MENINGGALKAN POLA AJAR GURU TEMPO DULU
Bookmark and Share

Wednesday, February 18, 2009

Ramai sekali media massa menulis masalah Sumber Daya Manusia. Begitu pula para pakar telah sama setuju bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia amat diperlukan pendidikan. Dengan arti kata dunia pendidikan memegang peranan yang betul-betul penting. Martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas bangsa itu sendiri. Kualitas suatu bangsa diukur dengan sumber daya manusianya.

Kita sadari bahwa pendidikan, sungguh penting untuk kemaju¬an bangsa. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai bangsa yang berkualitas adalah dengan melaksanakan wajib belajar. Untuk mencapai hal ini Presiden Soeharto telah mencanangkan wajib belajar enam tahun tepat pada hari Hardiknas tanggal 2 Mei 1984. Kemudian untuk percepatan mencapai sumber daya manusia yang berkualitas, maka sepuluh tahun kemudian, Mei 1994. Presiden mencanangkan lagi wajib belajar sembilan tahun. Untuk mensukseskan wajib belajar sembilan tahun itu sangat dituntut tenaga pendidik yang betul-betul ahli dalam bidangnya (profesional) agar dapat mengelola pendidikan di lapangan secara baik.

Mengingat betapa pentingnya sektor pendidikan dalam pelaksanaan pembangunan nasional jangka panjang tahap dua, khusus pembangunan sumber daya manusia, kita tidak dapat menutup mata dan telinga terhadap sektor pendidikan kita yang mutunya masih tertinggal itu. Dan orang-orang arif dalam dunia pendidikan di negara ini cukup respon atas berbagai masalah pendidikan. Mereka merekayasa dan melaksanakan berbagai usaha peningkatan dan penyegaran.

Berbagai usaha untuk me¬ningkatkan kualitas pendidikan telah sama-sama kita rasakan dan kita lihat. Begitu pula banyak pembaharuan demi peningkatan mutu yang sudah dilakukan. Mengganti kurikulum yang diikuti oleh perubahan struktur buku-buku pelajaran yang membanjir di pasaran. Membentuk proyek peningkatan kwalitas guru-guru yang dilaksanakan dalam bentuk penataran, seminar-seminar dan latihan kerja. Begitu juga penyediaan sarana dan prasarana bidang pendidikan.

Betapa usaha ini diterapkan melalui pengorbanan moril dan materil. Memberikan keringanan bagi guru-guru, misalnya dengan mengurangi jumlah jam mengajar di sekolah, agar dapat mengikuti penataran apakah dalam bentuk sanggar-sanggar atau bentuk kelompok laninnya. Namun usaha-usaha ini belum lagi menampakkan harapan dan pencapaian target. Kita dapat mengetahuinya lewat hasil UASBN yang tetap rendah tiap tahun. Dan kita langsung mem¬perhatikan betapa bertambahnya jumlah murid yang mengalami malas. Dari membaca media massa atau langsung melihat fakta yang menunjukkan adanya keruwetan dalam sekolah dan meningkatnya angka kenakalan pelajar.

Barangkali apa yang menyebabkan lambatnya peningkatan kualitas pendidikan ini? Lihatlah proses belajar mengajar di sekolah-sekolah. Sistem pengajaran yang diterapkan oleh guru kepada murid baru sampai pada taraf memberi bekal pengetahuan dan keterampilan sebatas sekedar tahu saja. Belum sampai kepada meletakan nilai-nilai wawasan sosial dan kemanusiaan, serta penguasaan bekal hidup yang praktis. Dalam sistem pengajaran kita lihat hubungan guru dan murid ibarat hubungan cerek dan cangkir. Yang satu cuma sebatas mem¬beri dan yang lain sekedar menerima saja.
Atau mungkin karena sistem pendidikan yang diterapkan oleh guru kepada murid bersifat mengulang-ulang dan tidak ada, atau kurang, kreasi dalam mengembangkan pelajaran dan seni mengajarnya. Sama-sama kita perhatikan bahwa masih ada guru-guru yang mana kalau mengajar menggunakan buku dan catatan yang sama sepanjang tahun. Ada pula guru karena kurang menguasai bahan kemudian mengambil strategi mudah, yaitu meringkas isi buku untuk dicatatkan melulu. Atau menghafalkan buku catatan agar besok dapat disajikan ke ha¬dapan murid di dalam kelas. Murid sendiri dapat mengatakan bahwa guru yang demikian ilmunya cuma tua satu malam dari murid. Dan inilah kenya¬taan yang membuat integrasi guru-murid tetap berjalan macet. Guru sibuk berbicara di depan kelas sedangkan murid asyik melucu atau ngobrol di bela¬kang.

