PENINGKATAN PROSES BELAJAR MENGAJAR MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Bookmark and Share

Thursday, July 30, 2009

Oleh : Khairul Iksan

Abstrak : Proses belajar mengajar akan mengalami peningkatan dari sisi keaktifan, kreatifitas dan kesenangan siswa, karena dalam pembelajaran kontekstual guru berusaha menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.

Kata kunci : Belajar-mengajar, pembelajaran, pembelajaran kontekstual,


I. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan masalah yang komplek, antara lain ia mencakup soal kurikulum, para guru, keadaan masyarakat dan kiranya juga soal politik. Walaupun kurikulumnya baik, tetapi jika korps guru kurang kemampuannya dalam menyampaikan ilmu kepada anak didiknya,maka kurikulum yang baik itu tidak banyak manfaatnya. Bila kurikulumnya baik para gurupun bermutu, namun jika para murid pada umumnya bersifat santai, malas belajar dan tidak disiplin, maka kedua faktor yang terdahulupun tidak akan banyak manfaatnya. Dan mendangkalnya mutu pendidikan sekarang ini kiranya juga merupakan akibat dari politik Pemerintah yang berupa pemerataan pendidikan yang lebih mengutamakan memperbanyak materi pelajaran daripada menghidupkan kemampuan (kompetensi) anak didik.

Alhamdulillah saat ini Pemerintah sudah memandang tiba saatnya untuk memperbaiki mutu pendidikan, misalnya dengan mengadakan berbagai macam workshop kepada para guru dari semua tingkatan perguruan. Pemerintahpun merencanakan memperbaiki penghasilan para guru di tahun depan atau pada masa-masa yang akan datang,sebagaimana yang disebutkan dalam UU tentang Standar Pendidikan Nasional dan UU tentang Guru . Hal ini penting sekali, karena bagaimana mungkin para guru dapat mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya kepada tugas-tugasnya bilamana mereka terus dirongrong oleh beban hidup yang berat.

Tetapi tindakan perbaikan dari pemerintah saja tidak cukup. Semua wajib membantu usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan para guru dari semua tingkatan perguruan, antara lain wajib bekerja penuh dedikasi, berdisiplin dan senantiasa meningkatkan pengetahuannya, sedangkan para orang tua wajib membantu dalam menegakkan disiplin belajar dan perilaku putra-putrinya.

Sekolah Dasar yang merupakan pendidikan awal dan menjadi dasar dari segala pendidikan yang ada diatasnya, diperlukan pendidikan yang profesional, sehingga murid betul-betul bisa melanjutkan pendidikannya kepada pendidikan yang ada di atasnya. Selain iu Sekolah Dasar juga mempersiapkan anak didiknya agar dapat terjun dalam masyarakat dan dapat mengembangkan sikap belajar sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan seumur hidup ( Way of life education ).Hal ini sebagaimana disebutkan dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang berbunyi :

Reformasi pendidikan meliputi hal-hal berikut : Pertama ; penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan perberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat , dimana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreatifitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreatifitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berahlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Meskipun demikian, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah banyak berusaha mengatasi permasalahan pendidikan yang dihadapinya terutama masalah relevansi dan kualitas pendidikan pada berbagai tingkat dan jenis pendidikan. Upaya tersebut antara lain berupa pembaharuan kurikulum dan metodologi pengajaran, pengadaan buku pelajaran dan buku bacaan berkualitas, peyelenggaraan berbagai penataran / pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, pengadaan alat peraga, peningkatan manajemen sekolah, pemberian block-grant kepada sebagian sekolah, dan berbagai macam bantuan lainnya. Cukup banyak usaha yang telah dilakukan pemerintah, akan tetapi dampaknya terhadap kualitas proses dan hasil belajar siswa belum optimal. Hal inilah yang membuat pemerintah terus berusaha mencari solusi yang terbaik untuk memecahkan masalah pendidikan tersebut. Salah satu wujud upaya tersebut yaitu berupa pengembangan kurikulum, model-model pembelajaran dan pendekatan atau strategi pembelajaran.

Persoalan mendasar yang hingga kini masih sangat dilematis dan kerap dihadapi Guru Sekolah Dasar (SD) di dalam proses belajar mengajar, adalah membangun suasana pembelajaran yang aktif-partisipatif ,yang mampu melibatkan siswa dalam interaksi dialogis dan berkualitas dengan guru, dan atau antar siswa. Akibatnya , iklim kelas pembelajaranpun kurang menarik, menyenangkan, dan membetahkan bagi siswa. Siswa hanya menjadi penerima pasif, kurang responsif, dan ada kecenderungan untuk menolak berinteraksi dengan guru. Persoalan tersebut juga dihadapi oleh para Guru di SD Negeri segugus IV Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan.

Dari beberapa kali pengamatan ditemukan fakta bahwa pada setiap proses belajar mengajar, siswa cenderung pasif, kurang menunjukkan gairah,minat, dan antusiasme untuk belajar. Ada indikasi munculnya kejenuhan dan kebosanan pada diri siswa untuk belajar . Interaksi memang kadang terjadi, sejauh karena diminta atau ditunjuk oleh Guru. Dalam suatu kesempatan proses belajar mengajar penulis mencoba berinteraksi dengan para siswa di dalam suatu dialog kelas, dengan mengajukan pertanyaan kepada kelas secara keseluruhan, dengan harapan sedikitnya ada satu dua orang siswa untuk menjawab. Akan tetapi, ternyata tak seorang siswapun yang tampak berupaya untuk merespon pertanyaan kami.

Fenomena ini, telah dirasakan berlangsung lama. Untuk mengubah siswa agar mau berpartisipasi-aktif dalam pembelajaran dirasakan sangat sulit. Untuk itu harus ada usaha berkonsultasi dengan orang-orang yang dianggap memiliki kompetensi dalam berbagai pendekatan dan atau strategi pembelajaran atau membaca berbagai buku atau VCD yang berisi penemuan baru tentang pendekatan dan atau strategi pembelajaran.

Akhirnya penulis temukan sebuah buku dan CD tentang pendekatan dan atau srategi tentang pembelajaran kontekstual. Setelah membaca penjelasan yang terdapat dalam buku tersebut, penulis berharap inilah pendekatan yang akan mampu membangun kreatifitas murid agar dapat menjadi pembelajar yang aktif-partisipatif. Bertitik tolak dari harapan tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah karya tulis dengan mengambil judul “Peningkatan Proses belajar mengajar Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual “

Dari judul di atas nantinya akan muncul sebuah permasalahan. Sebelum penulis merumuskan apa permasalahan yang mungkin muncul pada karya tulis ini, terlebih dahulu akan dikemukakan apa yang dimaksud dengan masalah.

“Masalah” adalah sesuatu yang dipertanyakan dan sangat penting untuk dipecahkan (Khairul Iksan, 1991), atau dengan kata lain masalah adalah suatu keadaan yang menimbulkan pertanyaan dalam diri kita tentang bagaimana keadaan suatu kejadian itu timbul yang manakala dibiarkan akan menimbulkan kesulitan bagi manusia, sehingga masalah itu harus diatasi atau dipecahkan oleh manusia, karena masalah itu merupakan tantangan dan rintangan bagi manusia.

Adapun rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah :

“ Mungkinkah Proses belajar mengajar bisa ditingkatkan Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual ?


A. KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

1. MAKNA BELAJAR DAN MENGAJAR

Belajar dan mengajar adalah dua aktivitas yang hampir tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya, terutama dalam prakteknya di sekolah-sekolah. Bahkan apabila keduanya telah digerakkan secara sadar dan bertujuan, maka rangkaian interaksi belajar-mengajar akan segera terjadi. Sehubungan dengan hal ini ada baiknya kedua istilah tersebut untuk dibahas.

A. Belajar

Kita masih ingat bahwa “belajar” pernah dipandang sebagai proses penambahan pengetahuan. Bahkan pandangan ini mungkin hingga sekarang masih berlaku bagi sebagian orang di negeri ini. Akibatnya, “mengajar” pun dipandang sebagai proses penyampaian pengetahuan atau keterampilan dari seorang guru kepada siswanya.

