nasional suatu bangsa akan terombang-ambing.
Namun apabila kita melihat penomena yang terjadi di masyarakat saat ini, identitas yang dimiliki bangsa kita seolah-olah telah terkikis dengan adanya pengaruh yang timbul dari pihak luar. Budaya-budaya barat yang masuk ke negara kita ini, rasanya begitu capat di serap oleh lapisan masyarakat. Misalnya saja kita ambil contoh dalam hal berpakaian. Pakaian kita pada umumnya sudah bergaya kebarat-baratan, dan secara tidak langsung kita telah mengabaikan prinsip-prinsip ajaran yang memang telah di tentukan. Dan di samping itu menjadi budaya masyarakat kita pada umumnya. Masyarakat lebih mudah mengambil budaya-budaya barat yang tidak sesuai dengan corak ketimuran. Yang pada dasarnya masih menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Namun kenyataannya, hal itu sering kali di abaikan.

Dengan melihat kenyataan ini, terlihat jelas bahwa identitas nasional telah mulai terkikis dengan datangnya budaya-budaya barat yang memang tidak sesuai dengan budaya bangsa indonesia.

Langkah kita selanjutnya adalah bagaimana caranya untuk memerangi pengikisan identitas nasional. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah menumbuhkan kembali sifat-sifat identitas nasional kedalam pribadi manusia itu sendiri. Agar timbul dalam dirinya sebuah pemahaman akan identitas nasional suatu bangsa. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah akankah kita junjung tinggi identitas nasional, atau justru kita merusak dan meniadakannya. Jawaban akan pertanyaan ini tentu kembali kepada pribadi kita masing-masing. Sejauh mana kita mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.


sumber : http://turwahyudin.wordpress.com

Pancasila sebagai Ideologi Negara
Bookmark and Share

by TUR WAHYUDIN

Sebagai tambahan referensi untuk mengerjakan tugas PKn, maka kutemukan artikel yang berjudul Ideologi Pancasila di Tengah Perubahan Dunia yang ditulis oleh Siswono Yudo Husodo, Ketua Umum DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).

Dunia berkembang dan berubah dengan sangat cepat, dan perubahan yang terjadi itu ikut mewarnai kehidupan bangsa kita secara fundamental. Ada beberapa penulis buku yang melalui konsep-konsepnya telah berhasil memotret realitas zaman yang sedang kita jalani ini. Di antaranya adalah Rowan Gibson (1997) yang menyatakan bahwa The road stop here. Masa di depan kita nanti akan sangat lain dari masa lalu, dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan itu.

New time call for new organizations, dengan tantangan yang berbeda diperlukan bentuk organisasi yang berbeda, dengan ciri efisiensi yang tinggi. Where do we go next; dengan berbagai perubahan yang terjadi, setiap organisasi-termasuk organisasi negara-perlu merumuskan dengan tepat arah yang ingin dituju. Peter Senge (1994) mengemukakan bahwa ke depan terjadi perubahan dari detail complexity menjadi dynamic complexitycosmopolitan, dan karenanya setiap pelakunya, termasuk pelaku bisnis dan politik dituntut memiliki 4 C, yaitu concept, competence, connection, dan confidence. yang membuat interpolasi menjadi sulit. Perubahan-perubahan terjadi sangat mendadak dan tidak menentu. Rossabeth Moss Kanter (1994) juga menyatakan bahwa masa depan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran

Peran Ideologi

Sejak berakhirnya perang dingin yang kental diwarnai persaingan ideologi antara blok Barat yang memromosikan liberalisme-kapitalisme dan blok Timur yang mempromosikan komunisme-sosialisme, tata pergaulan dunia mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Beberapa kalangan mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan bubarnya negara Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin-di akhir dekade 1980-an- dunia ini mengakhiri periode bipolar dan memasuki periode multipolar.

Periode multipolar yang dimulai awal 1990-an yang kita alami selama sekitar satu dekade, juga pada akhirnya disinyalir banyak pihak terutama para pengamat politik internasional, telah berakhir setelah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden George Bush memromosikan doktrin unilateralisme dalam menangani masalah internasional sebagai wujud dari konsepsi dunia unipolar yang ada di bawah pengaruhnya.

Dapat disimpulkan bahwa era persaingan ideologis dalam dimensi global telah berakhir. Saat ini kita belum dapat membayangkan bahwa dalam waktu dekat akan muncul kembali persaingan ideologis yang keras yang meliputi seluruh wilayah dunia ini. Dunia sekarang ini cenderung masuk kembali ke arah persaingan antarbangsa dan negara, yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi karena setiap negara sedang berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga bangsanya. Dalam era yang seperti ini, kedudukan ideologi nasional suatu negara akan berperan dalam mengembangkan kemampuan bersaing negara yang bersangkutan dengan negara lainnya.

Pancasila sebagai ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah cara pandang dan metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan membangun negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan di kalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara dengan tanah airnya.

Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Dengan ideologi nasional yang mantap seluruh dinamika sosial, budaya, dan politik dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan kesejahteraan bangsa.

Kesadaran Berbangsa

Sebenarnya, proses reformasi selama enam tahun belakangan ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara kita untuk membangun negara Pancasila ini. Sayangnya, peluang untuk melakukan revitalisasi ideologi kebangsaan kita dalam era reformasi ini masih kurang dimanfaatkan. Bahkan dalam proses reformasi-selain sejumlah keberhasilan yang ada, terutama dalam bidang politik-juga muncul ekses berupa melemahnya kesadaran hidup berbangsa.

Manifestasinya muncul dalam bentuk gerakan separatisme, tidak diindahkannya konsensus nasional, pelaksanaan otonomi daerah yang menyuburkan etnosentrisme dan desentralisasi korupsi, demokratisasi yang dimanfaatkan untuk mengembangkan paham sektarian, dan munculnya kelompok-kelompok yang memromosikan secara terbuka ideologi di luar Pancasila.

Patut disadari oleh semua warga bangsa bahwa keragaman bangsa ini adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus dikembangkan karena bangsa ini perlu hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Sayangnya, belum semua warga bangsa kita menerima keragaman sebagai berkah. Oleh karenanya, kita semua harus menolak adanya konsepsi hegemoni mayoritas yang melindungi minoritas karena konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1945 terbentuk dengan karakter utamanya mengakui pluralitas dan kesetaraan antarwarga bangsa. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa kita yang bersifat final. Oleh karenanya, NKRI tidak dapat diubah menjadi bentuk negara yang lain dan perubahan bentuk NKRI tidak akan difasilitasi oleh NKRI sendiri.

Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan founding fathers telah membekali kita dengan aspek-aspek normatif negara bangsa yang menganut nilai-nilai yang sangat maju dan modern. Oleh sebab itu, tugas kita semua sebagai warga bangsa untuk mengimplementasikannya secara konkret. NKRI yang mengakui, menghormati keragaman dan kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk mengantarkan masyarakat kita pada pencapaian kemajuan peradabannya.