Tampak taraf pengajaran kita untuk menyerap ilmu masih sekedar menyodorkan tugas-tugas hafalan untuk diuji. Sistem komunikasi dalam kelas cenderung satu arah dan murid lebih dominan bersikap yes-man kepada guru. Mengkeritik guru atau beradu argumen seolah dipandang tabu. Mungkin selalu dibelenggu ketakutan karena berdampak pada ancam¬an pada nilai rapor. Demikianlah ungkap salah seorang murid dalam suatu dialog ringan. Belajar dengan cara menghafal sungguh mematikan kreatif berfikir dan menunjukkan bahwa guru-guru masih mene¬rapkan pengajaran sistem kuno.

Ciri-ciri sistem pengajaran kuno atau konvensional sangat terlihat jelas dalam interaksi guru-murid di sekolah. Dianta¬ranya adalah pendekatan yang masih bersifat otoriter, yaitu bersifat menguasai. Guru meng¬anggap bahwa dirinyalah paling benar. Yang mengharuskan setiap murid menerima apa yang dikatakan. Pernah kejadian pada sebuah sekolah. Seorang murid kritis tergolong pintar mencoba memberi usul atau kritik konstruktif kepada seorang guru bidang studi. Membuat, guru menjadi merah muka dan bukti merasa gembira. Guru itu tampak kesal dan pada akhir semester dia telah menodai rapor murid dengan angka mati. Dia melakukan ini entah karena rasa dendam karena merasa kelin¬tasan akibat ilmunya minus atau semata-mata memperturutkan egois.

Berbicara mengenai metoda pendekatan dalam pendidikan, ada tiga bentuk metode pendekatan yaitu konvensional, progresif dan metode liberal. Sekolah-sekolah kita amat mengenal metode konvensional karena metode itu melekat terus. Sikap otoriter terlihat jelas dalam metode ini.
Beginilah suasana kelas atau sekolah dengan metode konvensional. Kelas dengan jumlah murid yang masih ramai, dan tampak lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Seolah-olah ruang kelaslah yang menjadi wilayah belajar murid, meskipun teori diatas kertas sungguh bagus. Dalam proses belajar mengajar siswa tampak bersikap pasif. Mereka hanya menerima ilmu saja dan dalam memahami pelajaran cenderung untuk selalu menghafal buku catatan. Interaksi guru-murid lebih diwarnai oleh rasa takut, ini menandakan fikiran masih terbelenggu. Dalam penguasaan bidang ilmu seolah-olah guru serba tahu secara mutlak. Ceramah merupakan metode yang lazim diterapkan. Murid-murid kurang terlibat secara aktif dan inilah penyebab suasana kelas dan suasana belajar menjadi serba membosankan. Hampir setiap hari banyak murid yang memboloskan diri. Maka tentu tidak berlaku kalimat yang berbunyi “kelasku adalah istanaku” tetapi yang terjadi hanyalah “kelasku terasa bagaikan penjara”.

Untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas adalah lewat sumber daya manusia yang berkualitas pula. Maksudnya untuk memperoleh murid yang berkualitas tentu dibutuhkan pula guru yang, berkualitas. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar peran guru tidak hanya sekedar membantu proses pembelajaran atau sebagai seorang pengambil keputusan instruksional. Tetapi lebih dari itu yaitu guru harus dapat berperan sebagai konselor, motivator dan fasilitator agar proses pembelajaran anak didik tidak asal-asalan saja.

Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas agaknya sederhana saja rumusnya, yakni guru jangan mengajar asal-asalan. Sangat mustahil kalau guru-guru yang demikian dapat bertindak atas nama peningkatan kualitas, berfungsi sebagai konselor, motivator dan fasilitator bagi murid-murid. Mustahil pula seorang guru akan ikut berpartisipasi sempurna dalam pendidikan kalau ia sendiri belum menampakkan, kualitas diri. Untuk itu kita mengharapkan agar guru-guru bersikap tulus dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan diri sendiri. Andai kata mereka mengikuti penataran atau sanggar, misalnya, janganlah hanya sekedar mengharapkan sertifikat untuk kredit poin, mengharapkan sejumlah kecil maten dan begitu pula jangan hanya bersikap pasif atau sekedar hura-hura.

Agar dapat memainkan peranan dengan baik dalam dunia pendidikan maka guru harus senantiasa membelajarkan diri, otodidaktif, dan agaknya tidak ada alasan lagi bagi guru untuk selalu berlindung di balik alasan untuk tidak belajar. Sediakanlah waktu setiap hari untuk menyentuh buku-buku yang bermanfaat dan dapat menambah wawasan berfikir dengan harapan kita semua dapat menjadi gum yang berkualitas agar kita dapat mendidik murid-murid menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas

sumber : Gunawan

Ramai sekali media massa menulis masalah Sumber Daya Manusia. Begitu pula para pakar telah sama setuju bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia amat diperlukan pendidikan. Dengan arti kata dunia pendidikan memegang peranan yang betul-betul penting. Martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas bangsa itu sendiri. Kualitas suatu bangsa diukur dengan sumber daya manusianya.