Pandangan semacam itu tidak terlalu salah, akan tetapi masih sangat parsial, terlalu sempit, dan menjadikan siswa sebagai individu-individu yang pasif. Oleh sebab itu, pandangan tersebut perlu diletakkan pada perspektif yang lebih wajar sehingga ruang lingkup substansi belajar tidak hanya mencakup pengetahuan, tetapi juga keterampilan, nilai dan sikap.

Sebagai landasan pembahasan mengenai apa yang dimaksud dengan belajar, berikut ini kami kemukakan beberapa definisi belajar yang dikemukakan oleh Drs.M.Ngalim Purwanto.MP (1990).

a) Hilgard dan Bower, dalam buku Theories of Learning (1975). “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang ( misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya ).”

b) Gagne, dalam buku The conditions of Learning (1977). “ Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya ( performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.”

c) Morgan, dalam buku Introduction to Psychology (1978). “ Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.”

d) Witherington,dalam buku Educational Psychology. “ Belajar adalah suatu perubahan didalam kepribadian yan menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.”

Dari definsi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikemukakan adanya beberapa elemen yang penting yang merincikan pengertian tentang belajar, yaitu bahwa :

a)Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.

b)Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman : dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar; seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.

c)Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap; harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang. Berapa lam periode waktu itu berlangsung sulit dtentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun. Ini berarti kita harus mengenyampingkan perubahan-perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh motivasi, kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau kepekaan seseorang, yang biasanya hanya berlangsung sementara.

d)Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: Perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah / berfikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.

B.Mengajar

Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa istilah belajar pernah dipandang sebagai proses penambahan pengetahuan. Senada dengan nuansa penafsiran terhadap belajar seperti itu, maka “mengajar “ pun pernah dianggap sebagai proses pemberian atau penyampaian pengetahuan. Pandangan demikian membawa konsekuensi logis terhadap situasi belajar –mengajar yang diwujudkan oleh guru, yakni proses belajar-mengajar (PBM) yang terjadi di dalamnya bersifat teacher-centered. Pengajaran menjadi berpusat pada guru mengajar lebih dominan daripada belajar. Guru berperan sebagai pemberi informasi sebanyak-banyaknya kepada para siswa (information givers) atau dengan nama lain sebagai instructor. Oleh sebab itu, sumber belajar yang digunakan, maksimal hanya sebatas apa yang ada diantara dua kulit buku dan empat dinding kelas. Bahkan, banyak diantara mereka yang menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar. Akibatnya, siswa-siswa menjadi individu-individu yang pasif, kedaulatan merekapun pada akhirnya harus tunduk pada kekuasaan guru. Mereka tidak dididik untuk berfikir kritis, berlatih menemukan konsep atau prinsip, ataupun untuk mengembangkan kreatifitasnya. Mereka tidak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan yang perubahan-perubahannya sangat cepat, bahkan dapat terjadi dalam hitungan detik seperti sekarang ini. Hal ini bisa terjadi pada masa mendatang, karena dengan penerapan konsep mengajar semacam itu, siswa-siswa tidak dididik untuk belajar sebagai manusia seutuhnya, sementara kita berharap agar kelak siswa-siswa menjadi orang-orang yang terdidik, tidak sekedar tersekolah atau belajar.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka mengajar sepantasnya dipandang sebagai upaya atau proses yang dilakukan oleh seorang guru untuk membuat siswa-siswanya belajar. Dalam hal ini guru berupaya untuk membelajarkan siswa-siswanya, dan sebaliknya para siswa menjadi pembelajar-pembelajar yang aktif, kritis dan kreatif. Dengan cara ini interaksi belajar mengajar dapat terjadi, dan pengajaran tidak lagi bersifat teacher-centered, karena telah bergeser pada kontinum pengajaran yang lebih bersifat student-centered. Pertanyaan selanjutnya, yang menggelitik kita selaku guru yang bertugas pada era informasi ini yaitu : Apakah diantara kita yang terlanjur telah menerapkan pengajaran bersifat teacher-centered akan segera berubah kearah student-centered ?

2. MAKNA PEMBELAJARAN

Istilah pembelajaran mengundang berbagai kontroversi diberbagai kalangan pakar pendidikan, terutama di antara guru-guru di sekolah. Hal ini disebabkan oleh demikian luasnya ruang lingkup pembelajaran, sehingga yang menjadi subyek belajar atau pembelajarpun bukan hanya siswa dan mahasiswa, tetapi juga peserta penataran/pelatihan atau pendidikan dan pelatihan (diklat), kursus, seminar, diskusi panel, symposium, dan bahkan siapa saja yang berupaya membelajarkan diri sendiri.

Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatau system atau proses membelajarkan subyek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subyek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien (Depdiknas,Model pembelajaran IPA SD,2003). Dengan demikian, jika pembelajaran dianggap sebagai suatu system, maka berarti pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisir antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran. Sebaliknya bila pembelajaran dianggap sebagai suatu proses, maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar. Proses tersebut dimulai dari merencanakan program pengajaran tahunan, semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) berikut penyiapan perangkat kelengkapannya antara lain alat peraga, dan alat-alat evaluasi. Persiapan pembelajaran ini juga mencakup kegiatan guru untuk membaca buku-buku atau media cetak lainnya yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan disajikan kepada para siswa dan mengecek jumlah dan keberfungsian alat peraga yang akan digunakan.

Setelah persiapan tersebut, guru melaksanakan kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan mengacu pada persiapan pembelajaran yang telah dibuatnya. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, struktur dan dan situasi pembelajaran yang diwujudkan guru akan banyak dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan meode-metode pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang penerapannya, serta filosofi kerja dan komitmen guru yang bersangkutan, persepsi, dan sikapnya terhadap siswa. Jadi semuanya itu akan menentukan terhadap struktur pembelajaran.

B. TINJAUAN TENTANG PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

1. LATAR BELAKANG

Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu strategi dalam proses pembelajaran bermula dari pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham progresivisme John Dewey. Intinya, siswa akan belajar dengan baik bilamana apa yang dipelajari oleh mereka berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Diantara pokok-pokok pandangan progresivisme antara lain :

1. Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.

2. Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar.

3. Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar

4. Guru sebagai pembimbing dan peneliti

5. Harus ada kerjasama antara sekolah dan masyarakat

6. Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen.

Selain teori progresivisme John Dewey, teori kognitif juga melatarbelakangi filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.

Sejauh ini pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, perlu sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.

Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi pembelajaran konstrukivisme berkembang. Dasarnya, pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.

Melalui landasan filosofi konstrukivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui mengalami, bukan menghafal. Pembelajaran konstektual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antarapengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkannya dalam tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Contructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).

Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan bersifat non-objektif,temporer, berubah, dan tidak menentu. Kitalah yang memberi makna terhadap realitas yang ada. Pengetahuan tidak pasti dan tidak tetap. Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan mengajar diartikan sebagai kegiatan atau proses menggali makna, bukan memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar. Otak atau akal manusia berfungsi sebagai alat untuk melakukan interpretasi sehingga muncul makna yang unik.

Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan kepada siswa tangga yang dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.

Dengan paham konsrukivisme, siswa diharapkan dapat membangun pemahamannya sendiri dari pengalaman atau pengetahuan terdahulu. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna ( akomodasi ). Siswa diharapkan mampu mempraktekkan pengetahuan / pengalaman yang telah diperoleh dalam konteks kehidupan. Siswa diharapkan juga melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari .Pemahaman ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas yang merupakan unsur yang sangat esensial.

Hakekat teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. Teori konsruktivis memandang siswa secara terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori konstruktivis menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa yang aktif, maka strategi konstruktivis sering disebut sebagai pengajaran yang berpusat pada siswa ( Student centered instruction ). Di dalam kelas yang pengajarannya terpusat pada siswa, peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan di kelas.

Beberapa proposisi yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari teori konstruktivistik dalam praktek pembelajaran di sekolah-sekolah kita sekarang ini adalah sebagai berikut :

a. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru.

b. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar.

c. Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajar.

d. Belajar pada hakekatnya memiliki aspek sosial dan budaya.

e. Kerja kelompok dianggap sangat berharga.

Dalam pandangan konstrukivistik, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan karena kontrol belajar dipegang oleh siswa itu sendiri. Tujuan pembelajaran konstruktivistik menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas yang kreatif dan produktif dalam konteks nyata. Dengan demikian, paham konstruktivistik menolak pandangan behavioristik.





2. PENGERTIAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL



Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual tidak ada sebuah definisi atau pengertian tunggal. Setiap pakar dan komunitas pakar memberikan definisi beragam. Namun mereka bersepakat bahwa hakekat pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang mendorong pembelajar untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh makna antara apa yang dipelajari dengan realitas, lingkungan personal, sosial dan kultural yang terjadi sekarang ini (Moh.Imam Farisi,2005).

Beberapa definisi pembelajaran kontekstual yang pernah ditulis dalam beberapa sumber, yang dikemukakan oleh Nurhadi,dkk dalam bukunya “ Kontekstual dan penerapannya dalam KBK “.

1. Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu, dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, system CTL akan menuntun siswa melalui kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/ merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan assessment autentik.

2. Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan diluar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riel yang berasosiasi dengan peranan dan tanggung jawab mereka sebagai angota keluarga, anggota masyarakat, siswa, dan selaku pekerja. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang.

3. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pula kelompok belajar yang bebas.



3. DELAPAN KOMPONEN UTAMA DALAM SISTEM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat ( learning by doing ).
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan ( doing significant work ). Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
Belajar yang diatur sendiri ( self-regulated learning ). Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan : ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya / hasilnya yang sifatnya nyata.
Bekerjasama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif : dapat menganalsis, membuat sintetis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan buki-bukti.
Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara pribadinya : mengetahui, memberi perhatian, memilki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Siswa mengenal dan mencapai standard yang tinggi : mengidentifikasi tujuan dan memoivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut ” excellence “.
Menggunakan penilaian autentik ( using authentic assessment ). Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah atau membuat penyajian perihal emosi manusia.

4. MAKSUD KONTEKS

Kontekstual adalah salah satu prinsip pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dengan penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip kontekstual, proses pembelajaran diharapkan mendorong siswa untuk menyadari dan menggunakan pemahamannya untuk mengembangkan diri dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip kontekstual sangat penting untuk segala situasi belajar. Pertanyaannya, apakah yang dimaksud konteks itu ?

Ada sembilan konteks belajar yang melingkupi siswa, yaitu :
Konteks tujuan ( tujuan apa yang akan dicapai ? ).
Konteks isi ( Materi apa yang akan diajarkan ? )
Konteks sumber ( Sumber belajar bagaimana yang bisa dimanfaatkan ? )
Konteks target siswa ( Siapa yang akan belajar ? )
Konteks guru ( Siapa yang akan mengajar ? )
Konteks metode ( Strategi belajar apa yang cocok diterapkan ? )
Konteks hasil ( Bagaimana hasil pembelajaran yang akan diukur?)
Konteks kematangan ( Apakah siswa telah siap dengan hadirnya sebuah konsep atau pengetahuan baru ? )
Konteks lingkungan ( Dalam lingkungan yang bagaimanakah siswa belajar ? )

5. MENGAPA PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahui-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan, itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita!

Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerjasama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain. Kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Berikutnya akan dibahas persoalan yang berkenaan dengan pendekatan kontekstual dan implikasi penerapannya.

6. KECENDERUNGAN PEMIKIRAN TENTANG BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.


a. Proses Belajar

· Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.

· Anak belajar dari mengalami. Anak mencatatr sendiri pola-pola bermakna dasri pengetahuan baru, dan bukan di beri begitu saja dari guru.

· Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki ole seseorang yang terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).

· Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi menceerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.

· Manusia mempunya tingkatan yang berbeda dalam menyilapi situasi baru.

· Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan seiring perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara orang berprilaku.

· Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dcengan ide-ide.


Transfer Belajar



· Sisiwa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari "pemberian orang lain".

· Keterampilan dan penetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit.

· Yang penting bagi siswa tahu 'untuk apa' ia belajar, dan 'bagaimana' ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.

Siswa sebagai pembelajar

· Manusia mempunya kecendrungan untuk belajar dalam bidang tertentu , dan seorang anak mempunyai kecendrungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.

· Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.

· Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara 'yang baru' dan yang sudah diketahui.

· Tugas guru memfasilitasi : agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.

Pentingnya lingkungan belajar

Belajar efektif itu di mulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari "guru akting didepan kelas, siswa menonton: ke "siswa akting bekerja dan berkarya , guru mengarahkan".

Pengajaran harus berpusat pada "bagaimana cara" siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.

Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar.

Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.

7. MOTTO

STUDENTS LEARN BEST BY ACTIVELY CONSTRUCTING THEIR OWN UNDERSTANDING (CTL Academy Fellow, 1999) (Cara belajar terbaik adalah siswa mengkonstruksikan sendiri secara aktif pemahamannya).



8. KATA-KATA KUNCI PEMBELAJARAN CTL
REAL WORLD LEARNING
MENGUTAMAKAN PENGALAMAN NYATA
BERPIKIR TINGKAT TINGGI
BERPUSAT PADA SISWA
SISWA AKTIF, KRITIS, DAN KREATIF
PENGETAHUAN BERMAKNA DALAM KEHIDUPAN
DEKAT DENGAN KEHIDUPAN NYATA
PERUBAHAN PRILAKU
SISWA PRAKTEK BUKAN MENGHAFAL
LEARNING BUKAN TEACHING
PENDIDIKAN (EDUCATION) BUKAN PENGAJARAN(INSTRUCTION)
PEMBENTUKAN 'MANUSIA'
MEMECAHKAN MASALAH
SISWA 'AKTING' GURU MENGARAHKAN
HASIL BELAJAR DIUKUR DENGAN BERBAGAI CARA BUKAN HANYA DENGAN TEST


9.STRATEGI PENGAJARAN YANG BERASOSIASI DENGAN CTL

CBSA
PENDEKATAN PROSES
LIFDE SKILLS EDUCATION
AUTHENTIC INSTRUCTION
INQUIRY-BASED LEARNING
PROBLEM-BASED LEARNING
COOPERATIVE-LEARNING
SERVICE LEARNING

10.LIMA ELEMEN BELAJAR YANG KONSTRUKTIVISTIK

Menurut Zahorik (1995:14-22) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran konstektual.
Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun (1) konsep sementara (hipotesis), (2) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu (3) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.


11.Beberapa strategi pengajaran yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran kontekstual

1. Pembelajaran berbasis masalah

Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.

2. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar

`Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.

3. Memberikan aktivitas kelompok

Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.

4. Membuat aktivitas belajar mandiri

Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

5. Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat

Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.

6. Menerapkan penilaian autentik

Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.

Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.

Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok proyek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan siswa.

Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan drama.

Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis. Bentuk laporan tertulis dapat berupa surat, petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat.

Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan ketrampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas, kurikulum berbasis kompetensi perlu dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran kontekstual supaya dapat memberikan bentuk pengalaman belajar. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki kecakapan untuk memecahkan permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang mengarahkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam konteks rumah, masyarakat maupun tempat kerja.

Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan proses belajar siswa.


PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran terbukti sangat efektif dan efisien dalam menumbuh kembangkan atau meningkatkan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini ditemukan pada beberapa indikator kegiatan belajar siswa diantaranya :
Melakukan hubungan yang bermakna
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan
Belajar yang diatur sendiri
Bekerjasama
Berfikir kritis dan kreatif
Memelihara atau mengasuh pribadi siswa
Mencapai standar yang tinggi
Terdeteksi oleh penilaian autentik


B. Saran-saran

Sebagai tindak lanjut dari penulisan karya tulis ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut :
Hendaknya setiap pegelola pendidikan khususnya para guru selalu berusaha untuk mengembangkan lagi berbagai strategi atau pendekatan pembelajaran yang ada.
Sebaiknya para guru dalam melaksanakan tugasnya berpegang teguh pada prinsip daya guna ( efisiensi ) dan hasil guna ( efekifitas ) dalam mewujudkan tugas-tugas yang telah direncanakan dalam persiapan pembelajaran dan atau rencana pembelajaran.
Hendaknya para guru selalu berusaha untuk lebih memahami faktor-faktor yang dapat mendorong ataupun menghambat terjadinya proses belajar mengajar.


10. DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. PT.Rineke Cipta. Jakarta.

Depdiknas.2003. Model Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah dasar. Jakarta.