Perlu disadari oleh semua pihak bahwa proses demokratisasi yang sedang berlangsung ini memiliki koridor, yaitu untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan NKRI, yang menganut ideologi negara Pancasila yang membina keberagaman, dan memantapkan kesetaraan. Oleh karenanya, tidak semua hal dapat dilakukan dengan mengatasnamakan demokrasi.

Pancasila sebagaimana ideologi manapun di dunia ini, adalah kerangka berfikir yang senantiasa memerlukan penyempurnaan. Karena tidak ada satu pun ideologi yang disusun dengan begitu sempurnanya sehingga cukup lengkap dan bersifat abadi untuk semua zaman, kondisi, dan situasi. Setiap ideologi memerlukan hadirnya proses dialektika agar ia dapat mengembangkan dirinya dan tetap adaptif dengan perkembangan yang terjadi. Dalam hal ini, setiap warga negara Indonesia yang mencintai negara dan bangsa ini berhak ikut dalam proses merevitalisasi ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, prestasi bangsa kita akan menentukan posisi Pancasila di tengah percaturan ideologi dunia saat ini dan di masa mendatang.

PENINGKATAN PROSES BELAJAR MENGAJAR MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Bookmark and Share

Thursday, July 30, 2009

Oleh : Khairul Iksan

Abstrak : Proses belajar mengajar akan mengalami peningkatan dari sisi keaktifan, kreatifitas dan kesenangan siswa, karena dalam pembelajaran kontekstual guru berusaha menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.

Kata kunci : Belajar-mengajar, pembelajaran, pembelajaran kontekstual,


I. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan masalah yang komplek, antara lain ia mencakup soal kurikulum, para guru, keadaan masyarakat dan kiranya juga soal politik. Walaupun kurikulumnya baik, tetapi jika korps guru kurang kemampuannya dalam menyampaikan ilmu kepada anak didiknya,maka kurikulum yang baik itu tidak banyak manfaatnya. Bila kurikulumnya baik para gurupun bermutu, namun jika para murid pada umumnya bersifat santai, malas belajar dan tidak disiplin, maka kedua faktor yang terdahulupun tidak akan banyak manfaatnya. Dan mendangkalnya mutu pendidikan sekarang ini kiranya juga merupakan akibat dari politik Pemerintah yang berupa pemerataan pendidikan yang lebih mengutamakan memperbanyak materi pelajaran daripada menghidupkan kemampuan (kompetensi) anak didik.

Alhamdulillah saat ini Pemerintah sudah memandang tiba saatnya untuk memperbaiki mutu pendidikan, misalnya dengan mengadakan berbagai macam workshop kepada para guru dari semua tingkatan perguruan. Pemerintahpun merencanakan memperbaiki penghasilan para guru di tahun depan atau pada masa-masa yang akan datang,sebagaimana yang disebutkan dalam UU tentang Standar Pendidikan Nasional dan UU tentang Guru . Hal ini penting sekali, karena bagaimana mungkin para guru dapat mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya kepada tugas-tugasnya bilamana mereka terus dirongrong oleh beban hidup yang berat.

Tetapi tindakan perbaikan dari pemerintah saja tidak cukup. Semua wajib membantu usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan para guru dari semua tingkatan perguruan, antara lain wajib bekerja penuh dedikasi, berdisiplin dan senantiasa meningkatkan pengetahuannya, sedangkan para orang tua wajib membantu dalam menegakkan disiplin belajar dan perilaku putra-putrinya.

Sekolah Dasar yang merupakan pendidikan awal dan menjadi dasar dari segala pendidikan yang ada diatasnya, diperlukan pendidikan yang profesional, sehingga murid betul-betul bisa melanjutkan pendidikannya kepada pendidikan yang ada di atasnya. Selain iu Sekolah Dasar juga mempersiapkan anak didiknya agar dapat terjun dalam masyarakat dan dapat mengembangkan sikap belajar sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan seumur hidup ( Way of life education ).Hal ini sebagaimana disebutkan dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang berbunyi :

Reformasi pendidikan meliputi hal-hal berikut : Pertama ; penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan perberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat , dimana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreatifitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreatifitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berahlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Meskipun demikian, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah banyak berusaha mengatasi permasalahan pendidikan yang dihadapinya terutama masalah relevansi dan kualitas pendidikan pada berbagai tingkat dan jenis pendidikan. Upaya tersebut antara lain berupa pembaharuan kurikulum dan metodologi pengajaran, pengadaan buku pelajaran dan buku bacaan berkualitas, peyelenggaraan berbagai penataran / pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, pengadaan alat peraga, peningkatan manajemen sekolah, pemberian block-grant kepada sebagian sekolah, dan berbagai macam bantuan lainnya. Cukup banyak usaha yang telah dilakukan pemerintah, akan tetapi dampaknya terhadap kualitas proses dan hasil belajar siswa belum optimal. Hal inilah yang membuat pemerintah terus berusaha mencari solusi yang terbaik untuk memecahkan masalah pendidikan tersebut. Salah satu wujud upaya tersebut yaitu berupa pengembangan kurikulum, model-model pembelajaran dan pendekatan atau strategi pembelajaran.

Persoalan mendasar yang hingga kini masih sangat dilematis dan kerap dihadapi Guru Sekolah Dasar (SD) di dalam proses belajar mengajar, adalah membangun suasana pembelajaran yang aktif-partisipatif ,yang mampu melibatkan siswa dalam interaksi dialogis dan berkualitas dengan guru, dan atau antar siswa. Akibatnya , iklim kelas pembelajaranpun kurang menarik, menyenangkan, dan membetahkan bagi siswa. Siswa hanya menjadi penerima pasif, kurang responsif, dan ada kecenderungan untuk menolak berinteraksi dengan guru. Persoalan tersebut juga dihadapi oleh para Guru di SD Negeri segugus IV Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan.

Dari beberapa kali pengamatan ditemukan fakta bahwa pada setiap proses belajar mengajar, siswa cenderung pasif, kurang menunjukkan gairah,minat, dan antusiasme untuk belajar. Ada indikasi munculnya kejenuhan dan kebosanan pada diri siswa untuk belajar . Interaksi memang kadang terjadi, sejauh karena diminta atau ditunjuk oleh Guru. Dalam suatu kesempatan proses belajar mengajar penulis mencoba berinteraksi dengan para siswa di dalam suatu dialog kelas, dengan mengajukan pertanyaan kepada kelas secara keseluruhan, dengan harapan sedikitnya ada satu dua orang siswa untuk menjawab. Akan tetapi, ternyata tak seorang siswapun yang tampak berupaya untuk merespon pertanyaan kami.

Fenomena ini, telah dirasakan berlangsung lama. Untuk mengubah siswa agar mau berpartisipasi-aktif dalam pembelajaran dirasakan sangat sulit. Untuk itu harus ada usaha berkonsultasi dengan orang-orang yang dianggap memiliki kompetensi dalam berbagai pendekatan dan atau strategi pembelajaran atau membaca berbagai buku atau VCD yang berisi penemuan baru tentang pendekatan dan atau strategi pembelajaran.