Kita sadari bahwa pendidikan, sungguh penting untuk kemaju¬an bangsa. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai bangsa yang berkualitas adalah dengan melaksanakan wajib belajar. Untuk mencapai hal ini Presiden Soeharto telah mencanangkan wajib belajar enam tahun tepat pada hari Hardiknas tanggal 2 Mei 1984. Kemudian untuk percepatan mencapai sumber daya manusia yang berkualitas, maka sepuluh tahun kemudian, Mei 1994. Presiden mencanangkan lagi wajib belajar sembilan tahun. Untuk mensukseskan wajib belajar sembilan tahun itu sangat dituntut tenaga pendidik yang betul-betul ahli dalam bidangnya (profesional) agar dapat mengelola pendidikan di lapangan secara baik.

Mengingat betapa pentingnya sektor pendidikan dalam pelaksanaan pembangunan nasional jangka panjang tahap dua, khusus pembangunan sumber daya manusia, kita tidak dapat menutup mata dan telinga terhadap sektor pendidikan kita yang mutunya masih tertinggal itu. Dan orang-orang arif dalam dunia pendidikan di negara ini cukup respon atas berbagai masalah pendidikan. Mereka merekayasa dan melaksanakan berbagai usaha peningkatan dan penyegaran.

Berbagai usaha untuk me¬ningkatkan kualitas pendidikan telah sama-sama kita rasakan dan kita lihat. Begitu pula banyak pembaharuan demi peningkatan mutu yang sudah dilakukan. Mengganti kurikulum yang diikuti oleh perubahan struktur buku-buku pelajaran yang membanjir di pasaran. Membentuk proyek peningkatan kwalitas guru-guru yang dilaksanakan dalam bentuk penataran, seminar-seminar dan latihan kerja. Begitu juga penyediaan sarana dan prasarana bidang pendidikan.

Betapa usaha ini diterapkan melalui pengorbanan moril dan materil. Memberikan keringanan bagi guru-guru, misalnya dengan mengurangi jumlah jam mengajar di sekolah, agar dapat mengikuti penataran apakah dalam bentuk sanggar-sanggar atau bentuk kelompok laninnya. Namun usaha-usaha ini belum lagi menampakkan harapan dan pencapaian target. Kita dapat mengetahuinya lewat hasil UASBN yang tetap rendah tiap tahun. Dan kita langsung mem¬perhatikan betapa bertambahnya jumlah murid yang mengalami malas. Dari membaca media massa atau langsung melihat fakta yang menunjukkan adanya keruwetan dalam sekolah dan meningkatnya angka kenakalan pelajar.

Barangkali apa yang menyebabkan lambatnya peningkatan kualitas pendidikan ini? Lihatlah proses belajar mengajar di sekolah-sekolah. Sistem pengajaran yang diterapkan oleh guru kepada murid baru sampai pada taraf memberi bekal pengetahuan dan keterampilan sebatas sekedar tahu saja. Belum sampai kepada meletakan nilai-nilai wawasan sosial dan kemanusiaan, serta penguasaan bekal hidup yang praktis. Dalam sistem pengajaran kita lihat hubungan guru dan murid ibarat hubungan cerek dan cangkir. Yang satu cuma sebatas mem¬beri dan yang lain sekedar menerima saja.
Atau mungkin karena sistem pendidikan yang diterapkan oleh guru kepada murid bersifat mengulang-ulang dan tidak ada, atau kurang, kreasi dalam mengembangkan pelajaran dan seni mengajarnya. Sama-sama kita perhatikan bahwa masih ada guru-guru yang mana kalau mengajar menggunakan buku dan catatan yang sama sepanjang tahun. Ada pula guru karena kurang menguasai bahan kemudian mengambil strategi mudah, yaitu meringkas isi buku untuk dicatatkan melulu. Atau menghafalkan buku catatan agar besok dapat disajikan ke ha¬dapan murid di dalam kelas. Murid sendiri dapat mengatakan bahwa guru yang demikian ilmunya cuma tua satu malam dari murid. Dan inilah kenya¬taan yang membuat integrasi guru-murid tetap berjalan macet. Guru sibuk berbicara di depan kelas sedangkan murid asyik melucu atau ngobrol di bela¬kang.