Farisi,M.I. 2005. Belajar dan pembelajaran. Paket untuk Mahasiswa program S1 FKIP UIM Pamekasan. Pamekasan : Tidak ditebitkan.

Hadi,S.1980. Metodologi Research. Jilid I, Cetakan ke IX. Yogyakarta. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.

Iksan,K. 1991. Pengaruh Tahapan Administrasi Program Pengajaran Terhadap Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar Di SDN.Lawangan Daya III Kecamatan Pademawu. Skripsi S1 jur.PAI.IAIN Pamekasan. Tidak diterbitkan.

Johnson,E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California : Corwin Press, Inc. A sage Publications Company.

Ngalim Purwanto.M. 1990. Psikologi Pendidikan. PT.Remaja Rosdakarya.Bandung.

Ngalim Purwanto.M. 1995. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis.. PT.Remaja Rosdakarya. Bandung.

Nurhadi,Dkk. 2004. Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Universitas Negeri Malang (UMPRESS). Malang.

Pusat Data dan Informasi Pendidikan,Balitbang Depdiknas. Peraturan Pemerintah RI Nomer 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. http:// WWW.Depdiknas.or.id. (7 Agustus 2005 ).

Pusat Data dan Informasi Pendidikan,Balitbang Depdiknas. Rancangan Undang-undang tentang Guru . http:// WWW.Depdiknas.or.id. (Revisi 06 April 2005 ).

Link Materi Pendidikan
Bookmark and Share


Gosip Artis

Portofolio Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Di Kelas

Jul 31, 2009

RPP KLS 7
Guru meminta siswa untuk menuliskan contoh etika ekonomi dalam kegiatan distribusi. 3. Kegiatan Akhir a. Guru mengadakan tes tertulis (sebagai penilaian hasil belajar). b. Siswa diminta untuk mengerjakan tugas dan lembar portofolio yang ...
Sumber: http://yudi-erwanto.blogspot.com/2009/02/rpp-kls-7.html

Majalah Digital FPKM Edisi Maret 2009
Bahkan bagi guru-guru yang telah menempuh program penyetaraan dan memperoleh gelas D2 sekalipun, hal itu tidak serta merta menunjukkan peningkatan kemampuan yang signifikan dalam mengajar di kelas. Permasalahan yang timbul kemudian ...
Sumber: http://e-zine-fpkm.blogspot.com/2009/03/majalah-digital-fpkm-edisi-maret-2009.html

Idham: UNAS Kali Ini Berat
Sedangkan di tingkat provinsi Pekan Olah Raga Pelajar akan diselenggarakan tanggal 23 hingga 28 Maret 2009. Peserta yang mewakili Bantul dibatasi berusia maksimal 18 tahun dan maksimal masih duduk di Kelas 2 SMA.
Sumber: http://infobantul.wordpress.com/2009/03/10/idham-unas-kali-ini-berat/

Portofolio Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Di Kelas
Portofolio dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas Muhammad Faiq Dzaki Asesmen portofolio adalah mengukur sejauh mana kemampuan siswa dalam mengkonstruksi dan merefleksikan suatu pekerjaan/tugas/karya dengan mengoleksi atau ...
Sumber: http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2009/03/portofolio-dalam-kegiatan-belajar.html

Meningkatkan Profesionalitas Guru Dengan PTK (classroom Action ...
2. PTK dilaksanakan atas dasar masalah yang benar-benar dihadapi oleh guru dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di kelas. Sesungguhnya selalau ada masalah dalam kegiatan pembelajaran apabila guru peka dan berkeinginan untuk
Sumber: http://ridwanjoharmawan.wordpress.com/2009/03/07/meningkatkan-profesionalitas-guru-dengan-ptk-classroom-action-research/

INOVASI PEMBELAJARAN: METODE BERPUSAT PADA SISWA

Dalam proses pembelajaran, pembelajar membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan secara aktif dalam proses belajar-mengajar. Dalam proses pembelajaran pembelajarlah yang menjadi pusat kegiatan, bukan guru. ...

Sumber: http://mohthamrin.blogspot.com/2009/03/inovasi-pembelajaran-metode-berpusat.html

PEMBELAJARAN DALAM PANDANGAN KONSTRUKTIVISTIK DAN BEHAVIORISTIK
Penilaian portofolio adalah penilaian berupa kumpulan pekerjaan siswa yang di dalamnya memperlihatkan area perkembangan belajar, refleksi diri, dan kemampuan siswa selama proses belajarnya. Guru mengumpulkan karangan siswa, ...
Sumber: http://luthfiyahnurlaela.wordpress.com/2009/03/12/pembelajaran-dalam-pandangan-konstruktivistik-dan-behavioristik/

Tujuh Ayat Sekolah Unggul
Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama ...
Sumber: http://wangsajaya.wordpress.com/2009/03/17/tujuh-ayat-sekolah-unggul/

Pembelajaran Bermakna Tipe STAD
Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Inti dari teori belajar ...
Sumber: http://sulantara.blogspot.com/2009/02/pembelajaran-bermakna-tipe-stad.html

MENGEMBANGKAN EVALUASI ALTERNATIF
Kelebihan lain yang diperoleh melalui portofolio adalah siswa belajar mengevaluasi diri sendiri (self assesment). Hal ini sangat membantu dalam membangun rasa tanggungjawab dalam belajar, memonitor diri sendiri dalam kegiatan belajar,
Sumber: http://sriwindarti.wordpress.com/2009/03/17/mengembangkan-evaluasi-alternatif/

Disclaimer: Hasil pencarian yang ada di atas murni berasal dari mesin pencari tanpa adanya perubahan sedikit pun. Kami tidak bertanggungjawab atas daftar URL diatas.

INOVASI PEMBELAJARAN: METODE BERPUSAT PADA SISWA
Bookmark and Share

A. Pendahuluan
Era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam berbagai bidang, seperti bidang teknologi, manajemen dan sumberdaya manusia. Untuk mempersiapkan hal tersebut, bidang pendidikan merupakan ujung tombak yang sangat penting. Berbagai program peningakatan kualitas pendidikan telah dirancang, termasuk payung yuridis formal, dan dilaksanakan. Di antara program itu membentuk Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Dalam pendekatan IPO ( input-proses-output) kualitas pendidikan akan bisa dicapai jika proses berjalan dengan baik. Mengingat pentingnya hal tersebut, pemerintah mengatur hal tersebut melalui Permendiknas RI Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Permendiknas tersebut mengemukakan bahwa dalam penyusunan perencanaan proses pembelajaran setiap guru pada satuan pendidikan selain dituntut menyusun silabus juga berkewajiban menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Sementara itu dalam pelaksanaan pembelajaran yang meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup, guru dituntut melakukan berbagai kegiatan.
Dalam kegiatan pendahuluan, guru (1) menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran, (2) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengait¬kan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari, (3) menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai, dan (4) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.
Dalam kegiatan inti yang merupakan proses pem¬belajaran untuk mencapai KD, guru perlu (1) melakukan kegiatan yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativi¬tas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik; (2) menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan mata pela¬jaran serta meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi; dan (3) berperan sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar, membantu menyelesaikan masalah, memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi, memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh, serta memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
Dalam kegiatan penutup, guru (1) sendiri dan atau bersama-sama dengan peserta didik membuat rangkuman/simpulan pelajaran, (2) melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsis¬ten dan terprogram, (3) memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran, dan (4) merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik.

B. Pendekatan Pembelajaran
Untuk mewujudkan proses pembelajaran sesuai dengan ketentutan-ketentuan di atas, pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan sebagai dasar pijakan di antaranya sebagai berikut.

1. Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif Menyenangkan (PAKEM)
Sekolah dapat diibaratkan sebagai sebuah ”pabrik” yang mempoduksi sesuatu. Sebagai sebuah pabrik, sekolah menerima masukan/bahan mentah yang dalam hal ini calon siswa dengan berbagai kualitas. Calon siswa inilah yang ”diolah” melalui proses pembelajaran agar menjadi hasil/lulusan yang baik. Dengan demikian bagian proses merupakan unsur yang sangat penting dalam menentukan hasil yang baik. Bagian proses ini pula dari waktu ke waktu perlu dicermati untuk terus diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya. Salah satu cara untuk memperbaiki proses tersebut dengan mengembangkan dan menerapkan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM).
Berbeda dengan pabrik yang inputnya/bahan mentah adalah benda mati, sekolah memiliki input dalam hal ini siswa dengan berbagai karakteristik. Ia memiliki beberapa potensi, yakni intelegensi, daya kreativitas/imajinasi, kemampuan berbahasa, kecepatan belajar, motivasi, sikap, minat, emosi/perasan, mental, dan fisik. Untuk itu, proses pembelajaran dipandang lebih rumit dibandingkan dengan pembuatan suatu barang (dalam hal ini benda mati). Proses pembelajaran diharapkan bisa mengembangkan potensi yang dimiliki siswa.Untuk bisa mencapai keberhasilan atau output yang baik, proses pembelajaran perlu dirancang sedemikian rupa yang bisa mengaktifkan siswa, mengembangkan kreativitas mereka sehingga pembelajaran berlangsung efektif, namun tetap menyenangkan (Learning should be fun).
Proses pembelajaran merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman. Sehubungan dengan itu, pembelajaran perlu dikemas dengan anak mengalami langsung apa yang sedang dipelajari. Dengan cara demikian siswa akan lebih aktif melibatkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkan orang lain/guru menjelaskan. Siswa belajar hanya 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa jika guru dalam proses pembelajaran banyak melakukan ceramah, maka tingkat pemahaman siswa hanya 20%. Tetapi sebaliknya, jika siswa diminta untuk melakukan sesuatu sambil melaporkannya, tingkat pemahaman siswa dapat mencapai sekitar 90%. Pembelajaran yang dikemas dengan anak mengalami langsung apa yang sedang dipelajari akan menjadikan siswa aktif bertanya, bekerja, terlibat dan berpartisipasi, menemukan dan memecahkan masalah, mengemukakan gagasan, dan mempertanyakan gagasan.
Kreatif merujuk pada kemampuan untuk berpikir lebih orisinal dibandingkan kebanyakan orang lain. Siswa kreatif adalah siswa yang ”berpikir divergen”, yaitu corak berpikir yang mencari jalan-jalan baru, lebih-lebih dalam memecahkan masalah. Dalam proses pembelajaran apabila guru kreatif dalam mengembangkan kegiatan yang menarik dan beragam, membuat alat bantu belajar, memanfaatkan lingkungan belajar, mengelola kelas dan sumber belajar, merencanakan proses dan hasil belajar akan dapat membentuk siswa keatif baik dalam memecahkan masalah maupun menghasilkan karya.
Pembelajaran merupakan upaya memberikan pengalaman kepada siswa agar mereka mampu mengembangkan potensi diri. Dengan kata lain, pengalaman belajar diberikan agar siswa dapat meraih kompetensi yang telah ditentukan. Untuk itu, pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan pengetahuan dan memerapkan hal-hal yang dipelajarinya. Siswa harus mampu menggunakan fakta-fakta yang sudah dipelajari untuk menjelaskan situasi atau menerapkan informasi pada situasi baru. Mereka harus mengembangkan pemikiran atau keterampilan dalam situasi baru. Selain itu, mereka juga harus dapat mengembangkan dan menerapkan sikap/nilai yang mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran yang menyenangkan dapat menjadi penentu utama apakah kuantitas dan kualitas belajar yang terus berlangsung atau tidak bagi siswa. Pembelajaran yang menyenagkan bukan berarti menciptakan suasana ribut, hura-hura, nyanyi-nyanyi yang tidak berdasar, atau kemeriahan yang dangkal. Pembelajaran yang menyenangkan tercipta karena siswa merasa terlibat secara intelektual maupun emosional. Mereka menghadapi suasana membuat mereka tidak merasa terancam. Mereka tahu betapa penting dan menantangnya apa yang dipelajari, mereka memperoleh suasana yang ramah, dan mempunyai suara atau kesempatan dalam membuat keputusan. Mereka berada dalam situasi berani mencoba/berbuat, berani bertanya, berani mengemukakan pendapat/ gagasan, dan berani mempertanyakan gagasan orang lain.

2. Contextual Teachinbg and Learning (CTL)
Contextual Teachinbg and Learning (CTL) merupakan konsep pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata. Pembelajaran yang demikian dapat memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan sebagai tenaga kerja. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa (pembelajar) (US Departemen of Education and the National School-to Work Office, 2001).
Konsep CTL sebenarnya bukan merupakan hal baru. Konsep dasar pendekatan ini sudah diperkenalkan John Dewey sejak tahun 1916. Dia mengungkapkan bahwa kurikulum dan metodologi guruan seharusnya memiliki hubungan yang erat dengan minat dan pengalaman siswa. Proses belajar akan sangat efektif apabila pengetahuan baru itu diberikan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Dengan kata lain, pengetahuan yang diberikan hendaknya berhubungan erat dengan pengalaman siswa sesungguhnya atau merupakan pengalaman nyata.
Pemikiran Dewey tersebut didukung Katz (1981) dan Howey & Zipher (1989). Mereka menyatakan bahwa suatu program pembelajaran bukanlah sekedar suatu kumpulan mata pelajaran, namun lebih dari itu. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun suatu program pembelajaran. Hal yang dimaksud antara lain guru harus dapat menjelaskan dan mempunyai pandangan yang sama tentang beberapa konsep dasar seperti (1) peran guru, (2) hakikat pengajaran dan pembelajaran, dan (3) misi sekolah dan masyarakat. Guru perlu menyepakati bahwa bila ketiga hal tersebut bermuara pada CTL, pembelajaran akan berhasil dengan baik. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk siswa bekerja dan mengalami bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, bagaimana status mereka, dan bagaimana mencapai hasil belajar. Siswa perlu menyadari bahwa yang mereka pelajari akan berguna bagi kehidupannya nati. Dengan begitu mereka akan memosisikan sebagai orang yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti.
Pembelajaran kontekstual pada dasarnya merupakan perpaduan antara beberapa pendekatan dan praktik keguruan yang baik yang ada sebelumnya, yakni konsep Dewey, pragmatik, komunikatif, dan konstruktivis. Penekanan CTL terletak pada cara berpikir, transfer pengetahuan lintas disiplin, pengumpulan, penganalisisan dan penyintesisan informasi dan data dari berbagai sumber dan pandangan (Kasihani, 2002).
Ciri-ciri pendekatan CTL menurut Blancard (2001) sebagai berikut.
(1) Pembelajaran menekankan pada pentingnya pemecahan masalah.
(2) Pembelajaran dilakukan dalam berbagai konteks seperti rumah, masyarakat, dan tempat kerja.
(3) Pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk belajar mandiri.
(4) Pembelajaran yang menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda.
(5) Pembelajaran yang mendorong siswa untuk dapat belajar dari sesama teman dan belajar bersama dalam kelompok.
(6) Pembelajaran yang menggunakan penilaian autentik.

Sedangkan Center for Occupapational Research (COR) di Amerika Serikat memberikan ciri CTL dengan akronim REACT atau releting, experiencing, apllying, cooperating, and transfering yang jabarannya sebagai berikut.
(1) Relatin yaitu pembelajaran yang dihubungkan dengan konteks kehidupan nyata.
(2) Experiencing yaitu pembelajaran dilakukan dalam konteks eksplorasi, penemuan, dan penciptaan.
(3) Apllying yaitu pembelajaran dilakukan dengan memadankan pengetahuan dan kegunaannya.
(4) Cooperating yaitu pembelajaran dilakukan dalam konteks interaksi kelompok.
(5) Transfering yaitu pembelajaran dengan menggunakan pengetahuan dalam konteks baru/konteks lain.
(6) Adapun University of Washington mengidentifikasi ciri-ciri CTL sebagai berikut.
(7) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa.
(8) Pembelajaran yang menekankan pada kemampuan pembelajar untuk menerapkan pengetahuan dalam tatanan-tatanan lain.
(9) Pembelajaran yang menekankan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi atau berpikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu issu serta memecahkan suatu masalah.
(10) Pembelajaran menggunakan kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar (lokal, regional, nasional, asosiasi, dan industri)
(11) Pembelajaran yang tanggap terhadap budaya.
(12) Pembelajaran yang menggunakan penilaian otentik dengan menggunakan berbagai macam alat dan stratergi penilaian secara benar yang mencerminkan hasil belajar pembelajar sesungguhnya, misalnya tes, proyek atau tugas, portofolio, rubrik, ceklis, panduan pengamatan. Siswa diberi kesempatan untuk ikut aktif berperan serta dalam menilai pembelajaran mereka sendiri.