Akhirnya penulis temukan sebuah buku dan CD tentang pendekatan dan atau srategi tentang pembelajaran kontekstual. Setelah membaca penjelasan yang terdapat dalam buku tersebut, penulis berharap inilah pendekatan yang akan mampu membangun kreatifitas murid agar dapat menjadi pembelajar yang aktif-partisipatif. Bertitik tolak dari harapan tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah karya tulis dengan mengambil judul “Peningkatan Proses belajar mengajar Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual “

Dari judul di atas nantinya akan muncul sebuah permasalahan. Sebelum penulis merumuskan apa permasalahan yang mungkin muncul pada karya tulis ini, terlebih dahulu akan dikemukakan apa yang dimaksud dengan masalah.

“Masalah” adalah sesuatu yang dipertanyakan dan sangat penting untuk dipecahkan (Khairul Iksan, 1991), atau dengan kata lain masalah adalah suatu keadaan yang menimbulkan pertanyaan dalam diri kita tentang bagaimana keadaan suatu kejadian itu timbul yang manakala dibiarkan akan menimbulkan kesulitan bagi manusia, sehingga masalah itu harus diatasi atau dipecahkan oleh manusia, karena masalah itu merupakan tantangan dan rintangan bagi manusia.

Adapun rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah :

“ Mungkinkah Proses belajar mengajar bisa ditingkatkan Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual ?


A. KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

1. MAKNA BELAJAR DAN MENGAJAR

Belajar dan mengajar adalah dua aktivitas yang hampir tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya, terutama dalam prakteknya di sekolah-sekolah. Bahkan apabila keduanya telah digerakkan secara sadar dan bertujuan, maka rangkaian interaksi belajar-mengajar akan segera terjadi. Sehubungan dengan hal ini ada baiknya kedua istilah tersebut untuk dibahas.

A. Belajar

Kita masih ingat bahwa “belajar” pernah dipandang sebagai proses penambahan pengetahuan. Bahkan pandangan ini mungkin hingga sekarang masih berlaku bagi sebagian orang di negeri ini. Akibatnya, “mengajar” pun dipandang sebagai proses penyampaian pengetahuan atau keterampilan dari seorang guru kepada siswanya.

Pandangan semacam itu tidak terlalu salah, akan tetapi masih sangat parsial, terlalu sempit, dan menjadikan siswa sebagai individu-individu yang pasif. Oleh sebab itu, pandangan tersebut perlu diletakkan pada perspektif yang lebih wajar sehingga ruang lingkup substansi belajar tidak hanya mencakup pengetahuan, tetapi juga keterampilan, nilai dan sikap.

Sebagai landasan pembahasan mengenai apa yang dimaksud dengan belajar, berikut ini kami kemukakan beberapa definisi belajar yang dikemukakan oleh Drs.M.Ngalim Purwanto.MP (1990).

a) Hilgard dan Bower, dalam buku Theories of Learning (1975). “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang ( misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya ).”

b) Gagne, dalam buku The conditions of Learning (1977). “ Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya ( performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.”

c) Morgan, dalam buku Introduction to Psychology (1978). “ Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.”

d) Witherington,dalam buku Educational Psychology. “ Belajar adalah suatu perubahan didalam kepribadian yan menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.”

Dari definsi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikemukakan adanya beberapa elemen yang penting yang merincikan pengertian tentang belajar, yaitu bahwa :

a)Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.

b)Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman : dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar; seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.

c)Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap; harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang. Berapa lam periode waktu itu berlangsung sulit dtentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun. Ini berarti kita harus mengenyampingkan perubahan-perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh motivasi, kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau kepekaan seseorang, yang biasanya hanya berlangsung sementara.

d)Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: Perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah / berfikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.

B.Mengajar

Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa istilah belajar pernah dipandang sebagai proses penambahan pengetahuan. Senada dengan nuansa penafsiran terhadap belajar seperti itu, maka “mengajar “ pun pernah dianggap sebagai proses pemberian atau penyampaian pengetahuan. Pandangan demikian membawa konsekuensi logis terhadap situasi belajar –mengajar yang diwujudkan oleh guru, yakni proses belajar-mengajar (PBM) yang terjadi di dalamnya bersifat teacher-centered. Pengajaran menjadi berpusat pada guru mengajar lebih dominan daripada belajar. Guru berperan sebagai pemberi informasi sebanyak-banyaknya kepada para siswa (information givers) atau dengan nama lain sebagai instructor. Oleh sebab itu, sumber belajar yang digunakan, maksimal hanya sebatas apa yang ada diantara dua kulit buku dan empat dinding kelas. Bahkan, banyak diantara mereka yang menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar. Akibatnya, siswa-siswa menjadi individu-individu yang pasif, kedaulatan merekapun pada akhirnya harus tunduk pada kekuasaan guru. Mereka tidak dididik untuk berfikir kritis, berlatih menemukan konsep atau prinsip, ataupun untuk mengembangkan kreatifitasnya. Mereka tidak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan yang perubahan-perubahannya sangat cepat, bahkan dapat terjadi dalam hitungan detik seperti sekarang ini. Hal ini bisa terjadi pada masa mendatang, karena dengan penerapan konsep mengajar semacam itu, siswa-siswa tidak dididik untuk belajar sebagai manusia seutuhnya, sementara kita berharap agar kelak siswa-siswa menjadi orang-orang yang terdidik, tidak sekedar tersekolah atau belajar.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka mengajar sepantasnya dipandang sebagai upaya atau proses yang dilakukan oleh seorang guru untuk membuat siswa-siswanya belajar. Dalam hal ini guru berupaya untuk membelajarkan siswa-siswanya, dan sebaliknya para siswa menjadi pembelajar-pembelajar yang aktif, kritis dan kreatif. Dengan cara ini interaksi belajar mengajar dapat terjadi, dan pengajaran tidak lagi bersifat teacher-centered, karena telah bergeser pada kontinum pengajaran yang lebih bersifat student-centered. Pertanyaan selanjutnya, yang menggelitik kita selaku guru yang bertugas pada era informasi ini yaitu : Apakah diantara kita yang terlanjur telah menerapkan pengajaran bersifat teacher-centered akan segera berubah kearah student-centered ?

2. MAKNA PEMBELAJARAN

Istilah pembelajaran mengundang berbagai kontroversi diberbagai kalangan pakar pendidikan, terutama di antara guru-guru di sekolah. Hal ini disebabkan oleh demikian luasnya ruang lingkup pembelajaran, sehingga yang menjadi subyek belajar atau pembelajarpun bukan hanya siswa dan mahasiswa, tetapi juga peserta penataran/pelatihan atau pendidikan dan pelatihan (diklat), kursus, seminar, diskusi panel, symposium, dan bahkan siapa saja yang berupaya membelajarkan diri sendiri.

Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatau system atau proses membelajarkan subyek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subyek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien (Depdiknas,Model pembelajaran IPA SD,2003). Dengan demikian, jika pembelajaran dianggap sebagai suatu system, maka berarti pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisir antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran. Sebaliknya bila pembelajaran dianggap sebagai suatu proses, maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar. Proses tersebut dimulai dari merencanakan program pengajaran tahunan, semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) berikut penyiapan perangkat kelengkapannya antara lain alat peraga, dan alat-alat evaluasi. Persiapan pembelajaran ini juga mencakup kegiatan guru untuk membaca buku-buku atau media cetak lainnya yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan disajikan kepada para siswa dan mengecek jumlah dan keberfungsian alat peraga yang akan digunakan.

Setelah persiapan tersebut, guru melaksanakan kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan mengacu pada persiapan pembelajaran yang telah dibuatnya. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, struktur dan dan situasi pembelajaran yang diwujudkan guru akan banyak dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan meode-metode pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang penerapannya, serta filosofi kerja dan komitmen guru yang bersangkutan, persepsi, dan sikapnya terhadap siswa. Jadi semuanya itu akan menentukan terhadap struktur pembelajaran.

B. TINJAUAN TENTANG PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

1. LATAR BELAKANG

Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu strategi dalam proses pembelajaran bermula dari pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham progresivisme John Dewey. Intinya, siswa akan belajar dengan baik bilamana apa yang dipelajari oleh mereka berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Diantara pokok-pokok pandangan progresivisme antara lain :

1. Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.

2. Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar.

3. Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar

4. Guru sebagai pembimbing dan peneliti

5. Harus ada kerjasama antara sekolah dan masyarakat

6. Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen.

Selain teori progresivisme John Dewey, teori kognitif juga melatarbelakangi filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.

Sejauh ini pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, perlu sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.

Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi pembelajaran konstrukivisme berkembang. Dasarnya, pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.

Melalui landasan filosofi konstrukivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui mengalami, bukan menghafal. Pembelajaran konstektual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antarapengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkannya dalam tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Contructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).

Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan bersifat non-objektif,temporer, berubah, dan tidak menentu. Kitalah yang memberi makna terhadap realitas yang ada. Pengetahuan tidak pasti dan tidak tetap. Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan mengajar diartikan sebagai kegiatan atau proses menggali makna, bukan memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar. Otak atau akal manusia berfungsi sebagai alat untuk melakukan interpretasi sehingga muncul makna yang unik.

Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan kepada siswa tangga yang dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.

Dengan paham konsrukivisme, siswa diharapkan dapat membangun pemahamannya sendiri dari pengalaman atau pengetahuan terdahulu. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna ( akomodasi ). Siswa diharapkan mampu mempraktekkan pengetahuan / pengalaman yang telah diperoleh dalam konteks kehidupan. Siswa diharapkan juga melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari .Pemahaman ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas yang merupakan unsur yang sangat esensial.

Hakekat teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. Teori konsruktivis memandang siswa secara terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori konstruktivis menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa yang aktif, maka strategi konstruktivis sering disebut sebagai pengajaran yang berpusat pada siswa ( Student centered instruction ). Di dalam kelas yang pengajarannya terpusat pada siswa, peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan di kelas.

Beberapa proposisi yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari teori konstruktivistik dalam praktek pembelajaran di sekolah-sekolah kita sekarang ini adalah sebagai berikut :

a. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru.

b. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar.

c. Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajar.

d. Belajar pada hakekatnya memiliki aspek sosial dan budaya.

e. Kerja kelompok dianggap sangat berharga.

Dalam pandangan konstrukivistik, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan karena kontrol belajar dipegang oleh siswa itu sendiri. Tujuan pembelajaran konstruktivistik menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas yang kreatif dan produktif dalam konteks nyata. Dengan demikian, paham konstruktivistik menolak pandangan behavioristik.





2. PENGERTIAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL



Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual tidak ada sebuah definisi atau pengertian tunggal. Setiap pakar dan komunitas pakar memberikan definisi beragam. Namun mereka bersepakat bahwa hakekat pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang mendorong pembelajar untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh makna antara apa yang dipelajari dengan realitas, lingkungan personal, sosial dan kultural yang terjadi sekarang ini (Moh.Imam Farisi,2005).

Beberapa definisi pembelajaran kontekstual yang pernah ditulis dalam beberapa sumber, yang dikemukakan oleh Nurhadi,dkk dalam bukunya “ Kontekstual dan penerapannya dalam KBK “.

1. Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu, dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, system CTL akan menuntun siswa melalui kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/ merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan assessment autentik.

2. Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan diluar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riel yang berasosiasi dengan peranan dan tanggung jawab mereka sebagai angota keluarga, anggota masyarakat, siswa, dan selaku pekerja. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang.

3. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pula kelompok belajar yang bebas.



3. DELAPAN KOMPONEN UTAMA DALAM SISTEM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat ( learning by doing ).
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan ( doing significant work ). Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
Belajar yang diatur sendiri ( self-regulated learning ). Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan : ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya / hasilnya yang sifatnya nyata.
Bekerjasama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif : dapat menganalsis, membuat sintetis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan buki-bukti.
Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara pribadinya : mengetahui, memberi perhatian, memilki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Siswa mengenal dan mencapai standard yang tinggi : mengidentifikasi tujuan dan memoivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut ” excellence “.
Menggunakan penilaian autentik ( using authentic assessment ). Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah atau membuat penyajian perihal emosi manusia.

4. MAKSUD KONTEKS

Kontekstual adalah salah satu prinsip pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dengan penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip kontekstual, proses pembelajaran diharapkan mendorong siswa untuk menyadari dan menggunakan pemahamannya untuk mengembangkan diri dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip kontekstual sangat penting untuk segala situasi belajar. Pertanyaannya, apakah yang dimaksud konteks itu ?

Ada sembilan konteks belajar yang melingkupi siswa, yaitu :
Konteks tujuan ( tujuan apa yang akan dicapai ? ).
Konteks isi ( Materi apa yang akan diajarkan ? )
Konteks sumber ( Sumber belajar bagaimana yang bisa dimanfaatkan ? )
Konteks target siswa ( Siapa yang akan belajar ? )
Konteks guru ( Siapa yang akan mengajar ? )
Konteks metode ( Strategi belajar apa yang cocok diterapkan ? )
Konteks hasil ( Bagaimana hasil pembelajaran yang akan diukur?)
Konteks kematangan ( Apakah siswa telah siap dengan hadirnya sebuah konsep atau pengetahuan baru ? )
Konteks lingkungan ( Dalam lingkungan yang bagaimanakah siswa belajar ? )

5. MENGAPA PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahui-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan, itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita!

Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerjasama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain. Kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Berikutnya akan dibahas persoalan yang berkenaan dengan pendekatan kontekstual dan implikasi penerapannya.