Tampak taraf pengajaran kita untuk menyerap ilmu masih sekedar menyodorkan tugas-tugas hafalan untuk diuji. Sistem komunikasi dalam kelas cenderung satu arah dan murid lebih dominan bersikap yes-man kepada guru. Mengkeritik guru atau beradu argumen seolah dipandang tabu. Mungkin selalu dibelenggu ketakutan karena berdampak pada ancam¬an pada nilai rapor. Demikianlah ungkap salah seorang murid dalam suatu dialog ringan. Belajar dengan cara menghafal sungguh mematikan kreatif berfikir dan menunjukkan bahwa guru-guru masih mene¬rapkan pengajaran sistem kuno.

Ciri-ciri sistem pengajaran kuno atau konvensional sangat terlihat jelas dalam interaksi guru-murid di sekolah. Dianta¬ranya adalah pendekatan yang masih bersifat otoriter, yaitu bersifat menguasai. Guru meng¬anggap bahwa dirinyalah paling benar. Yang mengharuskan setiap murid menerima apa yang dikatakan. Pernah kejadian pada sebuah sekolah. Seorang murid kritis tergolong pintar mencoba memberi usul atau kritik konstruktif kepada seorang guru bidang studi. Membuat, guru menjadi merah muka dan bukti merasa gembira. Guru itu tampak kesal dan pada akhir semester dia telah menodai rapor murid dengan angka mati. Dia melakukan ini entah karena rasa dendam karena merasa kelin¬tasan akibat ilmunya minus atau semata-mata memperturutkan egois.

Berbicara mengenai metoda pendekatan dalam pendidikan, ada tiga bentuk metode pendekatan yaitu konvensional, progresif dan metode liberal. Sekolah-sekolah kita amat mengenal metode konvensional karena metode itu melekat terus. Sikap otoriter terlihat jelas dalam metode ini.
Beginilah suasana kelas atau sekolah dengan metode konvensional. Kelas dengan jumlah murid yang masih ramai, dan tampak lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Seolah-olah ruang kelaslah yang menjadi wilayah belajar murid, meskipun teori diatas kertas sungguh bagus. Dalam proses belajar mengajar siswa tampak bersikap pasif. Mereka hanya menerima ilmu saja dan dalam memahami pelajaran cenderung untuk selalu menghafal buku catatan. Interaksi guru-murid lebih diwarnai oleh rasa takut, ini menandakan fikiran masih terbelenggu. Dalam penguasaan bidang ilmu seolah-olah guru serba tahu secara mutlak. Ceramah merupakan metode yang lazim diterapkan. Murid-murid kurang terlibat secara aktif dan inilah penyebab suasana kelas dan suasana belajar menjadi serba membosankan. Hampir setiap hari banyak murid yang memboloskan diri. Maka tentu tidak berlaku kalimat yang berbunyi “kelasku adalah istanaku” tetapi yang terjadi hanyalah “kelasku terasa bagaikan penjara”.

Untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas adalah lewat sumber daya manusia yang berkualitas pula. Maksudnya untuk memperoleh murid yang berkualitas tentu dibutuhkan pula guru yang, berkualitas. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar peran guru tidak hanya sekedar membantu proses pembelajaran atau sebagai seorang pengambil keputusan instruksional. Tetapi lebih dari itu yaitu guru harus dapat berperan sebagai konselor, motivator dan fasilitator agar proses pembelajaran anak didik tidak asal-asalan saja.

Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas agaknya sederhana saja rumusnya, yakni guru jangan mengajar asal-asalan. Sangat mustahil kalau guru-guru yang demikian dapat bertindak atas nama peningkatan kualitas, berfungsi sebagai konselor, motivator dan fasilitator bagi murid-murid. Mustahil pula seorang guru akan ikut berpartisipasi sempurna dalam pendidikan kalau ia sendiri belum menampakkan, kualitas diri. Untuk itu kita mengharapkan agar guru-guru bersikap tulus dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan diri sendiri. Andai kata mereka mengikuti penataran atau sanggar, misalnya, janganlah hanya sekedar mengharapkan sertifikat untuk kredit poin, mengharapkan sejumlah kecil maten dan begitu pula jangan hanya bersikap pasif atau sekedar hura-hura.

Agar dapat memainkan peranan dengan baik dalam dunia pendidikan maka guru harus senantiasa membelajarkan diri, otodidaktif, dan agaknya tidak ada alasan lagi bagi guru untuk selalu berlindung di balik alasan untuk tidak belajar. Sediakanlah waktu setiap hari untuk menyentuh buku-buku yang bermanfaat dan dapat menambah wawasan berfikir dengan harapan kita semua dapat menjadi gum yang berkualitas agar kita dapat mendidik murid-murid menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas

sumber : Gunawan



Artikel Terkait:

0 comments:

Poskan Komentar

Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa berikan komentar, dan jangan sisipkan spam. Terima Kasih!!!