Menurut C-Star (University of Wshington), ada tujuh elemen pokok yang merupakan ciri utama CTL, yaitu konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), penilaian otentik (authentic assesment). Ketujuh unsur tersebut saling terkait dan unsur kontruktivisme menjadi unsur yang utama yang menjiwai unsur-unsur yang lain.

a. Konstruktivisme (Constructivism)
Constructivism (konstruktivisme) merupakan landasan filosofis atau landasan berpikir CTL. Constructivism berpandangan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus menkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dalam constructivism, pembelajar perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak mampu memberikan semua pengetahuan kepada pembelajar. Pembelajarlah yang harus mengkonstruksi atau membentuk pengetahuannya sendiri. Esensi konstruktivisme adalah pembelajar harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi miliki mereka sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “merekontruksi pengetahuan” bukan “menerima pengetahuan”. Dalam proses pembelajaran, pembelajar membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan secara aktif dalam proses belajar-mengajar. Dalam proses pembelajaran pembelajarlah yang menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi. Yang dimaksud asimilasi adalah struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung/menyesuaikan hadirnya pengalaman ba/pengetahuan baru.
Menurut Zahorik (1995:14—22), ada 5 unsur yang harus diperhatikan dalam praktik pembelajaran konstruktivistik:
(1) Mengaktifkan pengetahuan yang sudah ada (prior knowledge).
(2) Memeroleh pengetahuan dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu baru memperhatikan detailnya.
(3) Memahami pengetahuan dengan cara (1) menyusun konsep sementara (hipotesis), (2) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapatkan tanggapan (validasi), dan (3) merevisi dan mengembangkan konsep. Demikian seterusnya.
(4) Mempraktikkan pengalaman yang telah diperolehnya.
(5) Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.

b. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Untuk itu, bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir pembelajar. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan kegiatan penting dalam pembelajaran berbasis inkuiri, yakni menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Kegiatan bertanya dalam pembelajaran memiliki beberapa kegunaan, antara lain
(1) untuk menggali informasi, baik informasi administrasi maupun akademis,
(2) untuk mengecek pemahaman pembelajar,
(3) untuk membangkitkan tanggapan pembelajar,
(4) untuk mengetahui sejauhmana keinginan pembelajar,
(5) untuk mengetahui hal-hal apa saja yang diketahui sisw,
(6) untuk memfokuskan perhatian sisw pada sesuatu yang dikehendaki guru,
(7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan pembelajar, dan
(8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan pembelajar.

c. Inkuiri (Inkuiri)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang dipeoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Untuk itu, guru harus selalu merancang kegiatan yang membuat pembelajar dapat menemukan. Inkuiri memiliki siklus sebagai berikut.
(1) Observasi
(2) Bertanya
(3) Mengajukan hipotesis atau dugaan
(4) Pengumpulan data
(5) Penyimpulan

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep “learning community” menyarankan agar hasil pembelajaran yang diperoleh siswa merupakan hasil dari kerjasama dengan orang/pihak lain. Hasil belajar diperoleh dari “sharing” antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Anggota masyarakat belajar tidak hanya terbatas pada orang-orang yang berada di dalam kelas saja, tetapi juga orang-orang di sekitar sekolah atau di luar sekolah. Dalam pembelajaran berbasis CTL, guru disarankan selalu menggunakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Selain itu, dalam pembelajaran, guru dapat melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang “ahli” ke kelas.

e. Pemodelan (Modelling)
Dalam pembelajaran, pengetahuan atau keterampilan tertentu membutuhkan model yang bisa ditiru. Model bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola, contoh karya tulis, cara melafalkan kata dalam bahasa, dan sebagainya.
Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan pembelajar. Seorang pembelajar bisa ditunjuk untuk memberikan contoh pada temannya tentang cara melakukan sesuatu. Model juga bisa didatangkan dari luar sekolah.

f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir tentang apa yang sudah dilakukan pada masa lalu. Refleksi juga merupakan respon terhadap kejadian , kegiatan, atau pengetahuan yang baru diterima. Refleksi ini bagi pembelajar juga dapat direalisasikan dalam berbagai bentuk, misalnya catatan atau jurnal di buku pembelajar, diskusi, atau hasil karya.

g. Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengindikasikan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam belajar, guru bisa segera mengambil tindakan yang tepat. Oleh karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, assessment tidak dilakukan di akhir periode (semester) pembelajaran (semester) seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti UAS), tetapi dilakukan bersama secara terintegrasi dalam pembelajaran.
Assessment menekankan pada proses pembelajaran. Untuk itu, data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan pembelajaran. Data yang demikian itu disebut data authentic.
.Dalam penilaian autentik, kemajuan belajar siswa tidak hanya dinilai dari hasil belajarnya saja tetapi juga dari proses. Demikian pula, pengetahuan, keterampilan (performansi), dan sikap yang diperoleh siswa tidak hanya dinilai oleh guru, tetapi juga oleh teman lain atau siswa lain, atau juga dirinya siswa sendiri.
Penilaian autentik memiliki karakteristik (1) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (2) bisa digunakan untuk penilaian formatif maupun sumatif, (3) yang diukur pengetahuan dan keterampilan (performansi), bahkan sikap, (4) berkesinam-bungan, (5) terintegrasi, dan (5) dapat digunakan sebagai feed back atau umpan balik
Hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar penilaian otentik antara lain (1) proyek/kegiatan/tugas, (2) PR pembelajar, (3) kuis, (4) karya siswa, (5) presentasi/ penampilan pembelajar/unjuk kerja, (6) demonstrasi, (7) laporan, (8) jurnal, (9) hasil tes, dan (10) karya tulis.( SBI)

sumber : mohthamrin

Download Buku Sekolah Elektronik
Bookmark and Share

Tuesday, July 28, 2009

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya, Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dengan penuh rasa gembira dan bangga menyuguhkan sejumlah buku teks pelajaran layak-pakai yang hak ciptanya telah dilmiliki Departemen Pendidikan Nasional.

Buku-buku teks pelajaran tersebut tersedia di situs Depdiknas yang diberi nama Situs Buku Sekolah Elektronik yang disingkat BSE atau e-Book. Jumlah seluruhnya saat ini ada empat ratus tujuh (407) judul buku dan Insya Allah setiap tahunnya akan bertambah.

Buku-buku teks pelajaran ini telah dinilai kelayakan pakainya oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan telah ditetapkan sebagai Buku Teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam pembelajaran melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 46 Tahun 2007, Permendiknas Nomor 12 Tahun 2008, Permendiknas Nomor 34 Tahun 2008, dan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2008.

Saya menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada para penulis yang telah berdedikasi dalam perwujudan buku teks pelajaran sebagai sumber belajar yang sangat berguna bagi kepentingan peserta didik dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya untuk masa depan bangsa yang gemilang.

Buku-buku teks pelajaran yang telah dimiliki hak ciptanya oleh Depdiknas ini dapat digandakan, dicetak, difotokopi, dialihmediakan, dan/atau diperdagangkan oleh perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum dalam rangka menjamin akses dan harga buku yang terjangkau oleh masyarakat. Masyarakat dapat pula mengunduh (down load) langsung dari internet jika memiliki perangkat komputer yang tersambung dengan internet, serta menyimpan file buku teks pelajarann tersebut.

Untuk penggandaan yang bersifat komersial, harga penjualannya harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Saya berharap melalui Program Masal Buku Murah ini, buku teks pelajaran lebih mudah diakses sehingga peserta didik dan pendidik di seluruh Indonesia maupun sekolah di luar negeri dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar yang bermutu dan terjangkau.

Selamat belajar. Selamat mereguk ilmu, pengetahuan, dan teknologi melalui Buku Teks Pelajaran yang bermutu dan terjangkau.