6. KECENDERUNGAN PEMIKIRAN TENTANG BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.


a. Proses Belajar

· Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.

· Anak belajar dari mengalami. Anak mencatatr sendiri pola-pola bermakna dasri pengetahuan baru, dan bukan di beri begitu saja dari guru.

· Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki ole seseorang yang terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).

· Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi menceerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.

· Manusia mempunya tingkatan yang berbeda dalam menyilapi situasi baru.

· Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan seiring perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara orang berprilaku.

· Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dcengan ide-ide.


Transfer Belajar



· Sisiwa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari "pemberian orang lain".

· Keterampilan dan penetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit.

· Yang penting bagi siswa tahu 'untuk apa' ia belajar, dan 'bagaimana' ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.

Siswa sebagai pembelajar

· Manusia mempunya kecendrungan untuk belajar dalam bidang tertentu , dan seorang anak mempunyai kecendrungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.

· Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.

· Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara 'yang baru' dan yang sudah diketahui.

· Tugas guru memfasilitasi : agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.

Pentingnya lingkungan belajar

Belajar efektif itu di mulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari "guru akting didepan kelas, siswa menonton: ke "siswa akting bekerja dan berkarya , guru mengarahkan".

Pengajaran harus berpusat pada "bagaimana cara" siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.

Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar.

Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.

7. MOTTO

STUDENTS LEARN BEST BY ACTIVELY CONSTRUCTING THEIR OWN UNDERSTANDING (CTL Academy Fellow, 1999) (Cara belajar terbaik adalah siswa mengkonstruksikan sendiri secara aktif pemahamannya).



8. KATA-KATA KUNCI PEMBELAJARAN CTL
REAL WORLD LEARNING
MENGUTAMAKAN PENGALAMAN NYATA
BERPIKIR TINGKAT TINGGI
BERPUSAT PADA SISWA
SISWA AKTIF, KRITIS, DAN KREATIF
PENGETAHUAN BERMAKNA DALAM KEHIDUPAN
DEKAT DENGAN KEHIDUPAN NYATA
PERUBAHAN PRILAKU
SISWA PRAKTEK BUKAN MENGHAFAL
LEARNING BUKAN TEACHING
PENDIDIKAN (EDUCATION) BUKAN PENGAJARAN(INSTRUCTION)
PEMBENTUKAN 'MANUSIA'
MEMECAHKAN MASALAH
SISWA 'AKTING' GURU MENGARAHKAN
HASIL BELAJAR DIUKUR DENGAN BERBAGAI CARA BUKAN HANYA DENGAN TEST


9.STRATEGI PENGAJARAN YANG BERASOSIASI DENGAN CTL

CBSA
PENDEKATAN PROSES
LIFDE SKILLS EDUCATION
AUTHENTIC INSTRUCTION
INQUIRY-BASED LEARNING
PROBLEM-BASED LEARNING
COOPERATIVE-LEARNING
SERVICE LEARNING

10.LIMA ELEMEN BELAJAR YANG KONSTRUKTIVISTIK

Menurut Zahorik (1995:14-22) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran konstektual.
Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun (1) konsep sementara (hipotesis), (2) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu (3) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.


11.Beberapa strategi pengajaran yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran kontekstual

1. Pembelajaran berbasis masalah

Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.

2. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar

`Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.

3. Memberikan aktivitas kelompok

Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.

4. Membuat aktivitas belajar mandiri

Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

5. Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat

Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.

6. Menerapkan penilaian autentik

Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.

Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.

Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok proyek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan siswa.

Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan drama.

Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis. Bentuk laporan tertulis dapat berupa surat, petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat.

Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan ketrampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas, kurikulum berbasis kompetensi perlu dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran kontekstual supaya dapat memberikan bentuk pengalaman belajar. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki kecakapan untuk memecahkan permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang mengarahkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam konteks rumah, masyarakat maupun tempat kerja.

Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan proses belajar siswa.


PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran terbukti sangat efektif dan efisien dalam menumbuh kembangkan atau meningkatkan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini ditemukan pada beberapa indikator kegiatan belajar siswa diantaranya :
Melakukan hubungan yang bermakna
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan
Belajar yang diatur sendiri
Bekerjasama
Berfikir kritis dan kreatif
Memelihara atau mengasuh pribadi siswa
Mencapai standar yang tinggi
Terdeteksi oleh penilaian autentik


B. Saran-saran

Sebagai tindak lanjut dari penulisan karya tulis ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut :
Hendaknya setiap pegelola pendidikan khususnya para guru selalu berusaha untuk mengembangkan lagi berbagai strategi atau pendekatan pembelajaran yang ada.
Sebaiknya para guru dalam melaksanakan tugasnya berpegang teguh pada prinsip daya guna ( efisiensi ) dan hasil guna ( efekifitas ) dalam mewujudkan tugas-tugas yang telah direncanakan dalam persiapan pembelajaran dan atau rencana pembelajaran.
Hendaknya para guru selalu berusaha untuk lebih memahami faktor-faktor yang dapat mendorong ataupun menghambat terjadinya proses belajar mengajar.


10. DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. PT.Rineke Cipta. Jakarta.

Depdiknas.2003. Model Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah dasar. Jakarta.

Farisi,M.I. 2005. Belajar dan pembelajaran. Paket untuk Mahasiswa program S1 FKIP UIM Pamekasan. Pamekasan : Tidak ditebitkan.

Hadi,S.1980. Metodologi Research. Jilid I, Cetakan ke IX. Yogyakarta. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.

Iksan,K. 1991. Pengaruh Tahapan Administrasi Program Pengajaran Terhadap Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar Di SDN.Lawangan Daya III Kecamatan Pademawu. Skripsi S1 jur.PAI.IAIN Pamekasan. Tidak diterbitkan.

Johnson,E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California : Corwin Press, Inc. A sage Publications Company.

Ngalim Purwanto.M. 1990. Psikologi Pendidikan. PT.Remaja Rosdakarya.Bandung.

Ngalim Purwanto.M. 1995. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis.. PT.Remaja Rosdakarya. Bandung.

Nurhadi,Dkk. 2004. Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Universitas Negeri Malang (UMPRESS). Malang.

Pusat Data dan Informasi Pendidikan,Balitbang Depdiknas. Peraturan Pemerintah RI Nomer 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. http:// WWW.Depdiknas.or.id. (7 Agustus 2005 ).

Pusat Data dan Informasi Pendidikan,Balitbang Depdiknas. Rancangan Undang-undang tentang Guru . http:// WWW.Depdiknas.or.id. (Revisi 06 April 2005 ).

Link Materi Pendidikan
Bookmark and Share


Gosip Artis

Portofolio Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Di Kelas

Jul 31, 2009

RPP KLS 7
Guru meminta siswa untuk menuliskan contoh etika ekonomi dalam kegiatan distribusi. 3. Kegiatan Akhir a. Guru mengadakan tes tertulis (sebagai penilaian hasil belajar). b. Siswa diminta untuk mengerjakan tugas dan lembar portofolio yang ...
Sumber: http://yudi-erwanto.blogspot.com/2009/02/rpp-kls-7.html

Majalah Digital FPKM Edisi Maret 2009
Bahkan bagi guru-guru yang telah menempuh program penyetaraan dan memperoleh gelas D2 sekalipun, hal itu tidak serta merta menunjukkan peningkatan kemampuan yang signifikan dalam mengajar di kelas. Permasalahan yang timbul kemudian ...
Sumber: http://e-zine-fpkm.blogspot.com/2009/03/majalah-digital-fpkm-edisi-maret-2009.html

Idham: UNAS Kali Ini Berat
Sedangkan di tingkat provinsi Pekan Olah Raga Pelajar akan diselenggarakan tanggal 23 hingga 28 Maret 2009. Peserta yang mewakili Bantul dibatasi berusia maksimal 18 tahun dan maksimal masih duduk di Kelas 2 SMA.
Sumber: http://infobantul.wordpress.com/2009/03/10/idham-unas-kali-ini-berat/

Portofolio Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Di Kelas
Portofolio dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas Muhammad Faiq Dzaki Asesmen portofolio adalah mengukur sejauh mana kemampuan siswa dalam mengkonstruksi dan merefleksikan suatu pekerjaan/tugas/karya dengan mengoleksi atau ...
Sumber: http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2009/03/portofolio-dalam-kegiatan-belajar.html

Meningkatkan Profesionalitas Guru Dengan PTK (classroom Action ...
2. PTK dilaksanakan atas dasar masalah yang benar-benar dihadapi oleh guru dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di kelas. Sesungguhnya selalau ada masalah dalam kegiatan pembelajaran apabila guru peka dan berkeinginan untuk
Sumber: http://ridwanjoharmawan.wordpress.com/2009/03/07/meningkatkan-profesionalitas-guru-dengan-ptk-classroom-action-research/

INOVASI PEMBELAJARAN: METODE BERPUSAT PADA SISWA

Dalam proses pembelajaran, pembelajar membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan secara aktif dalam proses belajar-mengajar. Dalam proses pembelajaran pembelajarlah yang menjadi pusat kegiatan, bukan guru. ...

Sumber: http://mohthamrin.blogspot.com/2009/03/inovasi-pembelajaran-metode-berpusat.html

PEMBELAJARAN DALAM PANDANGAN KONSTRUKTIVISTIK DAN BEHAVIORISTIK
Penilaian portofolio adalah penilaian berupa kumpulan pekerjaan siswa yang di dalamnya memperlihatkan area perkembangan belajar, refleksi diri, dan kemampuan siswa selama proses belajarnya. Guru mengumpulkan karangan siswa, ...
Sumber: http://luthfiyahnurlaela.wordpress.com/2009/03/12/pembelajaran-dalam-pandangan-konstruktivistik-dan-behavioristik/

Tujuh Ayat Sekolah Unggul
Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama ...
Sumber: http://wangsajaya.wordpress.com/2009/03/17/tujuh-ayat-sekolah-unggul/

Pembelajaran Bermakna Tipe STAD
Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Inti dari teori belajar ...
Sumber: http://sulantara.blogspot.com/2009/02/pembelajaran-bermakna-tipe-stad.html

MENGEMBANGKAN EVALUASI ALTERNATIF
Kelebihan lain yang diperoleh melalui portofolio adalah siswa belajar mengevaluasi diri sendiri (self assesment). Hal ini sangat membantu dalam membangun rasa tanggungjawab dalam belajar, memonitor diri sendiri dalam kegiatan belajar,
Sumber: http://sriwindarti.wordpress.com/2009/03/17/mengembangkan-evaluasi-alternatif/

Disclaimer: Hasil pencarian yang ada di atas murni berasal dari mesin pencari tanpa adanya perubahan sedikit pun. Kami tidak bertanggungjawab atas daftar URL diatas.

INOVASI PEMBELAJARAN: METODE BERPUSAT PADA SISWA
Bookmark and Share

A. Pendahuluan
Era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam berbagai bidang, seperti bidang teknologi, manajemen dan sumberdaya manusia. Untuk mempersiapkan hal tersebut, bidang pendidikan merupakan ujung tombak yang sangat penting. Berbagai program peningakatan kualitas pendidikan telah dirancang, termasuk payung yuridis formal, dan dilaksanakan. Di antara program itu membentuk Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Dalam pendekatan IPO ( input-proses-output) kualitas pendidikan akan bisa dicapai jika proses berjalan dengan baik. Mengingat pentingnya hal tersebut, pemerintah mengatur hal tersebut melalui Permendiknas RI Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Permendiknas tersebut mengemukakan bahwa dalam penyusunan perencanaan proses pembelajaran setiap guru pada satuan pendidikan selain dituntut menyusun silabus juga berkewajiban menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Sementara itu dalam pelaksanaan pembelajaran yang meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup, guru dituntut melakukan berbagai kegiatan.
Dalam kegiatan pendahuluan, guru (1) menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran, (2) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengait¬kan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari, (3) menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai, dan (4) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.
Dalam kegiatan inti yang merupakan proses pem¬belajaran untuk mencapai KD, guru perlu (1) melakukan kegiatan yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativi¬tas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik; (2) menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan mata pela¬jaran serta meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi; dan (3) berperan sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar, membantu menyelesaikan masalah, memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi, memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh, serta memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
Dalam kegiatan penutup, guru (1) sendiri dan atau bersama-sama dengan peserta didik membuat rangkuman/simpulan pelajaran, (2) melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsis¬ten dan terprogram, (3) memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran, dan (4) merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik.

B. Pendekatan Pembelajaran
Untuk mewujudkan proses pembelajaran sesuai dengan ketentutan-ketentuan di atas, pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan sebagai dasar pijakan di antaranya sebagai berikut.

1. Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif Menyenangkan (PAKEM)
Sekolah dapat diibaratkan sebagai sebuah ”pabrik” yang mempoduksi sesuatu. Sebagai sebuah pabrik, sekolah menerima masukan/bahan mentah yang dalam hal ini calon siswa dengan berbagai kualitas. Calon siswa inilah yang ”diolah” melalui proses pembelajaran agar menjadi hasil/lulusan yang baik. Dengan demikian bagian proses merupakan unsur yang sangat penting dalam menentukan hasil yang baik. Bagian proses ini pula dari waktu ke waktu perlu dicermati untuk terus diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya. Salah satu cara untuk memperbaiki proses tersebut dengan mengembangkan dan menerapkan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM).
Berbeda dengan pabrik yang inputnya/bahan mentah adalah benda mati, sekolah memiliki input dalam hal ini siswa dengan berbagai karakteristik. Ia memiliki beberapa potensi, yakni intelegensi, daya kreativitas/imajinasi, kemampuan berbahasa, kecepatan belajar, motivasi, sikap, minat, emosi/perasan, mental, dan fisik. Untuk itu, proses pembelajaran dipandang lebih rumit dibandingkan dengan pembuatan suatu barang (dalam hal ini benda mati). Proses pembelajaran diharapkan bisa mengembangkan potensi yang dimiliki siswa.Untuk bisa mencapai keberhasilan atau output yang baik, proses pembelajaran perlu dirancang sedemikian rupa yang bisa mengaktifkan siswa, mengembangkan kreativitas mereka sehingga pembelajaran berlangsung efektif, namun tetap menyenangkan (Learning should be fun).
Proses pembelajaran merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman. Sehubungan dengan itu, pembelajaran perlu dikemas dengan anak mengalami langsung apa yang sedang dipelajari. Dengan cara demikian siswa akan lebih aktif melibatkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkan orang lain/guru menjelaskan. Siswa belajar hanya 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa jika guru dalam proses pembelajaran banyak melakukan ceramah, maka tingkat pemahaman siswa hanya 20%. Tetapi sebaliknya, jika siswa diminta untuk melakukan sesuatu sambil melaporkannya, tingkat pemahaman siswa dapat mencapai sekitar 90%. Pembelajaran yang dikemas dengan anak mengalami langsung apa yang sedang dipelajari akan menjadikan siswa aktif bertanya, bekerja, terlibat dan berpartisipasi, menemukan dan memecahkan masalah, mengemukakan gagasan, dan mempertanyakan gagasan.
Kreatif merujuk pada kemampuan untuk berpikir lebih orisinal dibandingkan kebanyakan orang lain. Siswa kreatif adalah siswa yang ”berpikir divergen”, yaitu corak berpikir yang mencari jalan-jalan baru, lebih-lebih dalam memecahkan masalah. Dalam proses pembelajaran apabila guru kreatif dalam mengembangkan kegiatan yang menarik dan beragam, membuat alat bantu belajar, memanfaatkan lingkungan belajar, mengelola kelas dan sumber belajar, merencanakan proses dan hasil belajar akan dapat membentuk siswa keatif baik dalam memecahkan masalah maupun menghasilkan karya.
Pembelajaran merupakan upaya memberikan pengalaman kepada siswa agar mereka mampu mengembangkan potensi diri. Dengan kata lain, pengalaman belajar diberikan agar siswa dapat meraih kompetensi yang telah ditentukan. Untuk itu, pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan pengetahuan dan memerapkan hal-hal yang dipelajarinya. Siswa harus mampu menggunakan fakta-fakta yang sudah dipelajari untuk menjelaskan situasi atau menerapkan informasi pada situasi baru. Mereka harus mengembangkan pemikiran atau keterampilan dalam situasi baru. Selain itu, mereka juga harus dapat mengembangkan dan menerapkan sikap/nilai yang mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran yang menyenangkan dapat menjadi penentu utama apakah kuantitas dan kualitas belajar yang terus berlangsung atau tidak bagi siswa. Pembelajaran yang menyenagkan bukan berarti menciptakan suasana ribut, hura-hura, nyanyi-nyanyi yang tidak berdasar, atau kemeriahan yang dangkal. Pembelajaran yang menyenangkan tercipta karena siswa merasa terlibat secara intelektual maupun emosional. Mereka menghadapi suasana membuat mereka tidak merasa terancam. Mereka tahu betapa penting dan menantangnya apa yang dipelajari, mereka memperoleh suasana yang ramah, dan mempunyai suara atau kesempatan dalam membuat keputusan. Mereka berada dalam situasi berani mencoba/berbuat, berani bertanya, berani mengemukakan pendapat/ gagasan, dan berani mempertanyakan gagasan orang lain.

2. Contextual Teachinbg and Learning (CTL)
Contextual Teachinbg and Learning (CTL) merupakan konsep pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata. Pembelajaran yang demikian dapat memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan sebagai tenaga kerja. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa (pembelajar) (US Departemen of Education and the National School-to Work Office, 2001).
Konsep CTL sebenarnya bukan merupakan hal baru. Konsep dasar pendekatan ini sudah diperkenalkan John Dewey sejak tahun 1916. Dia mengungkapkan bahwa kurikulum dan metodologi guruan seharusnya memiliki hubungan yang erat dengan minat dan pengalaman siswa. Proses belajar akan sangat efektif apabila pengetahuan baru itu diberikan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Dengan kata lain, pengetahuan yang diberikan hendaknya berhubungan erat dengan pengalaman siswa sesungguhnya atau merupakan pengalaman nyata.
Pemikiran Dewey tersebut didukung Katz (1981) dan Howey & Zipher (1989). Mereka menyatakan bahwa suatu program pembelajaran bukanlah sekedar suatu kumpulan mata pelajaran, namun lebih dari itu. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun suatu program pembelajaran. Hal yang dimaksud antara lain guru harus dapat menjelaskan dan mempunyai pandangan yang sama tentang beberapa konsep dasar seperti (1) peran guru, (2) hakikat pengajaran dan pembelajaran, dan (3) misi sekolah dan masyarakat. Guru perlu menyepakati bahwa bila ketiga hal tersebut bermuara pada CTL, pembelajaran akan berhasil dengan baik. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk siswa bekerja dan mengalami bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, bagaimana status mereka, dan bagaimana mencapai hasil belajar. Siswa perlu menyadari bahwa yang mereka pelajari akan berguna bagi kehidupannya nati. Dengan begitu mereka akan memosisikan sebagai orang yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti.
Pembelajaran kontekstual pada dasarnya merupakan perpaduan antara beberapa pendekatan dan praktik keguruan yang baik yang ada sebelumnya, yakni konsep Dewey, pragmatik, komunikatif, dan konstruktivis. Penekanan CTL terletak pada cara berpikir, transfer pengetahuan lintas disiplin, pengumpulan, penganalisisan dan penyintesisan informasi dan data dari berbagai sumber dan pandangan (Kasihani, 2002).
Ciri-ciri pendekatan CTL menurut Blancard (2001) sebagai berikut.
(1) Pembelajaran menekankan pada pentingnya pemecahan masalah.
(2) Pembelajaran dilakukan dalam berbagai konteks seperti rumah, masyarakat, dan tempat kerja.
(3) Pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk belajar mandiri.
(4) Pembelajaran yang menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda.
(5) Pembelajaran yang mendorong siswa untuk dapat belajar dari sesama teman dan belajar bersama dalam kelompok.
(6) Pembelajaran yang menggunakan penilaian autentik.