Jakarta, 20 Agustus 2008

Menteri Pendidikan Nasional

BAMBANG SUDIBYO


Alamat Download BSE :

Pendekatan Multiple Intelligence dalam Pembelajaran
Bookmark and Share

Monday, July 20, 2009

(sebuah catatan)
Atep T Hadiwa

Kurikulum pembelajaran apa punnamanya; kurikulum 1994, kurikulum 2004 (KBK), kurikulum 2006 (KTSP), atau kurikulum berikutnya…, dan bagaimanapun pengertian, rumusan, dan prinsip-prinsip dari sejumlah kurikulum tersebut, yang harus dipikirkan selajutnya adalah bagaimana menerapkan kurikulum tersebut dalam proses pembelajaran.

Untuk menunjang keberhasilan pembelajaran, pada dasarnya adalah menentukan pendekatan pembelajaran yang sejalan dengan kurikulum tersebut. Membahas pendekatan pembelajaran, banyak sekali jenis pendekatan yang dapat diterapkan. Di antaranya pendekatan pembelajaran yang dikembangkan dari suatu teori yang dikenal dengan teori Multiple Intelligence. Teori tersebut digunakan sebagai pendekatan pembelajaran, karena di dalamnya membicarakan tentang keberagaman yang bertautan dengan kompetensi peserta didik.

Pada dasarnya setiap kurikulum menitikberatktan pada pencapaian suatu kompetensi tertentu peserta didik. Pendekatan Multiple Intelligence pun memandang bahwa seseorang/manusia memiliki beberapa potensi kecerdasan. Salah satu dari kecerdasan setiap peserta didik itulah yang harus dikembangkan, sehingga pada akhirnya menjadi suatu kompetensi yang sangat dominan dikuasainya.

Teori Multiple Intelligence ini dikembangkan oleh Gardner, dengan mendeskripsikan tujuh kecerdasan manusia dalam Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences (2004), yaitu:
1) Linguistic intelligence (kecerdasan linguistik) adalah kemampuan untuk berpikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks.
2) Logical-mathematical intelligence (kecerdasan logika-matematika) merupakan kemampuan dalam menghitung, mengukur, dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis, serta menyelesaikan operasi-operasi matematis.
3) Spatial intelligence (kecerdasan spasial) membangkitkan kapasitas untuk berpikir dalam tiga cara dimensi seperti yang dapat dilakukan oleh pelaut, pilot, pemahat, pelukis, dan arsitek. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang untuk merasakan bayangan eksternal dan internal, melukiskan kembali, merubah, atau memodifikasi bayangan, dan menghasilkan atau menguraikan informasi grafik.
4) Bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestik-tubuh) memungkinkan seseorang untuk menggerakan objek dan keterampilan-keterampilan fisik yang halus. Misalnya kelihatan pada diri atlet, penari, ahli bedah, dan seniman yang mempunyai keterampilan teknik.
5) Musical intelligence (kecerdasan musik) jelas terlihat pada seseorang yang memiliki sensitivitas pada pola titinada, melodi, ritme, dan nada. Misalnya pada seorang komposer, konduktor, musisi, kritikus, dan pembuat alat musik juga pendengar yang sensitif.
6) Interpersonal intelligence (kecerdasan interpersonal) merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Hal ini terlihat pada guru, pekerja sosial, artis, atau politisi yang sukses.
7) Intrapersonal intelligence (kecerdasan intrapersonal) merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang. Misalnya terlihat pada ahli ilmu agama, ahli psikologi, dan ahli filsafat.

Jika kita tautkan ketujuh kecerdasan yang dimiliki manusia tersebut dalam pembelajaran, maka dapat disimpulkan bahwa “Sebaiknya Multiple Intelligence (multikecerdasan) digunakan dan diterapkan sebagai pendekatan pelaksanaan kegiatan pembelajaran.” Setiap manusia (peserta didik) tentu akan memiliki potensi yang sesuai dengan salah satu kecerdasan di atas. Dengan demikian, maka diharapkan salah satu potensi kompetensi dari peserta didik dapat muncul dan dapat dikembangkan.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam Multiple Intelligence adalah adanya tanggung jawab lembaga-lembaga pendidikan, dan kecerdikan seorang guru dalam memerhatikan bakat masing-masing siswa (peserta didik). Di dalam maupun di luar sekolah, setiap siswa harus berhasil menemukan paling tidak satu wilayah kemampuan yang sesuai dengan potensi kecerdasannya. Jika hal itu berhasil ditemukan oleh siswa dengan bimbingan guru, maka akan menimbulkan kegembiraan dalam proses pembelajaran, bahkan akan membangkitkan ketekunan dalam upaya-upaya penguasaan disiplin keilmuan tertentu. Penerapkan pendekatan Multiple Intelligence dalam pembelajaran, harus memerhatikan beberapa langkah, meliputi:
1) Mengidentifikasi elemen-elemen Multiple Intelligence dalam program kurikuler dan ekstrakurikuler. Misalnya memasukkan program seni ke dalam kurikulum.
2) Meninjau kembali sistem teknologi dan program piranti lunak untuk melihat kecerdasan-kecerdasan apa yang terabaikan.
3) Para guru merenungkan kemampuan peserta didik, kemudian memutuskan untuk secara sukarela bekerjasama dengan rekan-rekan yang lain.
4) Proses pembelajaran dengan tanggung jawab tertentu, bisa dipilih sebagai metode pembelajaran.
5) Diskusi dengan orang tua siswa dan anggota masyarakat sehingga dapat membuka kesempatan-kesempatan magang bagi para siswa.

Di samping langkah-langkah di atas, sebagai upaya untuk memadukan pendekatan Multiple Intelligence dalam pembelajaran, perlu juga memerhatikan hal-hal berikut:
1) Persepsi tentang siswa harus diubah
Selama ini kita selalu memiliki persepsi terhadap siswa, bahwa siswa itu cerdas, rata-rata, dungu, dan lain-lain. Persepsi inilah yang harus diubah. Sebaiknya para pendidik memberikan perhatian kepada berbagai macam cara yang dilakukan siswa untuk memecahkan masalah-masalah mereka dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari. Kita harus menerima bahwa siswa memiliki profil-profil kognitif dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda. Guru harus menyediakan kesempatan-kesempatan belajar yang kaya, mempertajam kemampuan-kemampuan observasi mereka, mengumpulkan informasi tentang bakat dan kegemaran siswa, serta mempelajari kecerdasan-kecerdasan yang tidak biasa.
2) Guru membutuhkan dukungan dan waktu untuk memperluas daftar pengajaran mereka.
Jika proses pembelajaran ingin mencapai tujuan bahwa siswa harus memiliki pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan yang seimbang, maka jam belajar yang selama ini hanya cukup untuk menguasai pengetahuan saja harus diubah dengan memperluas jam belajar. Hal ini perlu dilakukan tiada lain untuk:
a. Memberi dukungan dan melakukan praktek.
b. Meminta guru tertentu yang memiliki kemampuan tinggi dalam sebuah kecerdasan untuk memberikan pelatihan.
c. Mengintegrasikan para spesialis yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu.
d. Mengunjungi lokasi-lokasi lain sebagai bahan perbandingan proses pembelajaran.
3) Pendekatan Multiple Intelligence dan pembelajaran
Kurikulum pada dasarnya berfokus pada pengetahuan yang mendalam dan pengembangan kemampuan. Dalam hal ini, pembelajaran tidak harus menekankan pengajaran melaui kecerdasan, tetapi yang harus mendapat penekanan adalah bahwa pembelajaran itu untuk kecerdasan atau penguasaan kompetensi tertentu sesuai dengan minat dan bakat siswa.
4) Diperlukan pendekatan baru terhadap proses penilaian
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam aktivitas penilaian, yaitu:
a. Bagaimana menilai kecerdasan siswa;
b. Bagaimana meningkatkan penilaian secara umum dalam hal kognitif, apektif, dan psikomotorik;
c. Bagaimana melibatkan siswa dalam proses penilaian.
5) Praktik profesional menuju ke arah perkembangan
Tingkat profesionalime para pendidik perlu dimiliki setiap guru, sehingga tantangan yang dihadapi terutama dalam menentukan model program yang akan dilakukan di kelas, tepat dan sesuai dengan kompetensi siswa.