Sedangkan Center for Occupapational Research (COR) di Amerika Serikat memberikan ciri CTL dengan akronim REACT atau releting, experiencing, apllying, cooperating, and transfering yang jabarannya sebagai berikut.
(1) Relatin yaitu pembelajaran yang dihubungkan dengan konteks kehidupan nyata.
(2) Experiencing yaitu pembelajaran dilakukan dalam konteks eksplorasi, penemuan, dan penciptaan.
(3) Apllying yaitu pembelajaran dilakukan dengan memadankan pengetahuan dan kegunaannya.
(4) Cooperating yaitu pembelajaran dilakukan dalam konteks interaksi kelompok.
(5) Transfering yaitu pembelajaran dengan menggunakan pengetahuan dalam konteks baru/konteks lain.
(6) Adapun University of Washington mengidentifikasi ciri-ciri CTL sebagai berikut.
(7) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa.
(8) Pembelajaran yang menekankan pada kemampuan pembelajar untuk menerapkan pengetahuan dalam tatanan-tatanan lain.
(9) Pembelajaran yang menekankan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi atau berpikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu issu serta memecahkan suatu masalah.
(10) Pembelajaran menggunakan kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar (lokal, regional, nasional, asosiasi, dan industri)
(11) Pembelajaran yang tanggap terhadap budaya.
(12) Pembelajaran yang menggunakan penilaian otentik dengan menggunakan berbagai macam alat dan stratergi penilaian secara benar yang mencerminkan hasil belajar pembelajar sesungguhnya, misalnya tes, proyek atau tugas, portofolio, rubrik, ceklis, panduan pengamatan. Siswa diberi kesempatan untuk ikut aktif berperan serta dalam menilai pembelajaran mereka sendiri.

Menurut C-Star (University of Wshington), ada tujuh elemen pokok yang merupakan ciri utama CTL, yaitu konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), penilaian otentik (authentic assesment). Ketujuh unsur tersebut saling terkait dan unsur kontruktivisme menjadi unsur yang utama yang menjiwai unsur-unsur yang lain.

a. Konstruktivisme (Constructivism)
Constructivism (konstruktivisme) merupakan landasan filosofis atau landasan berpikir CTL. Constructivism berpandangan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus menkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dalam constructivism, pembelajar perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak mampu memberikan semua pengetahuan kepada pembelajar. Pembelajarlah yang harus mengkonstruksi atau membentuk pengetahuannya sendiri. Esensi konstruktivisme adalah pembelajar harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi miliki mereka sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “merekontruksi pengetahuan” bukan “menerima pengetahuan”. Dalam proses pembelajaran, pembelajar membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan secara aktif dalam proses belajar-mengajar. Dalam proses pembelajaran pembelajarlah yang menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi. Yang dimaksud asimilasi adalah struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung/menyesuaikan hadirnya pengalaman ba/pengetahuan baru.
Menurut Zahorik (1995:14—22), ada 5 unsur yang harus diperhatikan dalam praktik pembelajaran konstruktivistik:
(1) Mengaktifkan pengetahuan yang sudah ada (prior knowledge).
(2) Memeroleh pengetahuan dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu baru memperhatikan detailnya.
(3) Memahami pengetahuan dengan cara (1) menyusun konsep sementara (hipotesis), (2) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapatkan tanggapan (validasi), dan (3) merevisi dan mengembangkan konsep. Demikian seterusnya.
(4) Mempraktikkan pengalaman yang telah diperolehnya.
(5) Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.

b. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Untuk itu, bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir pembelajar. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan kegiatan penting dalam pembelajaran berbasis inkuiri, yakni menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Kegiatan bertanya dalam pembelajaran memiliki beberapa kegunaan, antara lain
(1) untuk menggali informasi, baik informasi administrasi maupun akademis,
(2) untuk mengecek pemahaman pembelajar,
(3) untuk membangkitkan tanggapan pembelajar,
(4) untuk mengetahui sejauhmana keinginan pembelajar,
(5) untuk mengetahui hal-hal apa saja yang diketahui sisw,
(6) untuk memfokuskan perhatian sisw pada sesuatu yang dikehendaki guru,
(7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan pembelajar, dan
(8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan pembelajar.

c. Inkuiri (Inkuiri)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang dipeoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Untuk itu, guru harus selalu merancang kegiatan yang membuat pembelajar dapat menemukan. Inkuiri memiliki siklus sebagai berikut.
(1) Observasi
(2) Bertanya
(3) Mengajukan hipotesis atau dugaan
(4) Pengumpulan data
(5) Penyimpulan

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep “learning community” menyarankan agar hasil pembelajaran yang diperoleh siswa merupakan hasil dari kerjasama dengan orang/pihak lain. Hasil belajar diperoleh dari “sharing” antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Anggota masyarakat belajar tidak hanya terbatas pada orang-orang yang berada di dalam kelas saja, tetapi juga orang-orang di sekitar sekolah atau di luar sekolah. Dalam pembelajaran berbasis CTL, guru disarankan selalu menggunakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Selain itu, dalam pembelajaran, guru dapat melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang “ahli” ke kelas.

e. Pemodelan (Modelling)
Dalam pembelajaran, pengetahuan atau keterampilan tertentu membutuhkan model yang bisa ditiru. Model bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola, contoh karya tulis, cara melafalkan kata dalam bahasa, dan sebagainya.
Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan pembelajar. Seorang pembelajar bisa ditunjuk untuk memberikan contoh pada temannya tentang cara melakukan sesuatu. Model juga bisa didatangkan dari luar sekolah.

f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir tentang apa yang sudah dilakukan pada masa lalu. Refleksi juga merupakan respon terhadap kejadian , kegiatan, atau pengetahuan yang baru diterima. Refleksi ini bagi pembelajar juga dapat direalisasikan dalam berbagai bentuk, misalnya catatan atau jurnal di buku pembelajar, diskusi, atau hasil karya.

g. Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengindikasikan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam belajar, guru bisa segera mengambil tindakan yang tepat. Oleh karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, assessment tidak dilakukan di akhir periode (semester) pembelajaran (semester) seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti UAS), tetapi dilakukan bersama secara terintegrasi dalam pembelajaran.
Assessment menekankan pada proses pembelajaran. Untuk itu, data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan pembelajaran. Data yang demikian itu disebut data authentic.
.Dalam penilaian autentik, kemajuan belajar siswa tidak hanya dinilai dari hasil belajarnya saja tetapi juga dari proses. Demikian pula, pengetahuan, keterampilan (performansi), dan sikap yang diperoleh siswa tidak hanya dinilai oleh guru, tetapi juga oleh teman lain atau siswa lain, atau juga dirinya siswa sendiri.
Penilaian autentik memiliki karakteristik (1) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (2) bisa digunakan untuk penilaian formatif maupun sumatif, (3) yang diukur pengetahuan dan keterampilan (performansi), bahkan sikap, (4) berkesinam-bungan, (5) terintegrasi, dan (5) dapat digunakan sebagai feed back atau umpan balik
Hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar penilaian otentik antara lain (1) proyek/kegiatan/tugas, (2) PR pembelajar, (3) kuis, (4) karya siswa, (5) presentasi/ penampilan pembelajar/unjuk kerja, (6) demonstrasi, (7) laporan, (8) jurnal, (9) hasil tes, dan (10) karya tulis.( SBI)

sumber : mohthamrin