Pernyataan-pernyataan lain yang harus menjadi bahan renungan para guru, dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Bagaimana guru, siswa, administrator sekolah, orang tua, dan anggota masyarakat dapat memperoleh informasi yang memadai tentang kemampuan manusia serta implikasi-implikasinya bagi pendekatan-pendekatan baru di bidang pendidikan?
b. Bagaimana memasukkan strategi-strategi belajar dan mengajar yang mampu memenuhi kebutuhan seluruh siswa ke dalam program-program pengembangan pembelajaran?
c. Bagaimana menyesuaikan lingkungan sekolah agar dapat menawarkan program-program yang lebih kaya dan bervariasi?
d. Bagaimana mengembangkan persepsi kita tentang siswa?
e. Bagaimana memperluas data-data pengajaran dan penilaian?
f. Konsep-konsep apakah yang mesti dipelajari siswa?
g. Anggota masyarakat manakah yang dapat menjadi penasihat atau dapat memberi kesempatan magang?
h. Bagaimana para pendidik belajar untuk mengkombinasikan strategi-strategi pendidikan yang paling efektif dengan menggunakan teknologi yang paling praktis dan paling cerdas?

Sekelumit pembahasan ini menyimpulkan beberapa bahan renungan untuk para pengelola sekolah khususnya para guru, sebagai berikut:
1) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.
2) Apa pun konsep kurikulumnya, pada dasarnya akan bertumpu pada; (1) penekanan ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, (2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman, (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode bervariasi, (4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, dan (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
3) Pengertian Multiple Intelligence dalam bahasa Inggris adalah; Multiple(maltip) berarti berbagai jenis, Intelligence (in’telijens) berarti kecerdasan. Multiple Intelligence merupakan suatu teori yang dikemukakan Gardner, 1983 dalam Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligence (2004) dideskripsikan bahwa teori tersebut merupakan penguatan perspektif tentang kognisi manusia. Kecerdasan adalah bahasa-bahasa yang dibicarakan oleh semua orang dan sebagian dipengaruhi oleh kebudayaan di mana ia dilahirkan.
4) Kegiatan pembelajaran pada akhirnya bermuara pada pencapaian suatu kompetensi tertentu dari peserta didik. Pendekatan Multiple Intelligence pun memandang bahwa seseorang/manusia memiliki beberapa potensi kecerdasan. Salah satu dari kecerdasan setiap peserta didik itulah yang harus dikembangkan, sehingga pada akhirnya menjadi suatu kompetensi yang dominan dikuasai peserta didik.

Sebagai harapan dalam rangka menunjang keberhasilan pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional, tidak ada salahnya apabila rekan-rekan seperjuangan dan seprofesi merenungkan hal-hal, sebagai berikut:
a. Meningkatkan rasa tanggung jawab kepada diri sendiri, masyarakat, pemerintah, bangsa dan negara dalam rangka menjalankan tugas sebagai abdi bangsa dan negara.
b. Agar terus berusaha meningkatkan kemampuan dan wawasan tentang pendidikan, sehingga dapat meningkatkan pelayanan kepada para siswa.
c. Memahami dan melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan di dunia pendidikan seiring dengan perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
d. Mengembangkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan kurikulum dalam rangka mengembangkan kegiatan pembelajaran.
e. Meningkatkan prestasi profesi sejalan dengan ketentuan yang telah digariskan oleh lembaga pendidikan dan pemerintah, manakala kita mengabdikan diri.

SUMBER BACAAN
Balitbang Depdiknas, Pusat Kurikulum. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Campbell, Linda dkk. 2004. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligence. Depok: Intuisi Press.
FM, Meindar dkk. 1991. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia. Jakarta: Eska Media.
Nasution, M. Nur. 2004. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Bogor: Ghalia Indonesia.
Nata, H. Abuddin. 2003. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.
Prawiradilaga,Dewi Salma dkk. 2004. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana dan UNJ.

Sumber : http://atepjs.wordpress.com

KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN MONETER
Bookmark and Share

Monday, July 13, 2009

KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN MONETER

A. Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah kebijaksanaan pemerintah untuk mengubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah guna mencapai kestabilan ekonomi. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional tergantung pada jenis sumber penerimaan.
Perpajakan sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintah lebih bersifat memperkecil pendapatan nasional dibanding dengan pinjaman Negara, pinjaman Negara lebih bersifat memperkecil pendapatan dibanding dengan pencetakan uang baru sebagai sumber penerimaan Negara.
Kebijaksanaan fiskal pada umumnya bertujuan untuk mencapai kestabilan dalam perekonomian dengan meningkatkan secara terus-menerus pendapatan nasional riil pada laju factor-faktor produksi dengan tetap mempertahankan kestabilan harga-harga umum.
Kebijaksanaan fiskal dapat dibedakan menjadi 4 macam atas dasar :
a. Pembiayaan fungsional (functional finance)
Dalam pendekatan ini pengeluaran pemerintah ditentukan dengan melihat akibat-akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional terutama untuk menigkatkan kesempatan kerja. Pajak berfungsi mengatur pengeluaran swasta sedang pinjaman sebagai alat untuk menekan inflasi lewat pengurangan dana yang tersedia dalam masyarakat.
b. Pengelolaan Anggaran (the managed budget approach)
Menghendaki hubungan langsung antara pengeluaran pemerintah dan perpajakan selalu dipertahankan, tetapi penyesuaian dalam anggaran selalu dibuat guna memperkecil ketidakstabilan ekonomi, sehingga pada suatu saat terjadi deficit maupun surplus.
c. Stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget)
Terdapat penyesuaian secara otomatis terhadap penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang akan menyebabkan perekonomian menjadi stabil tanpa adanya campur tangan pemerintah. Pengeluaran pemerintah akan ditentukan berdasarkan pada perkiraan manfaat dan biaya relatif dari berbagai program, sedang pajak akan ditentukan sehingga dapat menimbulkan surplus dalam periode kesempatan kerja penuh.
d. Anggaran belanja seimbang (Balance approach)
Adanya keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah dalam jangka panjang agar terjadi keterkaitan dalam perekonomian sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat.

B. Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah di bidang keuangan yang berkenaan dengan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat. Pemerintah selalu mengusahakan ada keseimbangan dinamis antara jumlah uang yang beredar dengan barang dan jasa dalam masyarakat.
Kebijaksanaan moneter berkaitan dengan nilai rupiah terhadap kurs mata uang luar negeri berkaitan dengan aktivitas perbankan, investasi modal domestic dan modal asing obligasi.
Tujuan kebijaksanaan moneter :
1. Menyesuaikan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat.
2. Mengarahkan penggunaan uang dan kredit sehingga nilai uang Negara dapat terjaga kestabilannya.
3. Mendorong produsen meningkatkan kegiatan produksi.
Kebijakan moneter dapat dibagi menjadi :
a. Kebijaksanaan penetapan Cash ratio
Menetapkan perbandingan persentase cadangan minimum yang ada di bank dengan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat. Penetapan besarnya jumlah cadangan yang tersedia dalam bank komersial, mempengaruhi pula besarnya jumlah uang yang beredar dalam masyarakat.
b. Kebijaksanaan Pasar Terbuka (Open Market Policy)
Berkaitan perdagangan surat-surat berharga oleh bank sentral, apabila jumlah uang yang beredar banyak maka pemerintah menetapkan kebijakan uang ketat. Apabila ingin menambah jumlah uang yang beredar maka pemerintah membeli surat-surat berharga yang beredar dalam masyarakat.
c. Kebijaksanaan Suku Bunga Kredit
Pemerintah merubah tingkat presentase bunga kredit dalam mempengaruhi jumlah uang yang beredar dalam masyarakat. Bila pemerintah ingin menambah jumlah uang yang beredar maka tingkat suku bunga kredit diturunkan, sedang bila pemerintah ingin mengurangi jumlah uang yang beredar maka suku bunga dinaikkan.
d. Kebijaksanaan Suku Bunga Deposito
Kebijaksanaan pemerintah dalam menetapkan besarnya suku bunga deposito pemerintah. Apabila pemerintah menghendaki volume uang yang beredar berkurang, maka suku bunga deposito merupakan kebalikan dari kebijaksanaan perkreditan.

MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
Bookmark and Share

Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Pembelajaran Konstruktivistik a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik
Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S) dengan respon ® yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thondike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus dan respon – dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hamper senada dengan hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negative adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata,
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.